PEMIKIRAN TENTANG DISKRESI MENURUT UU NO. 30 TAHUN 2014 DALAM
PELAKSANAAN PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA:
Sebuah analisis praktis
INTRODUKSI
Dapatkah kebijakan publik yang diambil oleh para
pejabat publik dipidanakan ?
Jawabannya adalah ‘ Dapat ‘. Bahkan, ‘ Harus ‘.
Ini adalah sebuah perdebatan yang berkembang pasca merebaknya kasus Bank
Century. Ternyata bukan saja sekedar perdebatan, melainkan berujung pada
kenyataan.
Padahal, bila mengacu pada konsep
teori, jawabannya seharusnya adalah ‘ Tidak ‘. Mengapa ? Karena, kebijakan publik
yang diambil oleh seorang pejabat publik, pada hakekatnya,
adalah ekspresi untuk mewujudkan kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, tidak seharusnya pejabat publik tersebut
dipidanakan. Itulah kira-kira dasar pernyataan Presiden SBY ketika menyampaikan
agar berbagai pihak mampu menahan diri dan melindungi para pejabat publik agar tidak dikriminalisasi. Ini adalah sebuah konsepsi idealis. [2]
Namun, seorang advocat senior (+) di
negeri ini, dalam suatu kesempatan menyatakan bahwa, “Nanti dulu, harus dilihat substansinya !”
“Jangan kemasannya !” “Bungkusnya sih dapat saja merupakan kepentingan
masyarakat, tetapi adakah hal lain behind the policy ?”
Bila dicermati, diskursus tersebut
adalah sebuah contoh sempurna. Sebuah contoh yang membandingkan antara
pemikiran konsepsional dengan kenyataan yang terjadi dalam praktek sehari-hari.
Pembandingan antara Das Sollen dan Das Sein. Tapi bukan pembandingan antara
teori dan praktek. Melainkan antara formalitas legal dengan substansi keputusan
dalam suatu keputusan pejabat Administrasi Negara. Atau, lebih jelasnya,
mencoba menelusuri motif atau niat dalam pengambilan keputusan itu sendiri.
Kejadian di atas adalah sebuah
potret nyata untuk dijadikan acuan ketika hari ini semua pihak dihadapkan pada
sebuah situasi yang hampir tidak berbeda. Yaitu, ketika harus
mengimplementasikan UU no. 30 tahun 2014 dikaitkan dengan instruksi Presiden. Khususnya,
bila harus bersinggungan dengan keputusan dalam pengelolaan keuangan negara.
Bagaimana sikap ketentuan tentang
tata kelola penyelenggaraan pemerintahan (government
administration) pada umumnya bila dihadapkan dengan pengelolaan keuangan
negara yang didasarkan pada Hukum Keuangan Negara yang memiliki kaidah baku
? Bagaimana istilah yang memiliki arti
harafiah sama, padahal memiliki
pengertian substansi yang berbeda harus digunakan dalam pelaksanaan agar tidak
terjadi pembiasan pengertian dan salah dalam pengambilan keputusan ? Hal-hal
inilah, antara lain, yang merupakan materi yang perlu diungkapkan dalam diskusi
ini.
Terkait dengan itu,
untuk dapat menjawab pertanyaan di atas, perlu kiranya disampaikan terlebih
dahulu secara ringkas pemikiran konsepsional yang terkandung dalam Hukum
Keuangan Negara. Kemudian, selanjutnya, dilakukan penelaahan terhadap UU no. 30
tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, khususnya terkait dengan
ketentuan tentang diskresi. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah menganalisa
berbagai akibat yang mungkin terjadi dalam upaya penerapan gagasan tentang
diskresi tersebut ditinjau dari sudut Hukum Keuangan Negara.
A. KARAKTER SPESIFIK HUKUM KEUANGAN NEGARA
Hukum
Keuangan Negara, secara teori, mengkhususkan pembahasannya pada dua aspek dari
disiplin Keuangan Negara, yaitu aspek politik dan aspek administratif.
Sudut pandang dari dua aspek sebagaimana tersebut di atas ditrapkan pula di
Indonesia. Bahkan, di Indonesia pemisahan dimaksud diwujudkan secara tegas
dengan menempatkan kedua aspek pengelolaan keuangan negara tersebut dalam undang-undang yang berbeda. Yaitu,
aspek politis pengelolaan keuangan negara dalam Undang-undang No. 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara, sedangkan aspek administratifnya dalam Undang-undang
No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
a. Aspek Politis
1.
Anggaran Negara merupakan
kesepakatan politik.
Dalam kajian Ilmu Hukum Keuangan Negara, aspek politik keuangan negara ini secara substansi mengatur hubungan hukum
antara lembaga legislatif dan lembaga eksekutif dalam rangka penyusunan dan
penetapan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
Secara konkrit, aspek politis keuangan negara tersebut terkait dengan
pelaksanaan pemikiran/ ide yang terkandung dalam undang-undang dasar. Yakni,
mengatur bagaimana amanah undang-undang dasar yang meliputi penyelenggaraan
pemerintahan negara dan pemenuhan hak-hak azasi warga negara harus diwujudkan.
Amanah undang-undang dasar dimaksud
diwujudkan dalam bentuk kegiatan pengelolaan rumah tangga negara, baik
dari aspek kegiatan yang akan dilaksanakan maupun dari aspek pembiayaannya (financing). Dari aspek pembiayaan,
pada hakekatnya, menjawab pertanyaan bagaimana pemerintah dapat membiayai
kegiatan pemerintah dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan dan
pemenuhan hak-hak azasi warga negara.
Di negara demokratis, peran rakyat melalui sistem perwakilannya (lembaga
legislatif) dalam pelaksanaan aspek politis keuangan negara ini sangat dominan
dibandingkan peran pemerintah (lembaga eksekutif) yang pada prinsipnya hanya
merupakan pelaksana. Mewakili rakyat, setiap tahun, lembaga legislatif membuat
kesepakatan dengan lembaga eksekutif mengenai rencana kerja yang harus
dilakukan dalam rangka mewujudkan amanah undang-undang dasar tersebut di atas.
Kesepakatan tersebut bukan saja berisi kegiatan-kegiatan yang harus dan akan
dilaksanakan, akan tetapi juga berisi bagaimana cara pembiayaannya. Dalam arti,
dari mana pendanaan untuk membiayai kegiatan tersebut dapat diperoleh.
Kesepakatan inilah yang kemudian dikenal secara luas dengan istilah Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara.
Dengan demikian, secara politis, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
adalah suatu bentuk kesepakatan antara lembaga legislatif dan lembaga eksekutif
yang berisi rencana kegiatan dan cara pembiayaannya. Dalam kesepakatan tersebut
lembaga legislatif memberikan kewenangan sepenuhnya kepada lembaga eksekutif
untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan yang tertuang didalamnya, di satu sisi,
dan memberikan kewenangan untuk mengupayakan pendanaan dalam rangka membiayai
kegiatan tersebut. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah autorisation parlementaire.
Konsekuensi logis dari kesepakatan tersebut adalah :
Lembaga legislatif memiliki hak untuk melakukan
pengawasan agar kesepakatan tersebut dilaksanakan dengan baik dan benar.
Dalam arti bahwa seluruh rencana kegiatan yang tertuang dalam kesepakatan
dimaksud harus dapat diwujudkan. Disamping itu, lembaga legislatif memiliki hak untuk meminta pertanggungjawaban
terhadap realisasi kesepakatan dimaksud.
Sedangkan lembaga eksekutif memiliki
kewajiban untuk melaksanakan dan mewujudkan program kerja sesuai dengan
rencana yang telah disepakati, serta menyampaikan pertanggungjawaban baik
dari segi kinerja maupun keuangan. Sementara
itu, hak yang dimiliki oleh lembaga eksekutif berupa kewenangan untuk
mengupayakan pendanaan dalam koridor kebijakan umum yang telah disepakati
bersama.
Untuk dapat melakukan pengawasan secara efektif dan efisien terhadap
pengelolaan anggaran negara yang dilaksanakan oleh lembaga eksekutif, lembaga
legislatif memiliki peralatan ataupun prinsip-prinsip yang dikenal sebagai Golden Principles Of Budget Execution,
yang terdiri dari: prinsip-prinsip anterioritas, annualitas,
spesialitas, universalitas, dan prinsip unitas,
Prinsip anterioritas atau prinsip prealable menegaskan bahwa anggaran negara baru dapat dinyatakan sah dan
dapat dilaksanakan bilamana terlebih dahulu memperoleh pengesahan/ persetujuan dari
lembaga legislatif. Dalam praktek, prinsip ini kemudian diwujudkan dalam
berbagai ketentuan yang menyatakan, misalnya bahwa Anggaran Negara (APBN)
merupakan dasar bagi pengeluaran negara, atau adanya larangan bagi pejabat
pemerintah untuk membuat perikatan bilamana tidak tersedia/ tidak cukup
tersedia dana dalam APBN untuk suatu kegiatan tertentu. Bila diperhatikan,
prinsip ini merupakan prinsip yang paling penting di antara prinsip yang ada,
karena menyangkut pemberian persetujuan lembaga legislatif kepada lembaga
eksekutif.
Prinsip annualitas menyatakan bahwa anggaran negara berlaku dalam suatu
periode tertentu, misalnya satu tahun. Prinsip tersebut bukan hanya sekedar
pernyataan tentang periode berlakunya suatu anggaran negara, akan tetapi
memiliki konsekuensi bahwa semua pengeluaran yang dilakukan oleh pihak
eksekutif di luar periode yang telah ditetapkan merupakan pengeluaran yang
tidak sah.
Prinsip spesialitas yang pada prinsipnya menjaga agar anggaran digunakan
khusus untuk kegiatan-kegiatan yang telah ditetapkan ini pada prinsipnya akan
memudahkan lembaga legislatif mendeteksi apakah program-program yang telah
diputuskan dilaksanakan sesuai tujuan, dan tidak digeserkan sesuai dengan
kehendak lembaga eksekutif dalam pelaksanaan. Sesuai dengan maksudnya, prinsip
ini lebih ditekankan pada fungsi-fungsi dalam penyelenggaraan pemerintahan,
yakni antara lain, fungsi pemerintahan negara, fungsi keamanan, fungsi
kesejahteraan rakyat, dlsb. Selanjutnya, dalam penyusunan anggaran negara
ditambahkan unsur organisasi sebagai subyek (pelaksana) yang merupakan
penanggungjawab kegiatan. Terkait dengan itu, dalam praktek kemudian dikenal
pengeluaran untuk fungsi tertentu yang dilaksanakan oleh kementerian/ satuan
kerja tertentu.
Prinsip universalitas merupakan prinsip yang mewajibkan adanya kas tunggal
dalam pengelolaan keuangan negara. Selanjutnya, prinsip ini mengharuskan agar
semua penerimaan di setor ke Kas Negara dan semua pengeluaran dilakukan melalui
Kas Negara. Dengan prinsip ini lembaga legislatif akan mudah mengendalikan
pengelolaan kas pemerintah untuk menghindarkan pemborosan ataupun fraude yang
mungkin terjadi.
Prinsip unitas yang menyatakan bahwa APBN yang disepakati dan harus
dilaksanakan oleh lembaga eksekutif harus tertuang dalam satu dokumen, bukan
terpisah-pisah dalam berbagai dokumen. Tujuan penempatan anggaran negara dalam
satu dokumen ini adalah agar lembaga legislatif dengan mudah dapat
mengendalikan seluruh anggaran yang telah disepakati dan ditetapkannya,
sehingga terhindar terjadinya fraude dalam pengelolaan keuangan negara.
2.
Materi yang terkandung dalam
Anggaran Negara
Secara sederhana penyusunan anggaran negara dilakukan dengan cara mencari
titik temu antara keinginan yang tidak terbatas dengan ketersediaan dana yang
terbatas. Pada titik temu tersebut kemudian disusunlah skala prioritas.
Oleh sebab itu, dengan tetap memperhatikan skala prioritas yang disusun,
sepanjang tidak bertentangan dengan amanah undang-undang dasar yang secara
rinci dituangkan dalam berbagai ketentuan (undang-undang) sebagai pelaksanaan, di satu sisi, dan terdapat
kemungkinan untuk menyediakan pendanaan untuk membiayai kegiatan yang
direncanakan dimaksud, di sisi lain, lembaga legislatif bersama lembaga
eksekutif, secara prinsip, memiliki kebebasan menuangkan berbagai rencana kegiatannya dalam anggaran
negara sesuai kebutuhan.
Kendati, kalau diamati dari sudut teori, fungsi-fungsi penyelenggaraan
pemerintahan di berbagai negara tidak banyak berbeda, kandungan yang termuat
dalam setiap fungsi maupun teknik pengelompokan kegiatan dari negara yang satu
dengan lainnya ternyata sangat bervariasi. Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh
berbagai faktor, antara lain faktor politis dan faktor ekonomis negara yang
bersangkutan.
Oleh karena itu, dalam kenyataan, dapat dilihat adanya variasi dalam pengelompokan
penerimaan maupun pengeluaran dalam sistem anggaran berbagai negara. Namun
demikian, agar analisis terhadap anggaran suatu negara dapat dilakukan sesuai
alur pikir yang disepakati secara internasional, kemudian disusunlah suatu
acuan yang diterbitkan oleh lembaga internasional (IMF) yang dituangkan dalam Government Financial Statistics (GFS).
Sejalan
dengan pemikiran tersebut, di lembaga Eksekutif, setiap tahun, Pemerintah
mengumpulkan rencana kerja berbagai kementerian/ lembaga dalam suatu dokumen
yang disusun atas dasar Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). Ini adalah
suatu bentuk perencanaan fisik terkoordinasikan yang nantinya digunakan untuk
menyusun kebutuhan dana anggaran. Itulah sebabnya, setiap tahun, semua
kementerian/ lembaga, tanpa kecuali, diwajibkan menyusun Rencana Kerja dan
Anggaran untuk disampaikan kepada Pemerintah, cq. Menteri Keuangan, selaku
Pengelola Fiskal. Dokumen tersebut, pada saat ini, dikenal dengan nama RKA-K/L.
Dengan
demikian, ditinjau dari sudut substansi, dokumen RKA-K/L mengandung dua unsur
yang tidak
dapat dipisahkan satu sama lain yaitu, Rencana Kerja dan Rencana Anggaran.
Sebagaimana dikemukakan di atas, Rencana Kerja Kementerian/Lembaga tersebut
kemudian dihimpun oleh Pemerintah (dilakukan oleh Bappenas) dan disusun menjadi
Rencana Kerja Tahunan Pemerintah. Sementara itu, Rencana Anggarannya, dihimpun
oleh Menteri Keuangan, selaku Pengelola Fiskal, untuk kemudian disusun menjadi
dokumen Rancangan Undang-Undang APBN (RUU-APBN).
b.
Aspek Administratif
Bila aspek politik keuangan negara secara substansi mengatur hubungan hukum
antara lembaga legislatif dan lembaga eksekutif dalam rangka penyusunan dan
penetapan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), aspek
administratifnya mengatur hubungan hukum antar instansi dalam lembaga eksekutif dalam rangka pelaksanaan anggaran pendapatan
dan belanja negara (APBN).
Dalam aspek
administratif pengelolaan keuangan negara terdapat serangkaian tindakan (sequential
act) yang diawali dengan pemberian
kewenangan oleh Presiden sebagai Kepala Pemerintahan kepada para pembantunya,
penerbitan dokumen yang dijadikan dasar dalam melaksanakan UU APBN, dan
pelaksanaan kegiatan.
1.
Otorisasi Presiden
Pemberian otorisasi
parlementer dalam bentuk pengesahan dan penetapan Undang-undang APBN, menandai
berakhirnya tahapan politis dalam pengelolaan keuangan Negara. Selanjutnya,
pengelolaan keuangan Negara memasuki tahapan administratif.
Secara konkrit, aspek administratif keuangan negara
tersebut terkait dengan teknik bagaimana Undang-undang APBN dilaksanakan. Yakni, mengatur bagaimana kesepakatan antara lembaga eksekutif dan
lembaga legislatif yang telah dituangkan dalam Undang-undang APBN dapat diwujudkan oleh berbagai instansi di dalam Kementerian/
Lembaga.
Mengawali tahapan
administratif tersebut, sebagai tindak lanjut dari pemberian otorisasi
parlementer yang diberikan kepada Pemerintah, Pemerintah, dalam hal ini
Presiden, kemudian menerbitkan Otorisasi Presiden (Presidential Authorization)
yang ditujukan kepada para Menteri/ Pimpinan Lembaga sebagai pengguna
anggaran (budget user).
Secara substansi,
Otorisasi Presiden tersebut berupa pemberian mandat/ kuasa kepada para Menteri/
Pimpinan Lembaga untuk melaksanakan berbagai kegiatan beserta alokasi dana
sebagaimana telah dituangkan dalam Undang-undang APBN. Di dalam system
pengelolaan keuangan Negara Indonesia, Otorisasi Presiden dimaksud diwujudkan
dengan peraturan presiden yang mengatur tentang rincian APBN.
Bila dicermati
dengan saksama, lahirnya Otorisasi Presiden tersebut mengandung dua makna
penting. Pertama, di pihak Kementerian Keuangan dan, kedua, di pihak
Kementerian/ Lembaga.
Di pihak
Kementerian Keuangan keputusan Presiden tersebut menandai: pertama, berakhirnya
peran Menteri Keuangan yang selama pembahasan bersama DPR bertindak mewakili
Presiden dan berperan selaku Penguasa
Fiscal (Fiscal Authority); dan kedua,
menandai dimulainya peran Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara (Treasurer)
yang mengendalikan pengeluaran berbagai kementerian/ lembaga agar bertindak
sesuai UU APBN dan mematuhi aturan dalam tata kelola administrasi Keuangan
Negara.
Sedangkan di pihak
Kementerian/ Lembaga, membebankan kewajiban kepada para Menteri untuk melaksanakan kesepakatan yang telah
disetujui antara Pemerintah dengan DPR sesuai bidangnya masing-masing.
Dengan demikian, terkait dengan makna kelahiran Otorisasi Presiden tersebut
--khususnya makna kedua--, berbagai tindakan para pejabat publik dalam pelaksanaan APBN
(dalam tahapan administratif) hanya merupakan operasionalisasi
keputusan politis. Dengan kata lain, berbagai tindakan/ keputusan
para pejabat publik terkait dengan pelaksanaan APBN adalah sekedar membuat berbagai keputusan yang telah dituangkan dalam APBN menjadi sesuatu
yang nyata. Perubahan dalam
bentuk apa pun, kecuali telah diberikan mandat sebelumnya oleh Lembaga Legislatif,
ditinjau dari sudut Hukum Keuangan Negara, merupakan suatu bentuk pelanggaran.
Hal ini karena setiap perubahan yang terjadi sebagai akibat keputusan pejabat
public dapat dipastikan akan melanggar
prinsip pengelolaan Keuangan Negara (Golden Principles) sebagaimana
dikemukakan di atas.
2.
Penerbitan Dokumen Pelaksanaan Anggaran
Dalam rangka
mengoperasionalkan keputusan politik yang tertuang dalam UU APBN, setiap
Kementerian/ lembaga kemudian wajib menyusun dokumen pelaksanaan. Di dalam sistem tata kelola keuangan negara
Indonesia -- menurut undang-undang bidang keuangan negara – dokumen dimaksud
dikenal dengan nama Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA).
Secara prinsip,
sesuai alur pemikiran yang disampaikan di atas, DIPA suatu kementerian/ lembaga
berisi segala rincian kegiatan dan sekaligus rincian pembiayaan (anggaran) yang
diperlukan yang akan dilaksanakan selama satu tahun ke depan. Sebagai alat
operasional, dokumen (DIPA) tersebut kemudian terbagi dalam unit-unit kerja
kementerian/ lembaga yang dikenal dengan istilah Satuan Kerja (Satker).
Artinya, setiap Satker akan memiliki dokumen pelaksanaan anggaran (DIPA)
sendiri-sendiri sebagai alat operasional dalam melaksanakan kegiatannya.
Bila dicermati,
dokumen pelaksanaan anggaran (DIPA) tersebut memiliki dua arti penting.
Pertama, dilihat dari sudut Hukum Keuangan Negara; dan kedua, dilihat dari
sudut manajemen, khususnya, manajemen keuangan negara.
Ditinjau dari sudut
Hukum Keuangan Negara, DIPA merupakan dokumen yang memiliki karakter
otorisasi yang dijadikan dasar bagi pelaksanaan pengeluaran negara. Bila diperhatikan
dengan seksama, penerbitan DIPA tersebut merupakan bagian terakhir dari suatu
rangkaian pemberian otorisasi (kewenangan). Yaitu, yang dimulai dengan
Otorisasi Parlemen (otorisation parlementaire) dari lembaga legislatif
kepada lembaga eksekutif yang berupa UU
APBN; kemudian diikuti dengan Otorisasi Pemerintah (Otorisation
Gouvernementale) dari Presiden kepada setiap kementerian/lembaga yang
diwujudkan dalam bentuk Peraturan Presiden tentang Rincian APBN; dan terakhir, Otorisasi Kementerian (Otorisation
Ministeriele) dari Kepala Kementerian/ Lembaga kepada para pejabat
bawahannya (Kepala Satuan Kerja) dalam bentuk DIPA.
Terkait dengan itu, penerbitan berbagai (surat) keputusan oleh pejabat publik dalam
pelaksanaan APBN bukan merupakan keputusan yang berdiri sendiri, melainkan
merupakan akibat dari suatu keputusan politis yang telah diambil dalam rangka
penyusunan dan penetapan Undang-undang APBN. Penerbitan surat keputusan oleh para Pejabat
Publik dimaksud adalah
suatu bentuk tindakan dalam pemenuhan unsur untuk
melengkapi langkah operasionalisasi keputusan politis.
Sedangkan ditinjau dari sisi lainnya, yaitu dari sudut manajemen keuangan
negara, DIPA merupakan sebuah dokumen acuan bagi pelaksanaan kegiatan dan
anggaran untuk setiap satuan kerja sebuah kementerian/ lembaga. Dus, DIPA tersebut
merupakan alat kendali (means of control). Yaitu, merupakan alat kendali
operasional :
·
agar berbagai keputusan yang dilakukan oleh
para pejabat publik di kementerian/ lembaga tetap mengacu dan sejalan dengan
keputusan politik,
·
agar pelaksanaan kegiatan dan pelaksanaan
pengeluaran anggarannya tetap memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan anggaran
(keuangan negara), antara lain: prinsip annualitas, prinsip spesialitas, dlsb.
Kedua hal di atas
itulah, pada hakekatnya, yang melandasi makna hubungan antara UU APBN dengan
DIPA.
3.
Pelaksanaan Kegiatan
Satu hal yang menjadi kunci dalam pelaksanaan kegiatan terkait dengan alokasi pendanaan yang tercantum
dalam UU APBN adalah, bahwa proses pelaksanaan pengeluaran negara untuk pembiayaan kegiatan dimaksud harus mengikuti prosedur baku dan berpatokan
pada norma-norma pengelolaan keuangan negara. Keharusan
tersebut merupakan kunci untuk menghindarkan Negara dari kemungkinan mengalami kerugian.
Sejalan dengan itu, pemikiran utama yang harus dijadikan landasan bagi para pejabat /
pengelola keuangan negara dalam melakukan tindakan pengeluaran negara adalah
dengan menghindarkan terjadinya kerugian negara.
Tindakan tersebut diawali dengan memastikan terselenggaranya
organisasi pengelolaan keuangan negara di semua unit jajarannya agar mampu menjamin terselenggaranya mekanisme chek
and balance diantara para pejabat pemegang kewenangan. Secara konkrit,
tindakan tersebut dilakukan dengan cara memisahkan secara tegas pemegang fungsi pengambil keputusan yang dapat
mengakibatkan pengeluaran negara degan pemegang fungsi perintah pembayaran.
Selanjutnya, adalah menjamin bahwa terhadap keputusan pejabat pengambil keputusan yang dapat
mengakibatkan pengeluaran negara tersebut harus dilakukan pengujian-pengujian yang diperlukan, yaitu
pengujian dari aspek wetmatigheid, rechtmatigheid dan doel matigheid. Maksud yang terkandung dalam tindakan pengujian
dimaksud, pada prinsipnya, adalah memberikan jaminan atau kepastian bahwa
pemerintah :
·
telah memperoleh haknya dalam
perikatan yang dibuatnya dengan pihak lain (rekanan),
·
hanya akan membayar kepada
pihak lain berdasarkan kesepakatan/ perikatan yang dibuatnya, dan
·
pembayaran tersebut sesuai dengan prestasi yang diterimanya dalam koridor perikatan yang ada.
Dalam konteks ini, yang dimaksud dengan pengujian wetmatigheid pada prinsipnya adalah pengujian yang mempertanyakan
dasar hukum pengeluaran negara yang akan dilakukan. Dalam hal ini, fokus
pertanyaan adalah terkait dengan ketersediaan alokasi anggaran dalam APBN yang
selanjutnya dituangkan dalam dokumen pelaksanaan Anggaran.
Pengujian rechtmatigheid pada
hakekatnya mempertanyakan mengapa pihak lain (rekanan) melakukan tagihan kepada negara.
Secara prinsip, jawaban yang diharapkan adalah pengungkapkan tentang adanya
kesepakatan antara pemerintah dengan pihak lain, penyerahan barang/jasa yang
diperjanjikan, dan besaran biaya/harga yang ditagihkan atas dasar perjanjian
tersebut.
Pengujian doelmatigheid pada
dasarnya mempertanyakan kelayakan/ tujuan penggunaan dana yang dialokasikan
dalam dokumen APBN.
Dengan mencermati uraian di atas, dapat disampaikan
bahwa Pelaksanaan Anggaran, secara
konkrit, adalah terkait dengan teknik bagaimana Undang-undang APBN
dilaksanakan. Yakni, mengatur bagaimana kesepakatan antara lembaga
eksekutif dan lembaga legislatif yang telah dituangkan dalam
Undang-undang APBN dapat diwujudkan oleh berbagai instansi di
dalam Kementerian/ Lembaga.
Bila dicermati dengan saksama,
pelaksanaan anggaran merupakan rangkaian tindakan yang dimulai dengan pemberian
otorisasi oleh Presiden, yang berupa Peraturan Presiden tentang Rincian APBN,
yang kemudian diikuti oleh lahirnya otorisasi
Menteri, yang lebih dikenal dengan DIPA.
Lahirnya Otorisasi Presiden
tersebut mengandung dua makna penting. Yaitu, bagi Kementerian Keuangan dan,
dan bagi Kementerian/ Lembaga.
Di pihak Kementerian Keuangan
keputusan Presiden tersebut menandai: pertama, berakhirnya peran Menteri
Keuangan yang selama pembahasan bersama Legislatif bertindak mewakili
Presiden dan berperan selaku Penguasa Fiscal (Fiscal Authority); dan kedua, menandai dimulainya peran Menteri
Keuangan selaku Bendahara Umum Negara (Treasurer)
yang mengendalikan pengeluaran berbagai kementerian/ lembaga agar bertindak
sesuai UU APBN dan mematuhi aturan dalam tata kelola administrasi Keuangan
Negara.
Sedangkan di pihak Kementerian/
Lembaga, membebankan kewajiban kepada para Menteri untuk melaksanakan
kesepakatan yang telah disetujui antara Pemerintah dengan lembaga legislatif
sesuai bidangnya masing-masing. Perubahan dalam bentuk apa pun, kecuali telah
diberikan mandat sebelumnya oleh Lembaga Legislatif, ditinjau dari sudut Hukum
Keuangan Negara, merupakan suatu bentuk pelanggaran. Hal ini karena setiap
perubahan yang terjadi sebagai akibat keputusan pejabat publik dapat
dipastikan akan melanggar prinsip pengelolaan Keuangan Negara (The Golden
Principles of the Budget).
Dari gambaran
tersebut, tidaklah mengherankan bila berbagai prinsip tata kelola anggaran
negara, hanya dapat dilanggar ketika terjadi situasi force majeur. Artinya, kecuali keadaan memaksa, anggaran negara
harus dilaksanakan sesuai apa yang telah diputuskan oleh Lembaga Legislatif.
Bagi banyak
pihak, rigiditas (kekakuan) dalam hal pelaksanaan anggaran negara ini justru
menimbulkan pertanyaan bila dihadapkan dengan jargon ‘lets the manager manage’ yang selama ini diusung oleh para
penyusun (inisiator) Undang-undang Bidang Keuangan Negara. Mereka justru
menanyakan dimana letak kebebasan atau keleluasaan para manager, yang dalam hal ini
maksudnya dahulu adalah para Menteri, dalam mengelola keuangan kementeriannya
bila pelaksanaan anggaran negara harus dikunci dan selalu mengikuti patokan
yang telah dituangkan dalam UU APBN.
Dalam kaitan ini
perlu diperjelas maksud jargon itu sendiri agar tidak menimbulkan mis-persepsi.
Gagasan tersebut bermula dari adanya keinginan untuk memberikan incentive bagi
para Menteri yang dapat melaksanakan kegiatan dalam kementeriannya dengan menggunakan
anggaran yang telah disediakan secara efektif dan efisien.
Kemampuan
mengelola anggaran secara efektif dan
efisien untuk mencapai target kinerja yang telah ditetapkan akan menghasilkan
sisa anggaran. Sisa anggaran inilah yang nantinya dapat digunakan untuk
membiayai program-program baru di tahun anggaran mendatang. Tentu saja,
angka-angka yang dituangkan dalam perencanaan harus merupakan angka yang dapat
diuji kebenarannya. Bukan sekedar angka perkiraan yang tidak jelas
perhitungannya.
Jadi, jargon tersebut
tidak boleh diartikan bahwa setiap Menteri kemudian dapat membuat kebijakan
dalam pengelolaan anggaran di kementeriannya masing-masing untuk sekedar dapat
membiayai program baru yang dipikirkan dalam tahun berjalan atau yang
sebelumnya belum terprogram.
c.
Diskresi
dalam pengelolaan keuangan negara
Sebuah system pengelolaan keuangan pemerintah yang baik adalah bilamana system tersebut mampu mendukung kegiatan
unit-unit pemerintahan dalam jajarannya, tanpa
menimbulkan kendala dalam
situasi apa pun. Pemikiran inilah yang menjadi acuan para pejabat
pengelola keuangan negara ketika berhadapan dengan berbagai ketentuan
pengelolaan keuangan yang dirasakan demikian tidak fleksibel.
Berbagai pihak berpendapat bahwa, sepanjang
dananya tersedia dalam anggaran negara, atau terdapat keadaan yang membutuhkan
suatu tindakan cepat pemerintah,
seharusnya pemerintah memiliki keleluasaan untuk menggunakan dana yang
tersedia, atau setidak-tidaknya menggeserkan dana yang disediakan untuk
kepentingan lain yang untuk sementara waktu belum digunakan. Pemikiran seperti
inilah yang kemudian melahirkan gagasan tindakan yang bersifat diskretif.
Tentunya kita semua sependapat bahwa
mengelola negara bukanlah sekedar menerapkan norma yang ada secara kaku. Namun,
lebih dari itu. Mengelola negara, secara essensi, adalah menjamin negara mampu
menyelenggarakan kewajibannya kepada rakyatnya dengan sebaik-baiknya.
Namun demikian, perlu disadari bahwa sebuah diskresi, menurut para ahli
hukum, lahir karena adanya sebuah kekosongan aturan (regulasi). Kekosongan
aturan itu sendiri dipicu oleh adanya
suatu keadaan yang memaksa (force majeur).
Atau, dalam alur logika yang sangat sederhana yang mudah dipahami oleh masyarakat awam
adalah, bahwa lahirnya sebuah diskresi disebabkan karena keadaan yang sedang
dihadapi bersifat sangat khusus, sehingga berbagai ketentuan yang ada tidak
dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahaan yang timbul. Dengan kata
lain, bahwa diskresi akan menyebabkan terjadinya penyimpangan atau pelanggaran
terhadap ketentuan yang ada. Hal yang demikian sangat logis, mengingat
ketentuan yang ada, pada hakekatnya hanya diciptakan untuk mengatur keadaan
yang biasa (normal).
Berdasarkan pemikiran seperti itulah kemudian para ahli hukum
berpendapat bahwa lahirnya sebuah
diskresi harus memenuhi dua persyaratan, yaitu, pertama, terjadi keadaan yang
memaksa; dan kedua, terdapat kekosongan aturan hukum.
Ternyata, persyaratan lahirnya sebuah diskresi dalam pengelolaan
keuangan negara, secara prinsip, tidak berbeda dengan konsep tersebut di atas.
Prinsip-prinsip pengelolaan keuangan negara sebagaimana disampaikan di
atas, terutama tiga prinsip pertama -- anterioritas, annualitas, dan spesialitas/ spesifitas – hanya dapat
dilanggar ketika terjadi situasi yang memaksa (force majeur). Hal ini
bukan karena alasan bahwa secara formal
APBN merupakan sebuah undang-undang, melainkan karena APBN, pada
hakekatnya, adalah sebuah kesepakatan antara rakyat dan pemerintah. Diskresi
di tingkat ini merupakan diskresi
terkait dengan keputusan yang dapat mengakibatkan terjadinya pengeluaran
negara. Diskresi semacam ini dapat dinamakan diskresi substansial.
Di sisi pelaksanaan anggaran, berbagai keputusan yang bersifat diskretif
harus dilakukan dengan tetap mengacu pada paradigma yang menyatakan bahwa
pelaksanaan anggaran adalah merupakan operasionalisasi sebuah keputusan
politik. Terkait dengan itu, diskresi yang mungkin dilakukan adalah hanya
mencakup bagaimana operasi pelaksanaan kegiatan penerimaan dan
pengeluaran negara dapat tetap
dilaksanakan ketika terjadi situasi yang tidak seperti biasanya. Namun dalam
hal ini, langkah-langkah diskretif yang diambil harus tetap berpatokan pada
prinsip kehati-hatian (prudential
principle) untuk menghindarkan terjadinya kerugian negara. Diskresi di
tingkat ini merupakan diskresi formal atau operasional. Hal ini dapat dilihat
misalnya dalam system pembayaran pada akhir tahun.
B. PEMIKIRAN DALAM UU 30 TAHUN 2014
TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN
Sebagaimana diungkapkan dalam pasal 1
angka 1, bahwa materi utama undang-undang tersebut adalah pengaturan tentang
tata laksana dalam pengambilan keputusan dan/atau tindakan oleh badan dan/atau
pejabat pemerintahan.
Sejalan dengan itu, dalam pasal
selanjutnya, yaitu pasal 4, kemudian diatur lingkup penerapan undang-undang
tersebut yang pada prinsipnya meliputi semua
aktivitas Lembaga dan/ atau Pejabat Pemerintahan yang menyelenggarakan fungsi
Pemerintahan dalam lingkup berbagai lembaga, baik lembaga politik maupun
lembaga lainnya yang disebutkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan/atau undang-undang.
Bila
diperhatikan secara lebih cermat, dari hal-hal yang secara keseluruhan diatur
dalam undang-undang no.30 tahun 2014, dapat dikatakan bahwa tampaknya
undang-undang tersebut berusaha mewadahi berbagai ketentuan yang selama ini
telah dilaksanakan dalam praktek ke dalam sebuah dokumen hukum. Tujuannya adalah
agar terdapat kepastian hukum dan keseragaman dalam penafsiran. Dengan lahirnya
Undang-undang tersebut, berbagai pihak kini memiliki kepastian tentang
pengertian administrasi pemerintahan, pejabat pemerintahan, maupun tindakan
yang dilakukannya.
Yang
sangat menarik untuk diperhatikan adalah bahwa, para penyusun benar-benar berusaha
membatasi pengertian ‘administrasi’ sebagai ‘tata laksana pengambilan keputusan’
dalam aktivitas penyelenggaraan fungsi pemerintahan. Tanpa memasuki substansi
kegiatan itu sendiri.
Bila dicermati Undang-Undang no. 30 tahun 2014 tersebut juga mengatur masalah DISKRESI untuk mengatasi persoalan
konkret yang dihadapi. Namun demikian, tampaknya diskresi yang dimaksud di dalam undang-undang
tersebut memiliki batasan-batasan yang secara rinci sudah sangat jelas. Yaitu,
bilamana dalam
penyelenggaraan pemerintahan para pejabat dihadapkan pada kemungkinan terjadinya stagnasi pemerintahan karena adanya peraturan perundang-undangan:
1. yang memberikan pilihan,
2. tidak mengatur,
3. tidak lengkap atau tidak jelas,.
Hal ini sejalan dengan maksud disusunnya diskresi dalam UU tersebut yang pada intinya ditujukan untuk :
a. Melancarkan penyelenggaraan pemerintahan;
b. Mengisi kekosongan hukum; dan
c. Mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan
tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum.
Satu
hal lain yang tampaknya juga sangat menarik adalah, bahwa ketika mengatur
tentang diskresi, undang-undang tersebut dengan tegas menyerahkan hal-hal yang
terkait dengan Keuangan Negara pada undang-undang lain. Yaitu, tentunya kepada
undang-undang Bidang Keuangan Negara,
khususnya Undang-undang No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Pengaturan
tersebut termaktub dalam Pasal 25 ayat (1) dan ayat (2).
Dalam kaitan ini, yang tampaknya
perlu dikoreksi adalah adanya pernyataan dalam ayat (2) yang mengatakan bahwa ‘diskresi memerlukan persetujuan Atasan bila
menimbulkan akibat hukum yang
berpotensi membebani keuangan negara’. Artinya,
dengan menggunakan argument a contra rio,
bila diskresi yang diputuskan yang berpotensi mengubah alokasi anggaran tidak
menimbulkan akibat hukum yang berpotensi membebani keuangan negara, maka
diskresi tersebut tidak perlu memperoleh persetujuan dari Atasan Pejabat.
C.
PENERAPAN DISKRESI DAN IMPLIKASINYA
a.
Arahan Presiden
Menghadapi
situasi yang cukup sulit dalam pelaksanaan anggaran, khususnya terkait dengan
penyerapan dana anggaran yang relatif rendah oleh hampir seluruh Kementerian/
Lembaga, beberapa waktu lalu Pemerintah
telah menerbitkan arahan yang terdiri dari
lima butir. Bila diperhatikan secara seksama, arahan dimaksud, pada
prinsipnya, menegaskan bahwa berbagai pihak harus dengan cermat membedakan
perbuatan salah dalam pengelolaan keuangan negara yang bersifat administratif
dan bersifat non-administratif beserta penanganan penyelesaian kerugian
negaranya.
Yang menarik adalah bahwa dalam arahan dimaksud terdapat pernyataan
yang dapat menimbulkan salah pemahaman berbagai pihak. Bukan saja para pejabat
pengelola keuangan, tetapi juga para auditor, maupun para penegak hukum. Pernyataan dimaksud terdapat dalam
butir satu yang menyatakan bahwa ‘ diskresi
keuangan tidak bisa dipidanakan’.
Dengan mengacu pada uraian
sebagaimana disampaikan dalam angka romawi 2 di atas, makna
yang terkandung dalam arahan tersebut harus dipahami secara komprehensif, dan perlu disikapi dengan bijak. Kecuali dalam keadaan force majeur, pengertian diskresi
keuangan di atas harus dimaknai sebagai diskresi operasional atau hanya bersifat administratif. Oleh sebab itu, arahannya jelas. Yaitu, tidak
layak untuk dipidanakan !
b.
Implikasi
Menyikapi
arahan tersebut berbagai pihak kini telah menyiapkan atau bahkan telah mengambil
langkah-langkah dengan menyusun
ketentuan pelaksanaan. Namun sayangnya, berbagai langkah yang dipersiapkan
tampaknya cenderung tidak
sejalan dengan konsepsi pengelolaan keuangan negara.
Di
sisi lain, pihak aparat penegak hukum
menjadi ragu ketika mengambil langkah dalam menangani kasus-kasus yang
merugikan negara. Keraguan dimaksud dipicu pula oleh langkah Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) yang merekomendasikan agar kerugian negara yang terjadi di berbagai
unit satuan kerja untuk dikembalikan kepada negara dalam tempo 60 hari.
Padahal,dalam kenyataan, tidak semua kejadian kerugian negara dimaksud terjadi
di ranah administratif. Lagi pula, pernyataan ‘untuk dikembalikan kepada negara dalam tempo 60 hari’ tampaknya sekedar mengadopsi penyelesaian
administrasi yang selama ini menjadi patokan keputusan BPK yang sebenarnya
memerlukan proses dan prosedur berbeda. Bukan semuanya digebyah seperti itu.
K E S I M P U L A N
Dari pembahasan di atas kiranya dapat disimpulkan sebagai berikat :
1. APBN merupakan sebuah kesepakatan
politik yang dituangkan dalam bentuk undang-undang.
2. Pelaksanaan APBN merupakan
operasionalisasi dari sebuah keputusan politik.
3. Diskresi dalam pengelolaan
keuangan negara dapat berupa substansial dan formal/ operasional
4. Diskresi substansial, secara
prinsip, hanya dapat dilakukan bila terjadi situasi force majeur.
5. Diskresi yang termaktub dalam UU
no. 30 tahun 2014 hanya terkait dengan tindakan-tindakan administratif para
Pejabat Pemerintahan.
6. Diskresi yang termaktub dalam UU
no. 30 tahun 2014 tidak mencakup diskresi dalam hal keuangan negara.
*
* *
Hal ini dengan jelas dinyatakan dalam teori kebijakan
publik yang dapat dibaca dalam berbagai kepustakaan.
Pasal 25 UU No.
30 tahun 2014
(1) Penggunaan Diskresi yang berpotensi mengubah alokasi anggaran wajib
memperoleh persetujuan dari Atasan Pejabat sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila
penggunaan Diskresi berdasarkan ketentuan Pasal 23 huruf a, huruf b, dan huruf
c serta d menimbulkan akibat hukum yang berpotensi membebani keuangan negara.