STATUS HUKUM KEKAYAAN
NEGARA
MENURUT UNDANG-UNDANG
BIDANG KEUANGAN NEGARA
INTRODUKSI
Terasa
memang agak aneh kedengarannya, bila negara seperti Indonesia yang telah
mendeklarasikan kemerdekaannya sejak tahun 1945, ternyata baru memiliki Undang-undang
yang mengatur tentang Keuangan Negara setelah lima puluh delapan tahun
kemudian, yaitu pada tahun 2003. Dalam kaitan ini, terlalu banyak aspek yang bisa dikemukakan terkait dengan kejadian tersebut.
Namun,
salah satu aspek yang kemudian dapat diketahui adalah mencuatnya perbedaan
pendapat tentang materi yang akan dimuat dalam Undang-undang itu sendiri. Yaitu, terutama terkait dengan cakupan keuangan
negara. Dari penelitian yang berhasil dihimpun Tim Penyusun Paket RUU Bidang
Keuangan Negara, perbedaan tersebut berkaitan dengan pandangan Pemerintah yang
mengartikan Keuangan Negara terbatas hanya pada hal-hal terkait dengan
pengelolaan APBN. Hal inilah tampaknya yang menjadi kunci perbedaan dengan
pendapat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK RI).
Kini,
ketika saya bergabung dalam Tim Ahli Dewan Perwakilan Daerah RI (DPD) yang kebetulan melakukan inisiasi
penyusunan RUU Kekayaan Negara, walaupun tidak secara eksplisit menampilkan
gagasan yang sama, ternyata
sisi lain dari gagasan lama tersebut diungkapkan pula dalam buku Naskah
Akademik Tim Ahli DPD yang lama yang tentunya nanti akan dijadikan landasan
pikir (filosofie grondslag) bagi
penyusunan rancangan undang-undang tersebut. Gagasan dimaksud antara lain adalah
munculnya kedudukan hukum kekayaan negara yang dipersepsikan memiliki status
hukum publik, di satu sisi, dan memiliki
kedudukan hukum privat, di sisi lainnya.
PENDEKATAN TEORITIS
Menurut
pandangan Badan Pemeriksa Keuangan, dengan mengacu pada pemikiran dan praktek
selama bertahun-tahun sejak sebelum Indonesia merdeka hingga Indonesia merdeka,
bahwa pengertian Keuangan Negara adalah tidak hanya terbatas pada pengelolaan
APBN. Yaitu, yang hanya sebatas peran
negara di bidang fiskal semata. Melainkan meliputi pula berbagai aspek terkait
peran negara dalam berbagai kehidupan bernegara.
Perbedaan
pandangan inilah yang dahulu kemudian memunculkan sebuah kesepakatan antara
pemerintah dengan BPK tentang pengertian Keuangan Negara. Yaitu, sebuah kesepakatan
untuk tidak saling bersepakat.
Dalam kedudukan saya sebagai Ketua Tim Kecil
Penyusunan RUU Bidang Keuangan Negara, ketika berdiskusi dengan para Ahli
pendamping Penyusun RUU Kekayaan Negara inisiatif Pemerintah ketika itu, saya
selalu menyampaikan dan meminta perhatian hal-hal seperti di bawah ini, karena
bagi saya hal tersebut sangat mendasar.
Para penyusun RUU tersebut, mencatat pendapat
berbagai Ahli yang kemudian mengerucut dengan pernyataan sebagai berikut:
Dalam konsepsi negara sebagai organisasi
kekuasaan,
kedudukan hukum dari kekayaan negara dapat dikategorikan kekayaan yang menjadi domain publik dan domain privat.
Kekayaan negara dalam arti domain publik meliputi kekayaan negara potensial
yang dikuasai negara sesuai amanat Pasal 33 ayat (3) dan ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, sedangkan kekayaan negara dalam arti domain privat dimaknai sebagai kekayaan yang dimiliki oleh negara sesuai amanat pasal 23C dan pasal 33 ayat (3) UUD RI
Tahun 1945
Kekayaan negara dalam arti domain privat merupakan kekayaan yang dimiliki
oleh negara, terdiri atas: (1) kekayaan negara dimiliki yang dipisahkan pada
perusahaan negara / perusahaan daerah; dan (2) kekayaan negara dimiliki yang tidak dipisahkan berupa barang
milik negara/daerah (BMN/D) yang bersumber dari Pasal 23 ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa
anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan
negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara
terbuka dan bertanggung jawab untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat..
Pernyataan
berbagai pihak seperti di atas, menurut hemat saya, kurang didasarkan pada
pemikiran yang cukup mendalam, melainkan hanya bersifat superficial dengan menggunakan pola pikir yang bersifat analogis.
Yaitu, dengan menyamakan makna ‘kepemilikan’ terhadap asset oleh pihak-pihak
tertentu, yang dalam hal ini adalah negara dan individu. Padahal, seharusnya,
berbagai pihak menggunakan pola pikir yang lebih teliti (baca: filosofis)
dengan memperhatikan makna kepemilikan kekayaan itu sendiri dan tujuan dari
kegiatan negara dibandingkan dengan kegiatan individu.
Sebagai
bandingan terhadap pendapat tersebut di atas, perlu kiranya dikutip pendapat beberapa
Ahli Hukum Keuangan Negara terkait dengan Anggaran Negara sebagai alat
pemerintah yang kemudian menjelaskan pula kedudukan kekayaan negara sebagai
unsur Keuangan Negara.
Louis
Trotabas dan Jean Marie Cotteret, sebagai Ahli Hukum Keuangan Negara Perancis
terkait dengan anggaran negara menulis dalam bukunya sebagai berikut :
… Namun jika
Pemerintah harus melaksanakan dan bertanggungjawab terhadap kegiatan-kegiatannya
adalah bahwa kegiatan tersebut pada hakekatnya bukanlah untuk kepentingan
negara sendiri. Oleh karena itu, bagi negara, ketika harus melaksanakan
kegiatan tersebut masalahnya bukanlah pada ‘pemilihan mengenai apa yang dapat dilakukan’,
melainkan lebih pada ‘apa yang harus dilakukan’. Bukan seperti halnya yang
terjadi pada individu dengan kecenderungan melakukan pilihan mengenai ‘apa yang
dapat dilakukan’.
(…. Mais si l’Etat doit assumer que
ses activites: mais le probleme n’est pas pour lui, comme pour l’individu, de
choisir ce qu’il peut faire, mais ce qu’il doit faire.)
Selanjutnya
…..
‘ Berkaitan
dengan itu, pengelolaan keuangan negara didominasi oleh adanya legitimasi terhadap
kegiatan pemerintah, yaitu begitu di terima/ ditetapkan, harus dilaksanakan.
Artinya, pemerintah harus menjamin pembiayaannya. Dalam hal ini tentunya bukan
dengan cara mencari penghasilan atas produk-produk yang dihasilkan seperti
layaknya pada sector privat (individu), mengingat baik kegiatan maupun pilihan
yang dilakukan bukan dipicu oleh adanya keuntungan yang merupakan wujud dari
pendapatan, melainkan harus dilakukan karena adanya kepentingan masyarakat yang
menjadi tanggungjawab negara’.
(La gestion des
finances publiques est ainsi dominee par la reconnaissance des activites de
l’Etat, qui, des qu’elles sont admises, doivent etre assures, coute que coute,
c.a.d financees. Il ne s’agit donc pas, pour l’Etat, d’obtenir une marge de
ressources superieures a ses charges, comme dans la vie privees, parce que ni
ses activites ni ses choix ne sont subordonnes a l’existence de cette marge:
ils sont imposes par le service de
l’interet general don’t l’Etat a la charge.)
Sementara
itu, di sisi lain, yaitu mengenai kekayaan negara, Paul Marie Gaudemet dan Joel
Molinier, menyatakan bahwa, ternyata kekayaan negara memiliki pengertian yang
sangat luas. Oleh karena, pengertian tersebut tidak lagi hanya membatasi bahwa
yang dimaksudkan dengan kekayaan negara adalah merupakan kekayaan Negara, dalam
arti kekayaan yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, maupun
institusi pemerintah lainnya, melainkan telah memasukkan unsur kekayaan pihak
lain (privat).
Masuknya
unsur kekayaan privat ke dalam kekayaan negara secara jelas disampaikan dalam
pernyataannya bahwa,
‘
Pengertian mengenai kekayaan negara kemudian menjadi sangat kompleks, karena
disamping pengertian itu sendiri kemudian muncul pengertian deniers prives reglementes yang juga
dinyatakan sebagai kekayaan negara.
Yaitu, kekayaan pihak lain (privat) yang dipercayakan kepada institusi
pemerintah, dan dikelola dan dipelihara
oleh Bendahara Negara. ‘
(La notion de deniers publics est
devenue d’autant plus complexe qu’a cote d’ells est apparue la notion de
‘derniers prives reglementes’, c’est-a-dire de deniers prives qui sont confies
aux organisms publics et qui etant conserves et geres par les comptables
publics sont assimiles aux deniers publics.)
Oleh
karena itu, dengan mengutip pendapat le Conseil d’Etat, Paul Marie Gaudemet
kemudian menyatakan bahwa: ‘kekayaan dinyatakan sebagai kekayaan negara adalah
bilamana dikaitkan dengan pelaksanaan layanan public (‘des derniers avaient le caractere publics lorsqu’ils etaient affectes a
la execution d’un service public’).
Bukan
hanya sebatas itu, ternyata pemikiran tersebut didasarkan pula pada hal-hal
yang lebih mendasar, yaitu berkaitan dengan letak Hukum Keuangan Negara di
antara Hukum lainnya. Sehubungan dengan hal tersebut di atas di bagian awal
bukunya, Paul Marie Gaudemet menyampaikan catatan simpulan dari berbagai uraian
sebelumnya, dalam bentuk pertanyaan, yaitu : :
Jadi,
kalau demikian, dimanakah letak (Hukum) Keuangan Negara dalam hukum public ?
(Mais
quelle est alors la place des finances publiques dans le droit public ?)
Terhadap
pertanyaan tersebut, Paul Marie Gaudemet kemudian menyampaikan bahwa, secara
tradisional hukum public memang terbagi dalam dua cabang, yaitu: Hukum
Konstitusional (di Indonesia dikenal dengan Hukum Tata Negara) dan Hukum
Administratif. Dalam kaitan ini, Hukum Keuangan Negara merupakan pelengkap dari
kedua Hukum dimaksud.
(Le droit public est
traditionnellement divise en deux branches :
- Le
droit constitutionnel qui etudie les regles juridiques s’appliquant aux organs
des decisions politiques, a la function gouvernementale au sens large;
- Le
droit administrative qui etudie les regles juridiques s’appliquant aux organs
d’execution, a la function administratives…;
-
Les finances publiques viennent
completer ces deux branches du droit.)
Dengan
memperhatikan pada hal-hal di atas terdapat empat pernyataan yang dapat
diungkapkan, adalah :
1. Negara
sebagai otoritas, melakukan berbagai tindakan didasarkan pada kepentingan masyarakat dengan melakukan pilihan apa yang harus dilakukan demi untuk kepentingan masyarakat;
2. Terkait dengan peran tersebut, telah
menempatkan (Hukum) Keuangan Negara sebagai bagian dari hukum public;
3.
Kekayaan memiliki sifat sebagai
kekayaan negara bilamana kekayaan dimaksud digunakan untuk menghasilkan layanan
public.
4.
Di dalam pengertian yang lebih luas,
di dalam kekayaan negara terkandung pula kekayaan pihak lain yang dikelola oleh
negara.
IMPLEMENTASINYA
DI INDONESIA
Dengan memperhatikan
substansi yang terkandung dalam Undang-undang no. 17 tahun 2003 tentang
Keuangan Negara dan Undang-undang no. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara para penyusun Undang-undang tersebut memberikan pengertian tentang kedua
undang-undang tersebut sebagaimana di bawah ini.
Undang-undang Keuangan
Negara merupakan undang-undang yang mengatur hubungan hukum antara lembaga
Legislatif dan lembaga Eksekutif dalam menyusun dan menetapkan Undang-undang
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (UU APBN).
Sementara itu, Undang-undang
Perbendaharaan Negara merupakan undang-undang yang mengatur hubungan hukum
antar instansi di dalam lembaga Eksekutif dalam rangka melaksanakan
Undang-undang APBN.
Dari pengertian tersebut di
atas dapat dilihat dengan jelas bahwa baik Undang-undang Keuangan Negara,
maupun Undang-Perbendaharaan Negara memiliki ciri sebagai undang-undang yang masuk di dalam lingkup
Hukum Publik. Tidak terdapat satu ciri pun yang menyiratkan bahwa kedua
undang-undang tersebut memiliki karakter Hukum privat.
Beranjak dari konsepsi/
pemikiran tentang anggaran negara, di satu sisi, dan kekayaan negara yang
merupakan unsur anggaran negara, di sisi
lain, para penyusun Undang-undang bidang Keuangan Negara menyadari bahwa
kekayaan negara, baik dalam bentuk yang dikuasai maupun yang dimiliki oleh
negara, pada hakekatnya, adalah ditujukan untuk kepentingan masyarakat. Tujuan
inilah yang menurut pendapat para ahli
hukum keuangan negara, sebagaimana dikemukakan di atas, telah memberikan karakter
public (negara) pada kekayaan negara.
Mengacu pada pemikiran tersebut,
para penyusun Undang-undang Keuangan Negara, secara eksplisit kemudian menuangkan
dalam pasal 2, bahwa yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi :
............
g. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri
atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta
hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan
pada perusahaan negara/ perusahaan daerah;
h. kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam
rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;
i. kekayaan pihak lain yang diperoleh
dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.
Selanjutnya dengan tetap mengedepankan
kepentingan dalam penyediaan layanan kepada
masyarakat, Undang-undang Perbendaharaan
dalam Pasal 50 menyatakan bahwa :
Pihak mana pun dilarang melakukan
penyitaan terhadap :
……..
c. barang bergerak milik negara/daerah baik yang berada
pada instansi Pemerintah maupun pada pihak ketiga;
d. barang tidak bergerak dan hak kebendaan lainnya milik
negara/daerah;
e. barang milik pihak ketiga yang dikuasai oleh
negara/daerah yang diperlukan untuk penyelenggaraan tugas pemerintahan.
Apa yang
tersirat dalam larangan yang tertuang dalam pasal 50 Undang-undang
Perbendaharaan tersebut di atas, sudah dapat ditebak. Yaitu, adalah
menghindarkan agar negara tidak terhambat dalam penyediaan layanan kepada
masyarakat. Sebuah pernyataan secara eksplisit tentang kedudukan kekayaan
negara yang dikaitkan dengan tugas-tugas negara.
P E N U T U P
Terkait dengan itu, perlu
kiranya dilakukan diskusi/ kajian ulang terhadap adanya pendapat yang
mengemukakan bahwa dalam kekayaan negara tersebut terdapat bagian yang
merupakan domein privat. Dalam kaitan
ini patut diduga bahwa, berbagai pendapat tersebut terutama ditujukan pada
kekayaan negara yang dipisahkan yang kemudian ditempatkan dalam BUMN/BUMD.
Namun demikian, dalam kenyataannya dalam
penempatan kekayaan negara yang dipisahkan pun, yang ditempatkan pada
badan-badan usaha milik negara atau milik daerah, tujuan untuk memenuhi
kepentingan masyarakat merupakan tujuan yang sangat dominan. Hal tersebut dapat
dilihat, antara lain, dalam pasal 1 UU no. 19 tahun 2003 tentang BUMN.
Hal tersebut sejalan dengan apa yang
disampaikan oleh para Ahli Hukum Keuangan Negara tersebut diatas, dan juga
terkait dengan definisi atau ranah yang menjadi cakupan hukum public. Sejalan
dengan pemikiran itu pula, penyalahgunaan kewenangan terkait dengan pengelolaan
kekayaan negara yang dipisahkan, antara lain pada BUMN/ BUMD, yang
mengakibatkan kerugian negara kemudian dinyatakan sebagai tindakan yang
berkaitan dengan ranah hukum public, yaitu Tindak Pidana Korupsi. Bukan berada
di ranah hukum privat.
Makassar, 23 Maret 2016
*
* *
Hukum
publik mencakup peraturan-peraturan hukum yang mengatur kekuasaan dan wewenang
negara, serta mengatur hubungan hukum
antara anggota masyarakat dan negara. Hukum privat mencakup
peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang hubungan antara individu dalam
memenuhi keperluan hidupnya.
No comments:
Post a Comment