BEBERAPA ASPEK PENGELOLAAN KEKAYAAN NEGARA YANG DIPISAHKAN (BUMN)
DITINJAU
DARI SUDUT HUKUM KEUANGAN NEGARA DI INDONESIA
Tanggapan
Dari segi
substansi, paparan berikut sudah seringkali
diungkapkan
dalam blog ini.
Namun
karena permintaan berbagai pihak,
baik yang
disampaikan secara langsung maupun melalui email,
dengan
alasan dan tujuan tertentu,
beberapa
materi disajikan dalam satu kesatuan
yang utuh,
sehingga mudah
dipahami
alur logikanya.
A. Kedudukan
BUMN Dalam Keuangan Negara
Secara
filosofis, lahirnya institusi pemerintah yang kini dikenal dengan nama BUMN,
adalah karena kebutuhan masyarakat terhadap layanan pemerintah pada
hakekatnya tidak seluruhnya dapat disediakan melalui system yang melibatkan
lembaga-lembaga pemerintah yang bersifat structural dengan menggunakan
mekanisme penetapan harga atas dasar non pasar (non market pricing
mechanism).
Disamping
itu, institusi BUMN tersebut ternyata diperlukan pula, mengingat adanya peran
pemerintah dalam mendorong perkembangan perekonomian nasional melalui system
distribusi dan stabilisasi. Di sisi lain, dari segi anggaran negara, pendirian
BUMN juga diharapkan akan dapat dijadikan sumber penerimaan Negara.
Sejalan
dengan pemikiran tersebut di atas, maka para penyusun undang-undang Keuangan
Negara memasukkan unsur kekayaan negara yang dipisahkan, yang berada serta
dikelola pada institusi BUMN tersebut sebagai unsur dari Keuangan Negara di
Republik Indonesia.
Oleh karena
itu, Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 tentang
Keuangan Negara, membagi pengelolaan Keuangan Negara ke dalam tiga sub bidang,
yaitu sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan moneter, dan sub
bidang pengelolaan kekayaan Negara yang dipisahkan.
Dengan
demikian, uang Negara yang dipisahkan dan berada serta dikelola oleh BUMN termasuk dalam lingkup
keuangan negara sebagaimana tertuang dalam penjelasan Undang-undang no.
17/ 2003 tentang Keuangan Negara, dan secara eksplisit selanjutnya dinyatakan
dalam pasal 2 huruf g.
Berdasarkan
hal-hal sebagaimana telah diuraikan di atas, dengan mendasarkan pada peran
Negara dan motivasinya, Undang-undang No.17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara
kemudian membedakan kekayaan yang dikelola ke dalam kekayaan Negara
yang tidak dipisahkan dan kekayaan Negara yang dipisahkan.
Kekayaan
Negara yang tidak dipisahkan merupakan kekayaan Negara yang dikelola oleh
Negara selaku otoritas. Pengelolaan kekayaan yang tidak dipisahkan ini
dilakukan melalui system APBN. Sedangkan kekayaan Negara yang
dipisahkan dikelola oleh Negara dalam kapasitasnya selaku idividu dengan
motivasi, antara lain mencari keuntungan, dengan pengelolaan yang dilakukan di
luar system APBN.
Mengingat
tata kelola dalam institusi pengelola kekayaan negara yang dipisahkan, yang
dahulu dikenal dengan nama perusahaan negara, secara prinsip berbeda dengan
tata kelola yang digunakan dalam institusi pemerintah pada umumnya yang
bersifat birokratif, diperlukan adanya pengaturan tersendiri.
Itulah yang
dijadikan dasar alasan mengapa tata kelola pada lembaga pengelola kekayaan
negara yang dipisahkan tidak tunduk pada Undang-undang no. 17 tahun 2003
tentang Keuangan negara. Hal ini mengingat bahwa Undang-undang Keuangan
Negara, secara khusus, hanya mengatur pengelolaan kekayaan Negara dalam lingkup
bidang fiskal yang merupakan kekayaan Negara yang tidak dipisahkan.
Namun
demikian, kendati dipisahkan pengelolaannya, kekayaan Negara yang
dipisahkan dan dikelola oleh lembaga pengelola kekayaan negara yang dipisahkan
(baca: BUMN), perkembangannya dilaporkan kepada lembaga legislative sebagai
lampiran laporan keuangan pemerintah kepada lembaga legislative. Ditinjau dari
segi makna, pelaporan kepada lembaga legislative dimaksud adalah untuk
memberikan kesempatan kepada lembaga legislative memberikan penilaian atau
untuk menilai apakah pengelolaan dimaksud telah sesuai dengan tujuan
pembentukannya, yakni, terutama, mencari keuntungan, dan misi lainnya.
Atas dasar
hal tersebut di atas, menyusul lahirnya Undang-undang Keuangan Negara pada
tahun 2003, disusun pulalah undang-undang no. 19 tahun 2003, yaitu tentang
Badan Usaha Milik Negara. Undang-undang inilah yang kemudian digunakan sebagai
acuan dalam pengelolaan Kekayaan Negara yang Dipisahkan.
Kendati
tata kelola kekayaan negara yang dipisahkan, yang menganut pola korporatif,
berbeda dengan tata kelola institusi pemerintah pada umumnya yang bersifat
birokratif, pemikiran filosofis tentang keberadaan, dan peran institusi
pengelola kekayaan negara yang dipisahkan tersebut dalam konstelasi kelembagaan
keuangan negara tetap dipertahankan. Hal tersebut dapat dilihat
sebagaimana dituangkan dalam pasal 2 Undang-undang No. 19 Tahun 2003
tentang Badan Usaha Milik Negara, khususnya ayat 1 huruf a sampai
dengan huruf e.
Dalam
masalah pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan hal yang sangat penting
untuk diperhatikan adalah, bahwa mengacu pada pemikiran yang telah
disampaikan di atas tentang kelahiran institusi pemerintah pengelola keuangan
negara yang dipisahkan, dan juga mengacu pada konsepsi yang tertuang dalam
UUD 45, badan usaha milik negara, pada
prinsipnya, adalah milik rakyat.
Atas dasar
hal tersebut, pola kelembagaan badan usaha milik negara, sebagai
suatu entitas public (baca: pemerintah), memiliki pola yang unik.
Dengan
status sebagai milik rakyat, kewenangan terhadap kepemilikan assetnya berada
sepenuhnya di tangan rakyat. Dalam hal ini, pengertian rakyat adalah lembaga
legislative, yang secara konstitusi merupakan lembaga yang mewakili rakyat.
Namun untuk alasan praktis, dalam hal tertentu, kewenangan dimaksud dapat
dilaksanakan oleh Presiden.
Oleh karena
itu, sesuai dengan pemikiran tersebut, di dalam organisasi pengelolaan BUMN
kemudian dikenal adanya dua kelompok manajemen (two tiers system). Yaitu,
pertama, merupakan kelompok pemilik; kedua, merupakan kelompok pengelola
teknis. Dalam kelompok pertama hanya terdiri dari satu unsur yaitu pemerintah;
sedangkan dalam kelompok kedua terdiri dari dua unsur, yaitu: Negara/
Pemerintah sebagai wakil pemilik, dan unsur pelaksana (agent). Yaitu, Dewan
Komisaris dan Dewan Direksi.
Atas dasar
pemikiran di atas, dalam sistem pengelolaan Keuangan Negara di Indonesia,
khususnya untuk BUMN, kemudian dikenal adanya peran dua Menteri. Yaitu, Menteri
Keuangan dalam kedudukannya selaku Bendahara Umum Negara, sebagai
pemilik, dan Menteri Negara BUMN sebagai pengendali teknis mewakili pemilik.
Pola pemikiran seperti tersebut di atas, yang pada prinsipnya
didasarkan pada konsepsi yang tertuang dalam UUD 45, dicerminkan dalam UU no. 19 tahun 2003 tentang BUMN.
Bagaimana
pemikiran tersebut diimplementasikan dalam Pengelolaan Keuangan Daerah
?
Secara
teoritis, pemikiran dan konsepsi Keuangan Daerah merupakan adopsi
pemikiran dari konsepsi Keuangan Negara yang diterapkan dalam wilayah yang
lebih kecil. Atas dasar, pemikiran dimaksud Undang-Undang Keuangan Negara tidak
membedakan konsep pemikiran antara Keuangan Negara dan Keuangan Daerah. Hal tersebut
dapat dilihat, antara lain, pemikiran tentang lembaga eksekutif, lembaga
legislative dan peran masing-masing dalam pengelolaan keuangan negara dan dalam
pengelolaan keuangan daerah.
Sejalan
dengan pemikiran tersebut pemikiran konsepsional yang dijadikan landasan
lahirnya lembaga pengelola kekayaan daerah yang dipisahkan, yaitu BUMD,
dalam konteks pengelolaan Keuangan Daerah, tentunya tidak berbeda
dengan pemikiran konsepsional lahirnya lembaga pengelola kekayaan negara yang
dipisahkan, dalam hal ini BUMN. Yaitu, bahwa kebutuhan masyarakat terhadap
layanan pemerintah, pada hakekatnya, tidak seluruhnya dapat disediakan melalui
system yang melibatkan lembaga-lembaga pemerintah yang bersifat structural
dengan menggunakan mekanisme penetapan harga atas dasar non pasar (non
market pricing mechanism). Disamping itu, diperlukan pula peran pemerintah
dalam mendorong perkembangan perekonomian daerah melalui system distribusi dan
stabilisasi, Di sisi lain, pendirian BUMD juga diharapkan akan merupakan sumber
penerimaan Daerah.
B. Pengadaan
Barang dan jasa........
No comments:
Post a Comment