INVESTASI PEMERINTAH DITINJAU DARI
SUDUT PANDANG UNDANG-UNDANG BIDANG KEUANGAN NEGARA
(intermezzo)
Intro
Betapa pun gigihnya Menteri Keuangan menyatakan bahwa
keputusan Pemerintah melakukan investasi dalam rangka divestasi PT Newmont Nusa
Tenggara Barat telah didasarkan pada berbagai ketentuan yang tertuang dalam Undang-undang Keuangan Negara maupun Undang-undang Perbendaharaan Negara,
nyatanya, Pemerintah harus membatalkan
keputusan investasinya sebagai
akibat putusan Mahkamah Konstitusi.
Ini adalah sebuah keputusan yang
dirasakan oleh Pemerintah, khususnya Menteri Keuangan, sebagai putusan yang sangat
sulit untuk dapat diterima. Namun, mengingat putusan Mahkamah Konstitusi
bersifat final, maka tidak ada jalan lain yang memungkinkan Pemerintah untuk
melakukan upaya banding, kecuali, patuh dan taat menerima putusan tersebut, dan
membatalkan seluruh upaya yang telah dilakukan untuk melakukan pembelian saham
dalam rangka program divestasi pada PT Newmont Nusa Tenggara Barat.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang terjadi sekitar enam tahun lalu tersebut, tak urung menyisakan
berbagai tanda tanya pada berbagai pihak. Khususnya, di kalangan para pejabat
di Kementerian Keuangan.
Benarkah bahwa Menteri Keuangan tidak dibenarkan melakukan
investasi ? Atau apakah terdapat pemaknaan yang keliru terhadap pasal-pasal
dalam Undang undang
Keuangan Negara maupun Undang undang Perbendaharaan Negara yang telah
disampaikan dalam berbagai
kesempatan persidangan di Mahkamah Konsitusi ?
Bagaimana sebenarnya peran Menteri Keuangan
dalam sistem pengelolaan keuangan di berbagai negara. Apakah Menteri Keuangan sebagai
pemegang kewenangan pengelolaan keuangan negara memiliki kewenangan untuk
melakukan investasi ?
Beberapa pertanyaan tersebut di atas
akan memandu kita pada penjelasan sebagaimana di bawah ini
I.
Budget is an economic tool of the government
Anggaran Negara merupakan sarana
pemerintah untuk mempengaruhi perekonomian nasional. Konsep pemikiran ini sejak
dimulainya keterlibatan pemerintah di bidang perekonomian nasional hingga saat
ini masih tetap diakui oleh para ahli ekonomi di berbagai belahan dunia.
Pemerintah mengambil berbagai
keputusan yang mempengaruhi perekonomian nasional melalui kebijakan fiscal.
Yaitu, melalui kebijakan di bidang pengeluaran negara ataupun di bidang
penerimaan negara.
Melalui kebijakan tersebut berbagai elemen ekonomi makro yang merupakan sektor privat, yang bersifat internal, seperti misalnya, konsumsi (C), Investasi (I), Saving (S), maupun yang bersifat eksternal, seperti :Export (X), dan Import (M) dapat dipengaruhi.
Dalam sebuah konstelasi rumusan ekonomi makro tentang pendapatan nasional, baik
yang menggunakan pendekatan pengeluaran (expenditure
approach), yaitu: Y= C+I+G+(X-M) ataupun yang menggunakan pendekatan
penerimaan (income approach) Y= C+S+T+(X-M) keterpisahan peran sektor pemerintah dan
sektor swasta adalah sebuah kenyataan.
Bila diamati, keterpisahan tersebut dipicu antara lain oleh adanya motif yang berbeda
antara keduanya. Yaitu, motif kepentingan publik atau lebih konkritnya motif untuk mewujudkan
kesejahteraan rakyat untuk negara, dan motif mencari keuntungan bagi sektor swasta.
Namun, kini banyak pihak mulai
berpaling. Dengan menggunakan berbagai pemikiran baru tentang negara yang
kemudian meletakkan negara pada posisi yang tidak berbeda dengan sector swasta.
Antara lain melalui konsep government engineering,
ataupun melalui konsep efisiensi, maupun analisis benefit and cost yang dulunya lebih cenderung diterapkan pada
sector swasta. Padahal, dulu semua pihak sepakat bahwa konsep efisiensi maupun
analisis terhadap benefit and cost
sebuah kegiatan di sector pemerintah adalah berbeda dengan konsep yang
digunakan di sector swasta.
Pemerintah kini berlomba dengan sektor
swasta untuk membiayai rumah tangga dirinya, yaitu rumah tangga negara. Kita
bisa saksikan bagaimana di beberapa negara produk-produk yang pada dasarnya
merupakan layanan public tidak lagi dapat diperoleh secara cuma-cuma oleh
masyarakat. Di sisi lain, perusahaan-perusahaan milik negara berkompetisi
dengan perusahaan-perusahaan milik swasta dalam area yang tiada batas.
Pemerintah, tentunya melalui Menteri
Keuangan sebagai pengelola keuangan negara, dapat melakukan investasi untuk dan
atas nama keuntungan (profit)
sebagaimana layaknya perusahaan swasta. Keuntungan, adalah merupakan sumber
yang sah bagi negara dalam konsep Ilmu Keuangan Negara. Jadi, apanya yang salah
?
Kita memang sedang tidak
mendikotomikan antara negara dengan pemikiran kapitalis dengan negara yang
bersifat sosialis.
Namun demikian, sekedar menyegarkan kembali ingatan kita bahwa dalam negara yang mendasarkan pada konsep welfare state mengarahkan semua sumber dayanya untuk sebesar besar
kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, berbagai kebijakan pemerintah di bidang fiskal harus ditujukan
untuk mengendalikan sektor swasta untuk menuju terwujudnya kemakmuran rakyat.
Inilah sebenarnya inti yang membedakan tindakan pemerintah dan
swasta di bidang perekonomian. Pemerintah adalah regulator, pemberi arah. Dus,
pemerintah tidak bergerak di area yang sama dengan sektor swasta.
Hal ini seharusnya secara konsisten tetap dipertahankan. Terkait dengan itu dapat dicermati, misalnya dalam kebijakan pinjaman luar negeri maupun
perdagangan internasional. Dalam kebijakan pinjaman luar negeri, pemerintah lebih cenderung
melakukannya dengan membuat kesepakatan antar pemerintah (G to G) ataupun dengan organisasi/ Lembaga keuangan internasional.
Kalaupun terpaksa dilakukan dengan sektor swasta
(P to G) tentunya pemerintah tidak melakukan di pasar bebas seperti halnya
sektor swasta.
Demikian pula seharusnya dalam keputusan-keputusan untuk melakukan investasi. Berbagai keputusan investasi seharusnya tetap
didasarkan pada motif kesejahteraan yang ditujukan semata mata untuk kepentingan
publik (masyarakat).
Hal ini dapat dilihat, antara lain, bahwa program investasi pemerintah terkait dengan divestasi saham perusahaan swasta bukanlah semata-mata didasarkan pada keputusan untuk mencari untung, melainkan bagaimana
kepemilikan saham tersebut akan memberikan manfaat kepada masyarakat secara luas. Dan, divestasi itu sendiri, bila dicermati adalah hanya pada
bidang tertentu yang menguasai hajad hidup rakyat. Sementara itu, penyertaan
modal pada
perusahaan-perusahaan swasta terutama hanya ditujukan dalam rangka penyelamatan perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat antara lain
investasi pada sektor perbankan yang sebenarnya hanya merupakan tindakan bail out pemerintah agar bank tersebut tidak menimbulkan ancaman terhadap
perekonomian negara.
Sementara itu, berbagai investasi pemerintah lainnya merupakan investasi langsung yang pada umumnya
memiliki ciri2 khusus: long lasting,
capital intensive, low return, dan lain sebagainya. Yaitu merupakan investasi di area yang
tidak menarik minat sektor swasta.
Hal-hal tersebut merupakan contoh nyata dalam kehidupan pengelolaan keuangan negara di berbagai negara dengan ciri sosialis
atau yang mendasarkan pada konsep welfare
state, termasuk tentunya Indonesia, yang kemudian dijadikan sebagai best practice.
Dalam kaitan ini, perlu dipahami bahwa
penggunaan kebijakan fiscal tersebut bukanlah merupakan sebuah kebijakan yang
bersifat tunggal, melainkan kebijakan yang didukung oleh berbagai kebijakan
pendukungnya. Kebijakan pendukung tersebut antara lain, kebijakan terkait
dengan pengelolaan perusahaan negara, pengelolaan utang, penyediaan infra struktur dan lain
sebagainya.
Uraian tersebut di atas, khususnya,
terkait berbagai keputusan investasi adalah dilakukan oleh pemerintah dalam
kewenangannya selaku pengambil kebijakan.
Disamping itu, dalam tataran teknis
operasional pelaksanaan anggaran negara, Menteri Keuangan merupakan pengelola
uang negara. Dalam kedudukannya selaku demikian, Menteri Keuangan
bertanggungjawab terhadap ketersediaan uang secara tepat waktu. Dalam kaitan
ini, kebijakan teknis dalam mengatasi mismatch
antara penerimaan dan pengeluaran kas ataupun menghindarkan terjadinya idle
cash memerlukan kebijakan tersendiri baik dalam melakukan pinjaman ataupun
dalam kegiatan berinvestasi.
II.
Implementasinya dalam UU Keuangan Negara
dan UU Perbendaharaan Negara
Memahami undang undang bukanlah hanya memahami narasi
tekstualnya, melainkan dan terutama harus memahami dari aspek kontekstualnya.
Hal tersebut perlu dilakukan, mengingat bahwa pembuatan undang undang pada
hakekatnya adalah mewadahi kaidah kaidah substantif suatu disiplin ilmu ke
dalam wadah naratif yang bersifat legalistik.
Terkait dengan itu, penuangan gagasan
tersebut di atas ke dalam Undang-undang Keuangan Negara dan Undang undang
Perbendaharaan Negara tampak sebagai berikut di bawah ini.
1.
Antara placement dan investment
Baik Undang-undang Keuangan Negara
maupun Undang undang Perbendaharaan Negara, walaupun menggunakan istilah yang
sama yaitu investasi, pada hakekatnya membedakan pengertian investasi dalam
arti yang sebenarnya yang berasal dari istilah aslinya investment, dan penempatan uang atau placement.
Secara sederhana, pengertian investment mengandung makna perubahan
wujud atau setidaknya terjadi perpindahan unsur keuangan dari sub bidang
keuangan negara yang satu kepada sub bidang yang lain. Pada umumnya, pengertian
investasi selalu dikaitkan dengan kondisi yang tidak selalu likuid. Sedangkan
istilah penempatan/ placement lebih diartikan pada tindakan-tindakan dalam
pengelolaan keuangan yang tidak merubah wujud dan pada umumnya bersifat likuid.
Perlu dipahami bahwa dalam konsep
pengelolaan keuangan negara perpindahan/ mutasi unsur-unsur keuangan negara
dari sub bidang yang satu ke sub bidang yang lain, yang secara konkrit atau
dalam konteks umum dikenal dengan istilah investasi atau penyertaan modal,
terlebih kepada sub bidang dengan karakter swasta, harus mendapat ijin DPR.
Alasan utama yang
dapat dikemukakan adalah bahwa mutasi akan mengurangi kemampuan pemerintah
untuk membiayai kegiatannya bagi penyelenggaraan layanan kepada masyarakat yang
pada hakekatnya merupakan kewajiban pemerintah. Di sisi lain, bahwa mutasi
dimaksud dapat mengandung risiko dalam bentuk berkurangnya kekayaan negara
karena akibat kerugian yang terjadi dalam pengelolaan.
Terkait dengan masalah investasi,
Undang-undang Keuangan Negara maupun Undang undang Perbendaharaan Negara
menggunakan terminology ‘Pemerintah’ dan ‘Menteri Keuangan’
Terminology ‘Pemerintah’ digunakan
ketika tindakan/ keputusan di bidang keuangan negara tersebut dilakukan oleh
Presiden yang pelaksanaannya dilakukan oleh Menteri Keuangan selaku Menteri
Teknis yang menangani masalah-masalah keuangan negara atau oleh Menteri
lainnya. Hal ini merupakan kewenangan yang berkaitan dengan kebijakan. Dari sifatnya,
investasi atau penyertaan modal ini sangat berbeda dengan penempatan uang (placement of fund). Undang-undang
Keuangan Negara, secara khusus, mengatur masalah investasi/ penyertaan modal
ini dalam Bab VI pasal 24. Sedangkan, pengaturan secara operasionalnya diatur
dalam Bab VI pasal 41.
Bila tindakan investasi memerlukan
keterlibatan pihak Lembaga legislatif, penempatan uang (placement
of fund) mutlak merupakan kewenangan pemerintah (baca: Bendahara Umum
Negara), karena merupakan bagian dari strategi dalam pengelolaan kas (cash management). Tindakan penempatan
uang dapat dikategorikan murni sebagai tindakan administratif, khususnya
administrasi pengelolaan keuangan (financial
administratif management). Oleh karena itu, masalah penempatan uang ini
hanya diatur dalam Undang-undang Perbendaharaan Negara, yaitu dalam Bab IV
tentang Pengelolaan Uang.
Dalam hal ini, Undang-undang
Perbendaharaan Negara menggunakan terminology ‘Menteri Keuangan’ , karena tindakan/ keputusan di
bidang keuangan negara tersebut dilakukan oleh Menteri Keuangan selaku
Bendahara Umum Negara.
2.
Penyusunan ayat dalam
pasal-pasal
Sebagaimana
umumnya dalam penyusunan perundang-undangan, Undang-undang No. 17 Tahun 2003
Tentang Keuangan Negara disusun dengan mengikuti pola baku yaitu, setiap ketentuan yang memiliki pengecualian dituangkan
dalam pasal dengan pola sebagai berikut :
1) Pasal
tersebut dirinci dalam ayat;
2) Ayat yang
pertama dan beberapa ayat berikutnya berisi ketentuan yang bersifat normatif
(baku);
3) Ketentuan
yang bersifat pengecualian (eksepsi) ditempatkan pada ayat terakhir/ menjelang
terakhir pasal yang bersangkutan.
Dengan mengacu pada pola tersebut di
atas pemahaman terhadap pasal 24 Undang-undang No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara dapat dilakukan sebagai berikut :
Ayat
(1) Pemerintah dapat memberikan pinjaman/ hibah/ penyertaan
modal kepada dan menerima pinjaman/ hibah dari perusahaan negara/ daerah.
(2) Pemberian pinjaman/ hibah/ penyertaan modal kepada dan
penerimaan pinjaman/ hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlebih dahulu
ditetapkan dalam APBN/ APBD.
Untuk dapat memahami makna yang
terkandung dalam kedua ayat tersebut di atas perlu pemahaman terhadap konsepsi
bahwa :
·
Perusahaan negara/ daerah merupakan suatu institusi
pemerintah dengan karakter khusus yang dibutuhkan dalam rangka layanan kepada
masyarakat maupun tujuan tertentu;
·
Pemerintah memiliki kewajiban untuk menyalurkan dana
yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan
perusahaan negara/ daerah dimaksud;
·
Pemerintah berkewajiban menuangkan alokasi dana yang
akan diberikan kepada perusahaan negara/ daerah tersebut dalam APBN/ APBD. Hal
ini terkait dengan prinsip anterioritas, yaitu memerlukan persetujuan DPR/
DPRD.
·
Pemberian ini dilakukan secara terencana (dalam kondisi
normal), karena mengikuti prosedur baku. Namun demikian, pemberian tersebut
dapat pula dilakukan dalam kondisi luar biasa (tertentu), karena pengertian
‘dituangkan dalam APBN/ APBD’ dapat diartikan secara luas, yaitu dalam APBN-P/
APBD-P.
Sedangkan terhadap ayat
(7) Dalam keadaan tertentu, untuk penyelamatan
perekonomian nasional, Pemerintah Pusat dapat memberikan pinjaman dan/ atau
melakukan penyertaan modal kepada perusahaan swasta setelah mendapat
persetujuan DPR.
Secara mudah sebenarnya dapat
ditangkap adanya nuansa ‘darurat’ (sense
of crisis) yang dicerminkan oleh ayat tersebut di atas. Oleh sebab itu,
ayat ini dimulai dengan frasa ‘dalam keadaan tertentu’ yang sekaligus merupakan
pengingkaran (pengecualian) terhadap situasi yang dicerminkan oleh ayat (1) dan
ayat (2) di atas.
Frasa ‘dalam keadaan tertentu’ tidak
dapat dijelaskan dengan baik, karena bersifat undetermined. Oleh karena itu, frasa tersebut membutuhkan
penjelasan. Penjelasan tersebut dilakukan oleh anak kalimat yang berbentuk
frasa lainnya, yaitu ‘untuk penyelamatan perekonomian nasional’. Dengan
demikian, frasa pembuka dalam ayat tersebut merupakan kata kunci (keyword) terhadap pengecualian yang
akan dilakukan oleh Pemerintah.
Selanjutnya, yang perlu mendapat
perhatian adalah bahwa secara prinsip Pemerintah tidak memiliki kepentingan
secara langsung terhadap perusahaan swasta. Oleh sebab itu, Pemerintah tidak
berkewajiban memberikan pinjaman/ menyertakan modal pada perusahaan-perusahaan
swasta.
Namun demikian, bila ternyata kondisi
yang terjadi akan mengancam perekonomian nasional, Pemerintah tentunya
berkepentingan melakukan penyelamatan perekonomian tersebut dengan cara
memberikan pinjaman ataupun menyertakan modal kepada perusahaan-perusahaan
swasta dimaksud.
Keputusan
seperti ini bukanlah semata-mata merupakan keputusan eksekutif, akan tetapi
harus melibatkan seluruh rakyat melalui para wakilnya di lembaga legislative.
*
* *
au mon
jour special
No comments:
Post a Comment