CORPORATE SOCIAL RESPONSABILITY (CSR) DALAM PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA DI INDONESIA
Kendati gagasan tentang Corporate
Social Responsability (CSR), atau yang kemudian diterjemahkan secara bebas
dengan Tanggungjawab Sosial Perusahaan, sudah cukup lama diimplementasikan pada
korporasi di berbagai negara, geliat penerapannya di Indonesia, bila
diperhatikan, baru terasa beberapa tahun belakangan ini.
Masyarakat luas memahami bahwa CSR adalah sesuatu yang diberikan
oleh sebuah korporasi kepada masyarakat. Itu sebabnya, mereka demikian menikmati arti CSR ini ketika di hari raya memperoleh fasilitas pulang gratis
dan lain sebagainya yang disediakan oleh perusahaan tertentu yang selama ini,
secara tidak langsung, telah terbantu dengan kegiatan operasi usaha mereka. Atau,
menerima donasi sembako pada hari-hari di mana kehidupan bagi sebagian
masyarakat kecil terasa mulai lebih sulit dari biasanya.
Ini adalah sebuah contoh
pemahaman yang keliru tentang pengertian CSR. Masyarakat luas memang hanya
memiliki pemahaman sebatas seperti itu. Mereka berpendapat bahwa CSR adalah
suatu bentuk pemberian dari sebuah korporasi kepada masyarakat. Sebuah donasi
atau sumbangan. Pemahaman seperti itu, dalam kenyataannya bukan hanya dimiliki
oleh masyarakat yang berpredikat sebagai awam, tetapi juga dimiliki oleh
berbagai kalangan pengusaha yang mengendalikan sebuah korporasi.
Yang paling
memprihatinkan adalah bahwa trend pemahaman seperti itu juga dimiliki oleh para
pejabat yang mengendalikan badan-badan usaha milik negara. Oleh karena itu,
bila diperhatikan tidak sedikit program di beberapa badan usaha milik negara
yang tidak/ kurang berhasil kemudian disumbangkan kepada pihak-pihak tertentu
yang kemudian diberi label CSR.
A. CSR Sebagai
Sebuah Konsep
Berbagai kepustakaan
mengindikasikan bahwa lahirnya pemikiran tentang Corporate Social
Responsability (CSR) semula dipicu oleh adanya keinginan perusahaan untuk
mengurangi benturan yang mungkin terjadi dengan masyarakat sekitar. Atas
dasar pemikiran dimaksud, banyak pihak berpendapat bahwa terdapat unsur yang
kurang positif dari sebuah korporasi dalam masalah konsep CSR tersebut. Yaitu,
bahwa CSR dipandang sebagai unsur untuk melemahkan sikap atau pendapat
masyarakat terhadap hal-hal yang merugikan masyarakat itu sendiri. Atau, dalam terminology yang lebih konkrit yang
biasa digunakan sehari-hari, adalah semacam ‘suap’ lah kepada masyarakat. Walaupun, terhadap
pandangan itu sendiri, banyak pihak yang kurang sependapat.
Namun, apa pun yang
menjadi motifnya, ditinjau dari sudut pandang sebuah korporasi, kegiatan CSR
pada prinsipnya adalah sebuah kegiatan yang ditujukan untuk mencegah gangguan
yang dilakukan oleh masyarakat atau dalam terminology yang lebih umum dikenal
sebagai interupsi usaha.
Terkait dengan itu, agar kegiatan bisnisnya
tidak terganggu, sebuah korporasi harus dapat membina hubungan yang harmonis
dengan masyarakat sekitar. Akan tetapi, tidak terlepas dari motif tindakan
dalam sebuah korporasi, kegiatan CSR selain harus memberikan manfaat nyata yang
dapat dirasakan oleh masyarakat, harus pula dituntut untuk dapat memberikan
manfaat kepada perusahaan.
Mengacu pada pemikiran
tersebut di atas, berbagai pihak sering salah menafsirkan bahwa CSR merupakan
kegiatan yang ditujukan untuk kepentingan promosi (branding promotion).
Misalnya saja, dilakukan dalam bentuk pemberian fasilitas atau bantuan kepada
masyarakat tertentu yang bersifat insidentil.
Padahal, CSR seharusnya
merupakan sebuah kegiatan perusahaan yang terkonsep dengan baik. Sebuah
kegiatan yang ditujukan untuk kemajuan masyarakat dan lingkungannya yang
terdampak dari berbagai aspek operasional perusahaan.
Bila demikian halnya, CSR
pastilah bukan suatu kegiatan yang bersifat jangka pendek atau bahkan bersifat
insidentil, melainkan sebuah kegiatan yang berkesinambungan. Oleh karena itu,
program/ kegiatan CSR harus merupakan investasi yang terencana dengan baik
dalam suatu periode jangka panjang untuk menciptakan pertumbuhan dan
pembangunan masyarakat secara berkelanjutan. Dengan demikian, program/ kegiatan
CSR akan memiliki dampak yang nyata dan terukur.
Dalam pada itu,
mengingat program/ kegiatan CSR pada hakekatnya ditujukan untuk kepentingan
masyarakat sekitar (terdampak), hampir dapat dipastikan bahwa kegiatan CSR
tidak terkait dengan kegiatan inti (core business) perusahaan. Hal
tersebut membawa konsekuensi bahwa kegiatan CSR tidak selayaknya dibiayai dari
dana operasional perusahaan. Oleh karena itu, dalam praktek, kegiatan CSR
sebuah korporasi tidak dibiayai dari dana operasional perusahaan,
melainkan dari keuntungan perusahaan.
B. Pengelolaan
Keuangan Negara
1.
Hak dan Kewajiban Negara
Berdasarkan Hukum
Keuangan Negara, pengelolaan keuangan negara harus dilihat dari sudut pandang
hubungan antara Pemerintah dan rakyatnya (gouvernant et gouvernes), baik dari
segi politis, ekonomis, dan hukum, khususnya terkait dengan pengertian hubungan
hukum antara Negara/ Pemerintah dengan rakyat.
Menurut studi Ilmu
Keuangan Negara, dengan mengacu pada hak-hak azasi masyarakat yang secara rinci
dituangkan dalam Declaration of Human Right yang kemudian dimuat dan dijadikan
landasan Konstitusi berbagai Negara di dunia, secara konstitusional
Pemerintah berkewajiban untuk menjamin kesejahteraan masyarakat melalui
penyediaan barang dan jasa publik. Sebagaimana kemudian disadari, penyediaan
barang dan jasa publik dimaksud dapat dibiayai melalui sistem perpajakan maupun
melalui sistem ‘sharing’ tergantung dari sifat barang dan jasa publik yang
bersangkutan.
Hal-hal, yang pada
hakekatnya mencakup cara penyediaan barang dan jasa publik dimaksud, yang
meliputi bagaimana pendanaan harus dicari, dialokasikan, dan kemudian digunakan
itulah yang kemudian merupakan obyek tata kelola keuangan rumah tangga
Negara yang dikenal dengan tata kelola Keuangan Negara. Oleh karena itu,
pengelolaan keuangan Negara, sesuai dengan peran Negara pada zamannya, hanya
terfokus pada keuangan rumah tangga Negara, yang dikenal dengan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Kendati kewajiban
Pemerintah untuk menjamin kesejahteraan masyarakat melalui penyediaan barang
dan jasa publik dalam rangka menjamin kesejahteraan masyarakat sebagaimana
dinyatakan dalam konstitusi tidak berubah, peran Negara di era modern
berkembang secara signifikan seiring dengan perkembangan dan kebutuhan
masyarakat.
Bentuk, cara, dan pola
penyediaan layanan dimaksud kemudian berpengaruh terhadap cara atau model
pembiayaannya. Hal-hal tersebut pada gilirannya melahirkan lembaga-lembaga
sebagai unsur Pemerintah dalam pengambilan keputusan di bidang keuangan Negara.
Pemikiran di era modern
tersebut membawa konsekuensi dalam bentuk perubahan terhadap konsepsi Keuangan
Negara yang semula sempit ke arah pengertian yang lebih luas. Yaitu, yang
semula menempatkan Pemerintah sebagai subyek, yang semata-mata mengelola
keuangan Negara untuk memenuhi layanan publik melalui Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara, kemudian berkembang menjadi Pemerintah dalam peran barunya
yang mencakup semua unsur Pemerintah yang memiliki kewenangan pengambilan
keputusan keuangan dalam rangka pelaksanaan perannya dalam arti luas. Konsepsi
baru Keuangan Negara ini kemudian dikenal dengan Keuangan Sektor Publik.
Konsekuensi perubahan
terhadap konsepsi Keuangan Negara menjadi Keuangan Sektor Publik tersebut,
secara substansi, merubah cakupan keuangan negara yang kemudian meliputi
keuangan :
-
Unit-unit Pemerintah sebagai penghasil barang/ jasa
publik, yaitu: kementerian/ lembaga Negara, dan unit nir laba;
-
perusahaan Negara di bawah kementerian yang anggarannya
dikelola dalam APBN yang diserahi tugas untuk menghasilkan barang dan jasa
publik;
-
perusahaan Negara dengan penganggaran tersendiri yang
diserahi tugas untuk menghasilkan barang dan jasa publik;
-
lembaga keuangan Pemerintah, termasuk bank sentral,
bank umum, dan lembaga asuransi.
2.
CSR Dalam Pengelolaan Keuangan Negara
Sebagaimana dikemukakan
di atas, bila tujuan utama CSR adalah untuk mencegah interupsi usaha,
pertanyaan yang perlu dikemukakan pada kesempatan ini adalah ‘apakah
dalam kedudukannya sebagai unit pemerintah, sebuah badan usaha milik negara
memerlukan program/ kegiatan seperti CSR ?’
Dengan mengacu pada
hal-hal yang telah disampaikan di atas, jawabannya seharusnya adalah ‘
Tidak.’ Hal ini mengingat tujuan pendirian badan usaha milik
negara itu sendiri, antara lain, adalah untuk menyediakan layanan publik.
Artinya, bahwa lahirnya badan usaha milik negara sejak semula
adalah ditujukan untuk memenuhi kepentingan publik. Yaitu, merupakan
tujuan yang tidak berbeda dengan unit-unit pemerintah lainnya.
Bila demikian halnya,
program yang dikembangkan untuk kegiatan CSR, nantinya akan tumpang
tindih dengan kegiatan pokok (core business) badan usaha itu sendiri.
Atau pun bila tidak, akan tumpang tindih (overlap) dengan kegiatan lain
yang pada hakikatnya tertuju untuk penyelenggaraan layanan publik yang menjadi
tugas pemerintah. Yaitu, kegiatan yang dilaksanakan oleh kemeterian/ lembaga.
Kendati tentunya tidak
semua pihak sependapat dengan pemikiran di atas, paling tidak berbagai pihak
sependapat bahwa kalau pun diperlukan adanya CSR, hendaknya kegiatan CSR
tersebut tidak harus identik dengan pola CSR yang diterapkan pada sebuah
korporasi pada umumnya. Artinya, perlu dipikirkan model yang sesuai dengan
sifat lembaga korporatif milik negara tersebut.
C. Implementasi
CSR pada BUMN di Indonesia
Berbagai hal yang perlu
mendapat perhatian terkait dengan pelaksanaan CSR di Indonesia adalah
sebagaimana disampaikan dalam penjelasan di bawah ini.
1.
Model yang bersifat spesifik
Terlepas apakah
pemikiran tersebut di atas dijadikan dasar pertimbangan ataupun tidak, praktek
penyelenggaraan CSR pada badan usaha milik negara ternyata relatif berbeda
dengan pola yang selama ini diselenggarakan pada perusahaan-perusahaan pada
umumnya. Sebagaimana dituangkan dalam pasal 88 (1) UU no. 19 tahun 2003 tentang
BUMN, pola tersebut adalah seperti di bawah ini.
Sejak awal, program CSR pada badan-badan usaha milik negara telah diarahkan untuk kegiatan
tertentu yang telah ditetapkan. Konkritnya, bahwa dana-dana yang disisihkan
oleh korporasi dimaksud digunakan untuk membiayai dua kelompok program/
kegiatan. Yaitu, sebagian untuk pembinaan usaha kecil, dan sebagian lagi
digunakan untuk pemberdayaan kondisi lingkungan. Bila dicermati, ini adalah merupakan perbedaan signifikan yang tampak dalam penyelenggaraan program CSR pada badan-badan usaha milik negara dibandingkan dengan program CSR yang dilaksanakan pada perusahaan-perusahaan swasta pada umumnya.
Program kelompok
pertama, yang dikenal dengan nama Program Kemitraan, adalah program untuk
meningkatkan kemampuan usaha kecil agar menjadi tangguh dan mandiri. Program
dimaksud berbentuk :
1. Pemberian
pinjaman untuk modal kerja dan/atau pembelian Aktiva Tetap Produktif,
2. Pinjaman khusus bagi
UMK yang telah menjadi binaan yang bersifat pinjaman tambahan dalam rangka
memenuhi pesanan dari rekanan usaha UMK Binaan,
3. Program
pendampingan dalam rangka peningkatan kapasitas (capacity building) UMK binaan
dalam bentuk bantuan pendidikan/pelatihan, pemagangan, dan promosi.
Sementara itu, program
kelompok kedua dinamakan Program Bina Lingkungan. Sesuai dengan namanya,
program dimaksud mencakup berbagai aspek sosial kemasyarakatan. Cakupan
kegiatan Program Bina Lingkungan meliputi pemberian bantuan untuk bencana alam,
bantuan pendidikan dan pelatihan, bantuan prasarana umum, bantuan kesehatan
masyarakat, bantuan sarana ibadah serta bantuan pelestarian alam.
Sebagaimana layaknya
yang berlaku dalam dunia korporasi, program-program CSR di Indonesia juga
disediakan oleh BUMN yang berasal dari penyisihan keuntungan bersih perusahaan.
Sesuai ketentuan, dana yang disediakan untuk CSR tidak melebihi 4% dari
keuntungan bersih perusahaan. Yaitu, sebagian untuk membiayai Program
Kemitraan, dan sebagian lainnya untuk Program Bina Lingkungan.
Dengan mengacu pada pola
pembiayaan di atas, secara prinsip, Program Kemitraan dimaksud akan dibiayai
melalui penyisihan keuntungan dengan porsi tidak lebih dari 2% dari keuntungan
bersih badan usaha yang bersangkutan. Disamping itu, sebagaimana kemudian
ditetapkan dalam ketentuan, program dimaksud dapat pula dibiayai dari hasil
pengelolaan dana itu sendiri yang terakumulasi di lembaga pengelolanya.
Melalui program ini setiap UMK yang telah berkembang diharapkan juga
dapat menyerap tenaga kerja dari masyarakat lokal, sehingga mereka mendapatkan
penghasilan.
Dibandingkan dengan
Program Kemitraan, program Bina Lingkungan memiliki dimensi yang lebih luas dan
lebih variatif sifatnya. Namun demikian, dari sisi pendanaan, seperti halnya
Program Kemitraan, program ini pun dibiayai melalui penyisihan keuntungan
dengan porsi tidak lebih dari 2% dari keuntungan bersih badan usaha yang
bersangkutan. Disamping juga tentunya dari hasil pengelolaan dana itu sendiri
yang terakumulasi di lembaga pengelolanya.
Dari pola pembiayaan
yang kini dikembangkan, tampak bahwa program CSR (PKBL) telah
mengakibatkan terjadinya penurunan bagian laba pemerintah, selaku pemegang
saham/ pemilik. Hal tersebut disebabkan karena keuntungan bersih yang
seharusnya hanya diperuntukkan sebagian sebagai Dana Cadangan (Equity) dan
sebagian lagi berupa Deviden untuk Negara, kini harus dikurangi untuk pendanaan
program PKBL.
Lebih dari itu, beberapa
pihak tampaknya berpendapat bahwa program PKBL memiliki pengaruh pula terhadap
Penyertaan Modal Pemerintah (PMN) sehingga menjadi understated.
*
*
*
No comments:
Post a Comment