Namun demikian,
berbagai pihak justru berpendapat bahwa lahirnya keputusan itu sendiri telah
memancing lahirnya polemik baru. Kalau
saja pertimbangan Mahkamah Konstitusi yang dijadikan alas keputusan dimaksud
kemudian dilaksanakan oleh pihak-pihak tertentu, sebut saja direksi BUMN, apakah mereka dijamin terbebas dari perbuatan melawan hukum yang merugikan negara
? Inilah antara lain
pertanyaan yang harus dijawab oleh berbagai pihak.
Mengganggu kinerja keuangan
Mengapa timbul
polemik tentang piutang BUMN di masa lalu ?
Alasan yang utama adalah karena piutang BUMN, khususnya di sektor
perbankan, yang tidak tertagih dirasakan
sangat mengganggu kinerja perusahaan. Khususnya, kinerja keuangan perusahaan.
Hal ini karena perusahaan berkewajiban menyediakan sejumlah cadangan di dalam
sistem pembukuannya untuk jangka waktu yang relatif lama.
Mengapa situasi
seperti ini bisa terjadi ? Jawabannya
sangat sederhana. Bila diamati, berbagai perusahaan negara (baca: Bank BUMN)
ternyata telah terjebak dalam sebuah proses birokrasi. Sebuah proses yang
berbelit dan lamban. Walaupun dari segi konsep, sebenarnya sangat sederhana.
Menurut Undang-Undang
No. 49 Prp. Tahun 1960, ketika terjadi piutang yang tidak tertagih,
perusahaan negara cukup menyerahkan piutang-piutang tersebut kepada Panitia
Urusan Piutang Negara. Kemudian tunggu, sampai Panitia
Urusan Piutang Negara memutuskan status piutang-piutang dimaksud.
Menurut kenyataan, proses ini bisa berjalan dalam kurun waktu yang relatif lama. Bisa bertahun-tahun.
Kewajiban untuk
mencadangkan sejumlah dana inilah yang kemudian merupakan hambatan tersendiri bagi perusahaan.
Sehingga, dalam posisinya sebagai bagian (instansi) dari negara, Bank-bank BUMN
justru memiliki kelemahan yang mendasar (natural disadvantage).
Sementara itu,
kondisi yang demikian tidak terjadi di perusahaan-perusahaan swasta. Di
perbankan swasta, misalnya, mereka memiliki mekanisme yang relatif sederhana
yang digunakan dalam sistem pengelolaan piutang-piutang yang tidak tertagih (non performing loan –NPL). Yaitu,
dengan mengklasifikasikan piutang-piutang tak tertagih tersebut sesuai dengan
kemungkinannya piutang dimaksud dapat ditagih. Kemudian menghapuskannya, bila
benar-benar piutang tersebut tidak akan tertagih.
Proses perubahan
dari piutang yang tidak tertagih hingga menjadi piutang yang dihapuskan memakan
waktu yang relatif tidak terlalu lama. Oleh karena itu, perusahaan-perusahaan
swasta tidak terlalu terbebani dengan penciptaan cadangan bagi piutang tak
tertagih. Ini adalah suatu mekanisme yang umum dilakukan. Dan ini membuat
perusahaan-perusahaan swasta memiliki kemudahan (advantage) dalam pengelolaan keuangannya, dibandingkan dengan
bank-bank BUMN.
Antara Hapus Buku dan Hapus Tagih
Terlepas dari apa
yang sebenarnya berada dibalik pengujian terhadap Undang-Undang
No. 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara oleh para pihak,
kendala yang menghambat kinerja keuangan itulah konon yang merupakan
alasan yang selama ini mengedepan.
Oleh karena itu,
ketika Mahkamah konstitusi memberikan pertimbangan bahwa Piutang Bank BUMN bukan lagi merupakan piutang negara yang
harus dilimpahkan penyelesaiannya ke PUPN, dan dapat diselesaikan sendiri
berdasarkan prinsip-prinsip yang sehat oleh
masing-masing Bank BUMN, berbagai pihak merasa lega. Artinya, bahwa
terhitung mulai saat dikeluarkannya keputusan Mahkamah Konstitusi nomor
77/PUU-IX/2011 di atas, setiap bank BUMN dapat memutuskan sendiri status
piutangnya. Tanpa harus menunggu
keputusan dari Menteri Keuangan (cq.
PUPLN).
Kembali pada maksud
yang terkandung dalam Undang No. 49 Prp. Tahun 1960, seharusnya Bank-bank BUMN
tidak terjebak pada pemikiran yang sempit dalam masalah pengelolaan piutangnya.
Undang-undang tersebut, pada prinsipnya, adalah mengatur tentang pembentukan
sebuah panitia, termasuk tugas yang harus dilaksanakannya. Bukan mengatur
tentang substansi piutang yang harus ditagihnya.
Oleh sebab itu,
dalam undang-undang tersebut ditegaskan bahwa, Panitia
Urusan Piutang Negara hanya mengurus piutang yang telah diserahkan
kepadanya. [1] Bila dicermati, penyerahan kepada Panitia
Urusan Piutang Negara adalah sebuah privilege bagi Bank-bank milik Negara.
Pemerintah, pada prinsipnya, memberikan kemudahan kepada instansi miliknya
(dalam hal ini: Bank-bank milik Pemerintah) untuk tidak terlalu terbebani
dengan masalah-masalah penagihan. Khususnya bila harus menggunakan upaya paksa.
Ini adalah bentuk dari tanggungjawab Negara.
Terkait dengan itu,
pada prinsipnya, semua keputusan tentang piutang yang tidak tertagih sangat
tergantung pada Direksi. Apakah piutang yang dikategorikan sebagai piutang tak
tertagih akan diserahkan kepada panitia ataukah akan dikelola sendiri karena
masih mengandung kemungkinan untuk dapat ditagih, adalah murni keputusan
internal Bank yang bersangkutan. Inilah seharusnya yang dipahami oleh berbagai
pihak.
Bila diperhatikan,
perubahan status sementara piutang tak tertagih yang kemudian diserahkan kepada
Panitia, secara akuntansi telah mampu meringankan beban perusahaan.
Setidak-tidaknya, dengan penyerahan kepada Pemerintah, pihak Bank telah
dimungkinkan untuk menghapuskan piutang tersebut, terutama dari sisi pembukuan.
Terkait dengan hal
itu, sekedar untuk menyegarkan kembali ingatan kita bahwa, keputusan untuk melakukan hapus buku
adalah sebuah skenario akuntansi, sedangkan keputusan untuk melakukan hapus
tagih adalah terkait dengan kepemilikan asset (ownership). Dari sudut substansi, ini adalah dua hal yang berbeda. Dalam hal keputusan hapus tagih,
keterlibatan pihak pemilik (Pemerintah) adalah mutlak, karena akan
mengakibatkan berkurangnya asset si pemilik.
Kurang Cermat
Dengan
merujuk pada alur pikir yang disampaikan di atas, keberatan yang disampaikan
oleh berbagai pihak (baca: Bank-bank BUMN) terkait dengan cara penagihan
piutang yang tak tertagih melalui Panitia Urusan Piutang Negara hampir dapat
dipastikan tidak berdasar. Berbagai permasalahan yang terjadi dalam hal ini,
kemungkinan besar dipicu oleh penafsiran yang kurang tepat, terutama di tingkat
Pemerintah, yang kemudian dituangkan dalam berbagai ketentuan pelaksanaan.
Konkritnya, mungkin
saja terjadi penafsiran bahwa tindakan hapus buku baru dapat dilakukan ketika
status piutang tersebut benar-benar tidak tertagih. Alur pikir seperti ini
sangat mungkin digunakan bilamana tindakan hapus buku dinyatakan sebagai sebuah
langkah awal dalam sebuah rangkaian tindakan
(sequence) penghapusan.
Namun, terlepas
dari spekulasi tersebut di atas, agaknya ketentuan dalam Undang-undang No. 49 Prp. Tahun 1960 yang menugaskan Panitia untuk memastikan
bahwa pemberian kredit oleh Bank sesuai dengan maksud dan tujuan penggunaannya [2],
sangat mempengaruhi keputusan direksi untuk menyerahkan atau tidak
menyerahkan piutang tak tertagihnya
kepada Panitia.
Sudah barang tentu,
akan sangat sulit bagi direksi Bank BUMN untuk menyerahkan piutang tak
tertagihnya yang disebabkan karena berbagai keputusan internal yang menyalahi
ketentuan kepada Panitia Urusan Piutang Negara. Ini sama saja dengan
merintis terbukanya penyelidikan terhadap terjadinya kerugian Negara di
instansinya.
Oleh
karena itu, keputusan Mahkamah Konstitusi nomor 77/PUU-IX/2011 tanggal 17 September 2012
adalah secercah harapan. Pertimbangan dalam keputusan tersebut yang menyatakan
bahwa, BUMN adalah badan usaha yang
memiliki kekayaan terpisah dari kekayaan negara, sehingga kewenangan pengurusan
kekayaan, usaha, termasuk penyelesaian utang-utang BUMN tunduk pada hukum
perseroan terbatas berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas, tampak sebagai sebuah mantra sakti (magic word) bagi penyelesaian piutang tak tertagih di Bank-bank
BUMN.
Dengan merujuk
pada keputusan tersebut di atas,
berbagai pihak kemudian berpendapat
bahwa penyelesaian piutang tak tertagih pada Bank-bank BUMN tidak lagi dapat
dikaitkan dengan kasus-kasus korupsi. Ini adalah murni masalah BUMN. Yaitu
badan usaha yang memiliki kekayaan terpisah dari kekayaan negara.
Benarkah demikian ?
Sebagaimana
dikemukakan di bagian awal tulisan ini, berbagai pihak justru berpendapat bahwa
lahirnya keputusan itu sendiri telah memancing lahirnya polemik baru.
Bila diamati secara
teliti, keputusan Mahkamah Konstitusi nomor
77/PUU-IX/2011 tanggal 17 September 2012 mengandung ketidakcermatan yang dapat mengakibatkan terjadinya pembiasan penafsiran oleh
berbagai pihak terhadap materi yang diuji.
Pertama, pernyataan
bahwa, BUMN adalah badan usaha yang
memiliki kekayaan terpisah dari kekayaan negara[3]
, pada hakekatnya, merupakan sebuah definisi baru. Pernyataan
tersebut, bila dicermati, ternyata tidak sejalan dengan makna yang terkandung
dalam Undang-undang No. 19 tahun 2003 tentang BUMN.[4] Bila demikian halnya, sudah pasti tidak
sejalan pula dengan maksud Undang-undang No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan
Negara yang menjadi acuan lahirnya Undang-undang no. 19 tahun 2003 itu sendiri.
Pernyataan dimaksud
akan membawa berbagai pihak pada sebuah simpulan bahwa, berbagai keputusan yang
dilakukan oleh para pengelola (direksi) BUMN tidak memiliki keterkaitan dengan
pengelolaan Keuangan Negara. Padahal, Undang-undang No. 17 tahun 2003 tentang
Keuangan Negara tidak pernah menyatakan
seperti itu.
Menurut kenyataan, Undang-undang No.
17 tahun 2003 menyatakan bahwa
Kekayaan Negara yang Dipisahkan (baca: antara lain BUMN) merupakan bagian dari
Keuangan Negara yang, karena alasan
tujuan atau motif keberadaannya, dikelola dengan cara tersendiri. Artinya,
Kekayaan Negara yang Dipisahkan tidak dikelola melalui sistem APBN, melainkan
menggunakan sistem tersendiri. Namun demikian, dalam kedudukannya
sebagai unsur Keuangan Negara, kesalahan dalam pengelolaan yang dilakukan
di luar pola baku dalam sistem yang dianutnya yang kemudian
mengakibatkan kerugian, akan merupakan
kerugian negara.
Ini adalah
konsekuensi dari sebuah pernyataan/ tuntutan yang dicanangkan di awal kelahiran
Undang-undang bidang Keuangan Negara. Yaitu, good governance and clean government. Pengelolaan yang baik dan
benar dalam sub-sub bidang Keuangan negara – sub bidang fiskal, sub bidang moneter, dan sub bidang kekayaan negara yang
dipisahkan—untuk mencapai pemerintahan yang bersih. Ini adalah sesuatu yang
mutlak harus dilakukan !
Kedua, Keputusan
Mahkamah Konstitusi tersebut bukan saja memutuskan tentang cara penyelesaian
piutang, khususnya piutang yang tak tertagih, tetapi, bila dicermati, sudah
memasuki wilayah substansi. Yaitu tentang
kepemilikan piutang itu sendiri. Hal tersebut dapat dilihat dengan mengamati
secara utuh pertimbangan yang disampaikan dalam keputusan dimaksud sebagai
berikut :
1. BUMN adalah badan usaha yang memiliki
kekayaan terpisah dari kekayaan negara, sehingga kewenangan pengurusan
kekayaan, usaha, termasuk penyelesaian utang-utang BUMN tunduk pada hukum
perseroan terbatas berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas.
2. Piutang negara adalah jumlah uang yang
wajib dibayar kepada Pemerintah Pusat, sehingga piutang badan atau BUMN bukan
merupakan piutang negara.
3. Piutang Bank BUMN bukan lagi merupakan piutang negara yang
harus dilimpahkan penyelesaiannya ke PUPN.
4. Piutang Bank-Bank BUMN dapat diselesaikan
sendiri oleh manajemen masing-masing Bank BUMN berdasarkan prinsip-prinsip yang
sehat di masing-masing Bank BUMN.
Apa yang dapat
disimpulkan ketika kita mencermati pertimbangan angka 2 di atas ? Kendati dari sudut redaksional kalimat tersebut tampaknya tidak ada yang
salah, tetapi dari sudut linguistik, kalimat yang menampilkan sebuah konklusi
tersebut tampak disusun tidak mengikuti kaidah, dan terkesan sekedar
asal-asalan. Kurangnya premise yang dijadikan elemen dalam penyusunan
kesimpulan dalam sebuah sylogisme tersebut,
menyebabkan kesimpulan -- sehingga
piutang badan atau BUMN bukan merupakan piutang negara --, terasa
dipaksakan.
Bahkan, walaupun
dalam kalimat utamanya menyajikan kutipan definisi dari Undang-undang Keuangan
Negara, tampilnya kalimat tersebut dalam pertimbangan keputusan Mahkamah
Konstitusi tampak merupakan kejanggalan. Terlebih lagi bila dikaitkan dengan
materi Undang-undang yang sedang dilakukan pengujian (Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960).
Hal ini dilandaskan
pada kenyataan bahwa Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 secara eksplisit pun
sudah menyatakan bahwa Panitia
Urusan Piutang Negara hanya melakukan penagihan terhadap semua piutang Negara yang telah diserahkan pengurusannya kepadanya oleh Pemerintah
atau Badan-badan yang dimaksudkan dalam undang-undang tersebut. Sementara, pengertian piutang itu sendiri secara tegas juga
telah dinyatakan sebagai piutang yang
adanya dan besarnya telah pasti menurut hukum, akan tetapi yang menanggung
hutangnya tidak melunasinya sebagaimana mestinya.
Jadi, untuk apa kalimat tersebut disajikan sebagai sebuah
pertimbangan ? Toh tidak memiliki relevansi yang cukup kuat. Hal yang sama, juga tampaknya untuk pertimbangan angka 3.
Selanjutnya, apa yang diinginkan dengan menampilkan
pertimbangan angka 4 tersebut di atas ?
Apakah pernyataan bahwa, piutang Bank-Bank
BUMN dapat diselesaikan sendiri oleh manajemen masing-masing Bank BUMN
berdasarkan prinsip-prinsip yang sehat di masing-masing Bank BUMN mencakup pula kewenangan
direksi untuk melakukan hapus tagih disamping hapus buku ? Bila itu yang
dimaksudkan, disitulah tampaknya kesalahan besar yang telah dilakukan oleh Majelis Hakim Konstitusi.
Bila
diperhatikan, ketidakcermatan dalam Keputusan Mahkamah Konstitusi di atas lah
yang kini mendominasi pemikiran para direksi BUMN. Tampaknya, mereka pun
menyadari bahwa implementasi keputusan tersebut akan menimbulkan permasalahan
di lapangan. Lebih dari itu pun,
sebenarnya, mereka juga menyadari bahwa abuse
of power ataupun mis-used of public
treasury is a criminal act.
Dan, di
mana pun akan dikenakan hukuman. Pilihannya hanya, apakah
tindakan tersebut dikategorikan sebagai tindakan kriminal di
ranah pidana umum, atau di ranah pidana
khusus (tipikor). Itu saja ! Yang pasti, tidak bisa dimasukkan dalam
kategori perbuatan di ranah perdata ataupun administratif. Titik !
[1] Lihat pasal …. Sementara itu,
kriteria piutang itu sendiri sebagaimana dinyatakan dalam pasal … adalah bahwa,
piutang tersebut adanya
dan besarnya telah pasti menurut hukum, sedangkan yang menanggung hutangnya
tidak melunasinya sebagaimana mestinya
[2] melakukan pengawasan terhadap
piutang-piutang/kredit-kredit yang telah dikeluarkan oleh Negara/Badan-badan
Negara apakah kredit itu benar-benar dipergunakan seuai dengan permohonan
dan/atau syarat-syarat pemberian kredit dan menanyakan keterangan-keterangan
yang berhubungan dengan itu Kepada Bank-bank ….. (pasal 4 ayat 4).
[3] BUMN adalah badan usaha yang memiliki
kekayaan terpisah dari kekayaan negara, sehingga kewenangan pengurusan
kekayaan, usaha, termasuk penyelesaian utang-utang BUMN tunduk pada hukum
perseroan terbatas berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas.
[4] Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut
BUMN, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki
oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan
negara yang dipisahkan. (UU. No. 19 tahun 2003 psl 1 angka 1)
2 comments:
MOhon izin bertanya Pak Siswo.
Saya awali dg produk bank yaitu bank garansi, dimana bank garansi adalah jaminan dari Bank yang diberikan kepada pihak penerima jaminan (bisa perorangan/perusahaan/pemerintah dan biasa disebut Bouwheer atau Obligee) apabila pihak yang dijamin (biasanya nasabah bank/pemenang tender dan biasa disebut Kontraktor/Principal) tidak dapat memenuhi kewajiban atau cidera janji (Wanprestasi).
Nah disini bank garansi yg sudah diterbitkan oleh bank dilakukan penjaminan ulang kembali oleh pihak perusahaan penjamin/perasuransian yang sering disebut Kontra Bank Garansi.
Kemudian ketika terjadi tuntutan klaim bank garansi dari Obligee atas terjadinya wanprestasi Principal yang diarahkan ke bank, karena beberapa sebab, diantaranya :
1. Pekerjaan tidak selesai,
2. Pekerjaan tidak sesuai spesifikasi,
3. Obligee/Bouwheer memutuskan kontrak secara sepihak.
Atas dasar hal² trsebut, maka bank akan mencairkan klaim (bank garansi), tapi secara best practice bank akan mengklaimnya kembali ke perusahaan penjamin/asuransi utk membayar tuntutan klaim dari Obligee atau menggunakan sistem rembes yaitu bank mencairkan bank garansi terlebih dulu stelah itu baru meminta tukar ke penjamin/asuransi.
Dalam penjaminan Bank Garansi dikenal dengan istilah mudah dicairkan & tidak bersyarat (unconditional), dimana melakukan pembayaran klaim tanpa melakukan analisa/melihat dokumen/survei lapangan saat terjadinya klaim tersebut (sesuai dengan Perpres no. 54 tahun 2010 dan PMK no. 145/PMK.05/2017 pasal 6), sekalipun ada permasalahan hukum tetap dibayarkan dulu kepada Obligee, & jika ada persoalan hukum maka diselesaikan dikemudian hari.
Sedangkan jika dilihat dari POJK no. 2/POJK.05/2017 pasal 10 menyatakan sbb :
"(1) Penjaminan, penjaminan syariah, penjaminan ulang & penjaminan ulang syariah bersifat menhikat & tdk dpt dibatalkan secara sepihak.
(2) Penjaminan & penjaminan syariah dpt dibatalkan & dikecualikan dari ketentuan sebagaimana pada ayat (1), apabila:
a. Penerima jaminam dan/atau terjamin terbukti memberikan informasi, data, atau dokumen palsu;
b. Penerima jaminan dan/atau terjamin terbukti menyembunyikan informadi, data atau dokumen yg tdk sesuai dg ktentuan penjaminan atau penjaminan syariah; dan/atau
c. Terbukti adanya itikad buruk dari penerima jaminan dan/atau terjamin.
(3) Penjaminan ulang dan penjaminan ulang syariah dpt dibatalkan dalamnhal terjadi pembatalan penjaminan atau penjaminan syariah yg disebabkan terpenuhinya ketentuan sebagaimana pada ayat (2)".
Terjadi beberapa kali tuntutan klaim bank garansi dari Obligee atas wanprestasinya Principal kepada bank, kemudian bank melanjutkannya ke perusahaan penjamin/asuransi, setelah perusahaan penjamin/asuransi menganalisis & mensurvei seluruhnya, ternyata didapatkan kepalsuan baik itu identitas palsu/dokumen palsu/kontrak palsu dari Principal.
Nah dari peristiwa tsb diatas, timbulah dilematis dari pihak perusahaan penjamin maupun asuransi, dimana jika klaim bank garansi dibayarkan oleh penjamin/asuransi ke bank yang dilanjutkan ke Obligee/Bouwheer maka bank dan penjamin/asuransi akan digugat oleh Principal/Kontraktor karena akan terjadinya blacklist/daftar hitam pada Principal/Kontraktor tersebut.
Akan tetapi jika klaim dari Obligee/Bouwheer ditunda atau tidak dibayarkan/dicairkan, maka akan timbul gugatan dari pihak Obligee/Bouwheer dg dalih menimbulkan kerugian uang negara.
Karena dimana disini rata-rata 90% proyek pekerjaan atas Bouwheer/Obligee adalah pemerintah & menggunakan APBN/APBD.
.....lanjutan.....
Sering kali dianalisa oleh kami selaku penjamin/asuransi bahwa beberapa Principal melakukan penipuan data/informasi dan/atau itikad buruk.
Dan keadaan sebenarnya yang terjadi selama ini adalah Penjamin/Asuransi hanya berPKS dg Bank saja, yang sering disebut Perjanjian Kerja Sama ttg Penjaminan Bank Garansi/Kontra Bank Garansi, tanpa berPKS dg Obligee dan/atau Principal.
Dimana notabenenya yang langsung bertatap muka dengan Principal adalah pihak Bank bukan penjamin/asuransi, jadi segala jaminan/agunan semua diurus oleh Bank.
Alhasil kami Penjamin/Asuransi mau tidak mau harus melepaskan hak istimewa (tdk dapat mencairkan agunan terlebih dahulu, tetapi harus melakukan pembayaran klaim terlebih dahulu).
Bisa dikatakan kami Penjamin/Asuransi follow the bank saja, karena semua demi hubungan bisnis yg baik/ex gratia (yang terjadi secara best practice seperti itu).
Tapi sebenarnya kami tidak mau follow the bank, karena terlalu berisiko & apa yg dilakukan/dianalisa oleh Bank tidak semuanya 100% dianalisa dengan baik & prudent, maka dari itu kami perlu adanya analisa kembali lebih dalam terlebih jika adanya pengajuan klaim dari bank terhadap Kontra Bank Garansi.
Disini jika penjamin/asuransi mendukung bank dg cara membayar klaim ke Obligee, pasti nanti dari pihak Principal akan kena DHN (Daftar Hitam Nasional) dimana tdk dapat beroprasi ± selama 2 tahun, seperti blacklist SID BI kalo dalam perkreditan perbankan. Sehingga dg kejadian tsb si Principal tdk terima & menggugat kami (bank & penjamin/asuransi).
Sedangkan apabila penjamin/asuransi & bank tidak membayarkan klaim tersebut ke Obligee/Bouwheer, malah gantian Obligee nya yang akan menggugat kami (bank & penjamin/asuransi) dg dalih menimbulkan kerugian negara, karena proyek yg dikerjakan oleh Principal tsb menggunakan APBN/APBD si Obligee.
Setelah beberapa dilakukan survei sendiri, bahwa klaim terjadi dengan kondisi beberapa hal sbb:
1. Principal tdk menyelesaikan pekerjaannya (wanpres) baik karena kesalahan principal itu sendiri atau kesalahan dari bouwherr atau kesalahan keduanya (human error/moral hazard/kongkalikong);
2. Analisa dari Bank yang kurang mendasar & teliti dalam penilaian, pengujian & survei terhadap Bouwheer dan/atau Principal dan/atau Kontraknya, sehingga sampai diterbitkannya Bank Garansi/BG yg kualitasnya biasa saja bahkan cenderung buruk (potensi klaim/fraud);
3. Analisa dari Penjamin/Asuransi yang kurang mendasar atau teliti dalam menerima pengajuan penjaminan Bank Garansi/BG dari bank, sampai diterbitkannya Kontra Bank Garansi/KBG yg kualitasnya biasa saja bahkan cenderung buruk (potensi klaim/fraud).
Dan kami selaku perusahaan penjamin/asuransi harus mematuhi Perpres/PMK atau POJK atau bagaimana solusi terbaiknya?
Karena akhir-akhir ini kami selaku perusahaan penjamin sering digugat baik dari pihak Obligee/Principal maupun Principal/Kontraktor.
Semoga sharing ini dapat bermanfaat bagi semua kalangan di Indonesia.
Demikian yang dapat saya sampaikan kepada bapak, atas perhatian & tanggapannya saya ucapkan terimakasih.
Post a Comment