BEBERAPA
ASPEK PENGELOLAAN KEKAYAAN NEGARA YANG DIPISAHKAN (BUMN)
DITINJAU
DARI SUDUT HUKUM KEUANGAN NEGARA DI INDONESIA
(lanjutan)
B. Pengadaan
Barang dan Jasa Pemerintah
Satu hal
yang harus diperhatikan oleh berbagai pihak, bahwa pada dasarnya pelaksanaan
Anggaran Belanja Negara hanya dapat dilakukan melalui sebuah perikatan. Tidak
peduli apa pun bentuknya. Perikatan dimaksud dapat berbentuk kontrak dengan
pihak lain, perintah kerja, ataupun perjanjian utang-piutang. Namun, apa pun
bentuknya, perikatan dimaksud hanyalah merupakan alat pemerintah sebagai pemicu
lahirnya kewajiban pemerintah/ Negara. Dus, semata mata hanya
sebagai sarana atau alas pengeluaran negara. Perikatan dimaksud tidaklah serta
merta menempatkan para pihak dalam kesetaraan kedudukan , yaitu antara
pemerintah dengan rekanan. Hal yang selama ini selalu diperjuangkan oleh
berbagai pihak.
Secara
formil, perikatan tersebut tentunya terikat pada kaidah-kaidah yang berlaku
dalam hukum perjanjian, akan tetapi secara materiil, perikatan dimaksud harus
tunduk pada kaidah-kaidah baku yang berlaku dalam Hukum Keuangan Negara. Oleh
karena itu, sebagai contoh, hampir dapat dipastikan tidak akan pernah
diketemukan adanya perikatan yang berdurasi satu tahun atau kurang yang dimulai
pada suatu bulan tertentu dan berakhir pada bulan tertentu setelah bulan
Desember pada tahun anggaran berjalan.
Mengapa
demikian ?
Karena
sesuai dengan azas periodisitas anggaran, Indonesia menetapkan periode anggaran
yang dimulai pada bulan Januari hingga akhir Desember pada tahun yang sama. Hal
ini membawa konsekuensi bahwa pembayaran yang dilakukaan setelah berakhirnya
tahun anggaran, yaitu pada akhir bulan Desember, tidak dapat dilakukan. Dan,
kalaupun pembayarannya dipaksakan, pengeluaran dimaksud, menurut Hukum Keuangan
Negara, dinyatakan sebagai pengeluaran yang bersifat illegal.
1) Konsepsi
dasar pengeluaran negara
Menurut
Hukum Keuangan Negara, pemikiran utama yang harus dijadikan landasan bagi para
pejabat / pengelola keuangan negara dalam melakukan tindakan pengeluaran negara
adalah menghindarkan terjadinya kerugian negara.
Tindakan
tersebut diawali dengan terjaminnya mekanisme saling uji (check and balance) diantara
para pemegang kewenangan agar dapat dilaksanakan pengujian- pengujian yang
harus dilakukan. Yaitu: pengujian dari aspek wet matigheid, recht
matigheid dan doel matigheid
.
Dalam
konteks ini, yang dimaksud dengan pengujian wet matigheid pada
prinsipnya adalah mempertanyakan dasar hukum pengeluaran negara yang akan
dilakukan.
Konkritnya,
pengujian ini mempertanyakan ketersediaan alokasi anggaran dalam UU
APBN yang kemudian dituangkan dalam Dokumen pelaksanaan Anggaran (DIPA). Bila
dicermati, pengujian dimaksud adalah merupakan operasionalisasi dari azas
prealabel/ azas anterioritas yang menjadi kunci lembaga legislative dalam
mengawasi kegiatan pemerintah yang tertuang dalam Political Control
Tools. Yaitu, yang berupa Azas-azas Dasar dalam Pengelolaan Keuangan
Negara (Golden Principles of the Government Budget).
Pengujian
berikutnya adalah pengujian rechtmatigheid. Pengujian ini, pada
hakekatnya mempertanyakan mengapa pihak ke tiga (rekanan) melakukan
penagihan kepada negara. Pengujian dimaksud, bila diperhatikan, ingin
memastikan :
a. Pertama,
adanya kesepakatan antara pemerintah dengan pihak ketiga, penyerahan
barang/jasa yang diperjanjikan, dan besaran biaya/harga yang ditagih kan atas
dasar perjanjian tersebut.
b. Kedua,
bahwa didalam pengeluaran tersebut harus dipertimbangkan untuk dapat memperoleh
barang / jasa dengan kualitas yang bagus dengan harga yang wajar
c. Ketiga, bahwa pembayaran harus dilakukan pada saat barang
telah diterima oleh negara.
Pengujian
terakhir yang harus dilakukan adalah pengujian doelmatigheid.
Pengujian ini, pada dasarnya, mempertanyakan kelayakan / tujuan penggunaan dana
yang tersedia dalam anggaran belanja negara.
Dengan
berbagai pengujian seperti tersebut di atas dipastikan akan dapat dihindarkan
terjadinya kerugian Negara, dan penggunaan dana pemerintah dapat
dipertanggungjawabkan sesuai ketentuan. Atau dengan kata lain, akuntabilitas
tindakan para pengelola keuangan Negara dapat diwujudkan sesuai dengan tata
kelola pemerintahan yang baik (Good Government
Governance).
1) Teknik
pengadaan barang dan jasa pemerintah
Sejalan
dengan pemikiran bahwa didalam pengeluaran tersebut harus
dipertimbangkan untuk dapat memperoleh barang / jasa dengan kualitas yang bagus dengan harga yang
wajar, sehingga dapat dihindarkan terjadinya kerugian negara, secara
prinsip, setiap kegiatan pengadaan barang dan jasa pemerintah harus
dilakukan melalui system perbandingan antar para penyedia jasa. Sistem inilah
yang kemudian dikenal dengan terminologi lelang.
Dalam
praktek, system perbandingan antar penyedia jasa tersebut, mengalami berbagai
variasi atau bahkan gradasi, karena adanya berbagai faktor yang
mempengaruhinya. Misalnya, lahirnya pemikiran tentang lelang terbatas, pemilihan
langsung, ataupun bahkan, karena keterbatasan penyedia jasa, kemudian muncul
pemikiran tentang penunjukan langsung.
Bila
dicermati, berbagai pemikiran yang dijadikan landasan pengeluaran negara,
khususnya dalam rangka pengadaan barang dan jasa tersebut di atas, bukanlah
merupakan monopoli pemerintah. Pemikiran tentang menghindarkan terjadinya
kerugian, sehingga setiap pengeluaran harus efektif dan efisien adalah
merupakan cara berfikir yang bersifat universal di bidang pengelolaan keuangan,
baik pemerintah maupun swasta (korporasi).
Dalam
hal ini, satu faktor yang perlu dicermati yang sangat berpengaruh dalam teknik
pengadaan barang dan jasa antara pemerintah dan korporasi adalah adanya
perbedaan pendekatan (approach) yang digunakan dalam
pengelolaan birokrasi dan korporasi dalam menilai akuntaabilitas.
Kenyataan
menunjukkan bahwa Pemerintah dalam pengelolaan institusinya yang bersifat
birokratis lebih cenderung menggunakan pendekatan proses (process
based approach). Sesuai denga pendekatan tersebut, semua kegiatan yang
dilakukan oleh para pejabat birokrasi harus mengikuti tata aturan yang telah
dituangkan dalam ketentuan yang telah disusun sebagai panduan operasional, yang
pada umumnya lebih dikenal dengan standar operasi tata kerja -SOTK (standard operating procedure-SOP). Sementara itu, dengan dilaksanakannya
proses kegiatan tersebut dengan baik, maka diasumsikan akan memberikan hasil
yang baik (optimal). Oleh karena itu, masalah hasil akhir tidak perlu diragukan
lagi.
Namun,
salah satu kelemahan pendekatan model ini adalah bahwa pengadaan bartang
dan jasa akan membutuhkan waktu yang relatif lama.
Berbeda
dengan institusi sektor pemerintah yang dikelola secara birokrasi, sektor
swasta yang dikelola secara korporasi lebih cenderung menggunakan pendekatan
atas dasar hasil (result based approach). Korporasi lebih memandang
bagaimana caranya rencana yang telah ditata dengan baik dapat diwujudkan dengan
cepat, dan memberikan hasil yang optimal.
Pertimbangan
tersebut tentunya terkait dengan sifat korporasi yang membutuhkan langkah-langkah
yang serba cepat dalam menghadapi persaingan di dunianya. Dalam hal ini, bukan
berarti proses ataupun prosedur pelaksanaan kegiatan tersebut lantas diabaikan.
Melainkan dilaksanakan secara fleksibel dan ditata sedemikian rupa menjadi
lebih ringkas (accelerated), tanpa menghilangkan arti atau makna
setiap langkah (step) yang seharusnya dilalui dalam prosedur
yang seharusnya dilaksanakan.
Oleh karena
itu, dalam pengadaan barang dan jasa, walaupun tentunya tidak
diabaikan, perusahaan-perusahaan swasta tidak menempatkan proses
pemilihan penyedia seperti layaknya pemerintah. Artinya, cara mereka melakukan
pelelangan tidak harus dilakukan dalam bentuk formal melalui suatu proses yang
berbelit dan terkesan rumit yang bisa memakan waktu relatif lebih lama.
Demikian
juga, perusahaan-perusahaan swasta tidak terlalu terikat dengan prosedur yang
telah dijadikan acuan. Mereka sangat fleksibel ketika menghadapi berbagai
hambatan yang mungkin terjadi dalam suatu proses pengadaan.
Dari semua
itu, yang paling penting untuk diperhatikan adalah bahwa, di
perusahaan-perusahaan swasta, kegiatan pengadaan barang dan jasa tersebut tidak
mendorong lahirnya benturan kepentingan (conflict of
interest) para pejabatnya. Yaitu, kepentingan yang melahirkan sebuah
keinginan untuk memperoleh keuntungan pribadi dalam proses pengadaan tersebut.
Dari
kenyataan di atas, bila dicermati, adalah ternyata lebih diakibatkan oleh
cara pandang terhadap pengertian akuntabilitas dalam kegiatan itu
sendiri. Dalam kaitan ini, sebagaimana telah dikemukakan di atas ternyata
perusahaan-perusahaan di sektor swasta lebih melihat akuntabilitas pengadaan
barang dan jasa tersebut dalam kaitannya dengan hasil (result). Bukan
akuntabilitas terhadap proses pengadaan itu sendiri. Hal tersebut didasarkan
pada pemikiran, bahwa hasil dari pengadaan barang dan jasa tersebut sangat
mudah dikuantifisir dengan melihat akibatnya terhadap keuntungan perusahaan
secara keseluruhan. Hal yang tentunya tidak mudah atau bahkan hampir tidak
mungkin dilakukan di sektor pemerintah. Hal itu karena adanya perbedaan sifat (nature) dan
motif kegiatan atau misi yang sangat mendasar di antara keduanya.
Dalam
kaitan ini, yang juga harus dipahami adalah bahwa ternyata pemikiran di atas di
dasarkan pula pada kriteria ekonomis yang sangat erat hubungannya dengan
kriteria efektifitas dan efisiensi yang dalam hal ini terkait dengan
biaya produksi. Maksudnya adalah, kendati barang dan jasa yang diadakan telah
memenuhi kriteria dari sisi harga yang relatif murah, tetapi bila tidak
memberikan kontribusi untuk menghasilkan produk secara efisien, pengadaan
barang dan jasa dimaksud tidak memberikan manfaat ditinjau dari sisi kriteria
ekonomis. Ini adalah sudut pandang yang menjadi perhatian para pengusaha di
sektor swasta.
2) Teknik
pengadaan barang dan jasa pada BUMN/ BUMD
Dengan
melihat kenyataan bahwa pada dasarnya BUMN ataupun BUMD adalah merupakan
lembaga pengelola kekayaan yang dipisahkan yang dikelola secara korporatif, apa
yang seharusnya dilakukan dalam pengadaan barang dan jasa ?
Dengan
mengingat sifat institusi badan usaha milik negara ataupun milik daerah di mana berbagai
keputusan dilakukan dengan pola korporatif, analisis terkait pengadaan barang
dan jasa seharusnya dilakukan secara lebih mendalam seperti layaknya pada
korporasi pada umumnya.
Dalam
kaitan ini, tidak seperti halnya pada sektor pemerintah (birokrasi) yang hanya
menilai keberhasilan pengadaan barang dan jasa tersebut dari ketepatan waktu
dan kualitas barang dan jasa yang bagus dibandingkan dengan biaya yang
wajar, BUMN/ BUMD seharusnya juga melakukan analisis terhadap
kontribusinya untuk menghasilkan produk secara efektif dan efisien,
sehingga menghasilkan peningkatan keuntungan. Konkritnya, pengadaan
barang dan jasa yang tidak memberikan manfaat untuk menghasilkan produk secara
efektif dan efisien, bagi BUMN/ BUMD dipandang tidak memiliki nilai dari sisi
ekonomis.
Dengan
mencermati pemikiran yang dikemukakan di atas jelas bahwa, bila mengacu pada
sifat (nature) kegiatan operasi dan motivasi institusi pada
badan usaha milik negara ataupun badan usaha milik daerah, tidak seharusnya
ketentuan terkait pengadaan barang dan jasa yang diperuntukkan bagi institusi
pemerintah diperuntukkan pula bagi badan usaha milik negara (BUMN)
maupun badan usaha milik daerah (BUMD).
Oleh sebab
itu, dalam praktek diketemukan adanya ketentuan yang memberikan kelonggaran
kepada badan usaha milik negara (BUMN) maupun badan usaha milik daerah (BUMD).
untuk menyusun sendiri ketentuan terkait pengadaan barang dan jasa pada
instansinya masing-masing. Oleh karena memang diperlukan adanya system
operating prosedure (SOP) yang berbeda dibandingkan system yang berlaku bagi
Pemerintah.
Namun
demikian, aturan dimaksud harus pula mencermati makna yang terkandung dalam
tujuan pendirian BUMN sebagaimana terkandung dalam UU tentang BUMN. Artinya,
kendati BUMN diberikan kelonggaran untuk menyusun sendiri aturan tentang
pengadaan barang dan jasa bagi instansinya masing-masing, bukanlah berarti
bahwa BUMN dapat begitu saja mengadopsi berbagai pemikiran yang digunakan oleh
korporasi di sektor swasta. Hal ini, tentunya termasuk pula BUMD.
Dalam
kaitan ini haruslah diingat, bahwa sebebas-bebasnya BUMN maupun BUMD, sifat
atau karakter pengelolanya tidaklah sepadan dengan pengelola korporasi di
sektor swasta. Konkritnya, pengelola korporasi di sektor swasta pada hakekatnya
adalah para pemilik yang memiliki sense of
belonging yang lebih tingkatannya dibandingkan para pengelola BUMN
ataupun BUMD. Ini adalah sebuah sikap yang mau- tidak mau harus diakui.
Pada
akhirnya, dengan memperhatikan penjelasan di atas, pada prinsipnya, pemikiran
dasar tentang konsep pengadaan barang dan jasa di sektor pemerintah ternyata
juga digunakan sebagai landasan bagi korporasi. Bahkan, dengan ciri korporatif
dengan motivasi untuk mencari keuntungan, kriteria ekonomis (efektif dan
efisien) dalam pelaksanaan pengadaan barang dan jasa pada korporasi harus lebih
menonjol. Inilah yang seharusnya dilaksanakan pada badan usaha milik negara
maupun pada badan usaha milik daerah.
*
*
*