KERUGIAN NEGARA DAN PERAN BPK
DALAM PENYELESAIAN KERUGIAN NEGARA
Introduksi
Penggunaan
berbagai sudut pandang oleh para Ahli dalam melakukan analisis terhadap
kerugian Negara, dalam banyak hal, ditengarai dapat memberikan hasil yang bias
terhadap makna kerugian negara. Hal tersebut membawa akibat terhadap persepsi
hakim terhadap kerugian Negara, sehingga sangat berpengaruh pada pengambilan
keputusan dalam berbagai penanganan kasus korupsi.
Dalam
melakukan analisis, banyak Ahli tampaknya terfokus pada ranah dimana kejadian
kerugian negara itu terjadi. Yaitu, ranah administrasi, perdata, ataupun ranah
pidana. Oleh karena itu, tidak
mengherankan bila kemudian mereka memaknai pengertian kerugian negara dari
sudut pandang tersebut, yang kebetulan merupakan bidang keahliannya, yaitu
hukum administrasi, hukum perdata, ataupun hukum pidana.
Padahal,
menurut kenyataan, masalah kerugian negara adalah merupakan suatu keadaan yang
terjadi pada ranah hukum Keuangan Negara. Keadaan yang terjadi dalam interaksi
antara negara dan rakyatnya ketika negara ingin mewujudkan kegiatan yang telah
mereka sepakati bersama yang dituangkan dalam kesepakatan di antara keduanya. Yaitu,
dalam APBN. Oleh sebab itulah, bila dicermati, masalah kerugian negara hanya
diatur dalam undang-undang bidang Keuangan Negara. Bukan dalam undang-undang
lainnya. Kalaupun dalam kenyataannya, terminologi kerugian negara dikenal dalam
undang-undang lainnya, alasan utamanya adalah bagaimana memulihkan kembali
kerugian negara tersebut. Bukan karena tujuan atau maksud lain !
Terkait
dengan itu, berbagai upaya perlu dilakukan untuk menghindarkan beragamnya
penafsiran tentang pengertian kerugian negara. Hal itu sangat penting artinya,
karena kesalahan analisis yang dilakukan oleh berbagai Ahli dengan alur logika
yang disusunnya dapat menimbulkan
kerugian bagi pihak-pihak lain (pelaku), termasuk kepada negara, karena kerugian
negara yang seharusnya nyata menjadi hilang.
Disamping
itu, kejelasan dalam pengertian kerugian negara tersebut juga akan memperjelas
posisi dimana kerugian negara tersebut akan diletakkan dan pola
penyelesaiannya. Dalam kaitan ini, termasuk lembaga peradilan yang berwenang menyelesaikannya.
Kerugian Negara
sebagai sebuah konsepsi
Mengawali
uraian yang akan disampaikan alangkah baiknya bila terlebih dahulu diperoleh
kepastian tentang terminologi yang seharusnya digunakan sebagai penyebutan.
Yaitu, apakah terminologi ‘kerugian negara’ atau kerugian keuangan negara’.
Mengingat kedua terminologi dimaksud digunakan dalam undang-undang, sehingga
selama ini menimbulkan perdebatan dalam berbagai kesempatan. Dalam kaitan ini,
tampaknya memang perlu ada suatu penjelasan kontekstual yang dapat dijadikan
acuan.
Dalam
berbagai kepustakaan terkait masalah Keuangan Negara, dengan jelas dinyatakan
bahwa Negara adalah subyek, sedangkan Penerimaan dan Pengeluaran Negara beserta
unsur-unsur di dalamnya merupakan obyek. Sementara itu, Tata kelola yang
mengandung sistem maupun sub sistem, kalau boleh dikatakan, merupakan predikat.
Inilah yang secara jelas dituangkan dalam rumusan penjelasan Undang-undang
nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Terkait
dengan itu, suatu perbuatan yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu hanya
dapat menguntungkan atau merugikan subyek, yaitu Negara. Oleh karena itu,
terminologi merugikan Keuangan Negara, dalam konteks Keuangan Negara, adalah
tidak benar.
Celakanya,
terminologi yang terakhir ini --- merugikan Keuangan Negara --, telah digunakan
dalam berbagai undang-undang di Republik ini, termasuk dalam Undang-undang
Tindak Pidana Korupsi.
Tak
diragukan lagi, kerancuan terminologi ini kemudian membingungkan berbagai
pihak, termasuk para hakim dalam berbagai sidang, khususnya dalam sidang
perkara tindak pidana korupsi. Oleh sebab itu, tidak jarang hakim menanyakan
apa perbedaan kerugian keuangan Negara dan kerugian Negara.
Sementara
itu, pengertian kerugian negara itu sendiri, beranjak dari gagasan sederhana sebagaimana
termaktub dalam pasal 1365 BW, adalah dimaksudkan untuk memastikan besaran
jumlah yang seharusnya dikembalikan kepada negara, dan memastikan pihak-pihak
tertentu yang karena perbuatannya telah mengakibatkan berkurangnya asset
negara.
Dalam
kaitan dengan rumusan di atas, penyebab berkurangnya asset/ kekayaan Negara
dapat terjadi karena alasan-alasan sebagai berikut. Pertama, karena uang yang seharusnya
disetor, tidak disetor ke Kas Negara; atau karena kekayaan yang seharusnya
menjadi milik Negara, beralih menjadi
milik pihak lain; kedua, berkurangnya asset dapat pula terjadi, karena uang
atau asset yang sudah menjadi milik/ hak Negara terlepas dari kepemilikan
Negara, atau karena kekayaan yang
merupakan milik Negara, beralih menjadi
milik pihak lain.
Dalam
perspektif Keuangan Negara, kerugian Negara merupakan ekspresi atau perwujudan
terjadinya selisih kurang. Yaitu, selisih kurang pada asset Negara dalam suatu
pertanggungjawaban para pengelola keuangan Negara. Sementara itu, bila
diperhatikan, selisih kurang itu sendiri terjadi karena catatan dalam pembukuan asset tersebut
ternyata lebih besar dibandingkan dengan keadaan nyata asset itu sendiri.
Dengan
mengacu pada pola pikir di atas, karena kerugian negara dihitung atas dasar
kenyataan yang ada atas hak pemerintah atau yang seharusnya menjadi hak
pemerintah, besarnya kerugian negara dihitung dengan perhitungan yang sangat
sederhana. Misalnya, uang yang
seharusnya diterima, antara lain berupa setoran yang secara nyata sudah
diterbitkan hak tagihnya oleh pemerintah, tetapi diselewengkan oleh pejabatnya,
sehingga uangnya tidak dibukukan dan tidak masuk ke kas Negara. Demikian juga
halnya untuk asset milik pemerintah yang raib karena perbuatan menyeleweng para
pejabat pemerintahan. Asset dimaksud harus benar-benar nyata didukung oleh
adanya hak yang dapat dibuktikan, misalnya, dokumen kepemilikan atau dokumen
setara lainnya. Ini adalah sebuah konsepsi yang didasarkan pada kenyataan (real based concept).
Bukan sesuatu yang diharapkan (opportunity
based concept).
Oleh
sebab itu, besarnya kerugian negara tidak boleh ditambah dengan berbagai
keuntungan yang seharusnya diterima oleh negara, seandainya tindakan melawan
hukum yang merugikan negara tersebut tidak terjadi.
Sementara
itu, pertanyaan yang tak kalah pentingnya terkait dengan real based concept
tersebut adalah kapan sebenarnya suatu kerugian negara dinyatakan telah
terjadi. Dengan mengacu pada konsep di atas, kerugian negara dinyatakan telah
terjadi pada saat kekayaan yang seharusnya menjadi milik Negara,
beralih menjadi milik pihak lain; atau ketika
kekayaan yang merupakan milik Negara, beralih
menjadi milik pihak lain.
Namun
demikian, oleh karena kerugian negara itu sendiri perlu ditetapkan melalui
suatu proses dan penetapannya harus dilakukan melalui sebuah sidang, kepastian
saat terjadinya kerugian negara dimaksud akan dinyatakan oleh sebuah Majelis.
Tentunya, saat terjadinya kerugian negara tersebut akan bersifat retroactive,
sesuai kejadian yang sebenarnya.
Di sisi
lain, dalam peristiwa kerugian Negara, kejadian berkurangnya asset tersebut di
atas selalu dikaitkan dengan suatu perbuatan
melanggar/ melawan hukum para pengelola keuangan Negara, atau karena
kelalaian mereka. Dalam kenyataan, pengertian pelaku perbuatan melanggar/
melawan hukum tersebut bukan hanya terbatas pada para pegawai negeri, akan
tetapi dapat juga dilakukan oleh siapa saja. Yang penting, bahwa yang
bersangkutan telah melakukan tindakan yang melanggar hukum atau karena kelalaian.
Gbr 1.
Dalam
peristiwa yang merugikan Negara, tindakan atau perbuatan melawan hukum yang
dilakukan oleh para pelaku dapat saja berada dalam ranah administrasi ataupun
non administrasi, yaitu perdata atau bahkan pidana. Pemilahan ini sangat
penting artinya, karena bukan saja terkait dengan tata cara pemulihan kekayaan
negara yang telah berkurang ataupun cara pemberian sanksi (hukuman) kepada
pelaku, tetapi juga terkait dengan majelis yang nantinya berwenang memutuskan
terjadinya kerugian tersebut.
Dari
uraian tersebut di atas dapat kiranya disusun skema kerugian negara sebagaimana
tampak dalam gambar no.1.
Atau
dapat pula disusun skema dengan pendekatan lainnya sebagaimana tampak dalam
gambar no.2 di bawah ini
Gbr 2
Implementasi sebuah konsepsi
1.
Pegawai Negeri Sebagai Pelaku Tindakan Yang Merugikan Negara
Dalam
penyelesaian kerugian negara yang dilakukan oleh pegawai negeri, ketentuan
pengelolaan keuangan kita dahulu (Indische
Comptabiliteits Wet --ICW) secara khusus mengatur dalam dua pasal, yaitu pasal
74 dan pasal 78 (2). Pasal 74 ditujukan untuk pegawai negeri yang bukan
berstatus sebagai bendaharawan, sedangkan pasal 78 (2) mengatur penyelesaian
kerugian negara terkait dengan tindakan seorang pegawai negeri yang berstatus
sebagai bendaharawan.
Pada
saat itu, pembedaan ini sangat penting artinya karena tata cara, proses
penuntutan, maupun pihak-pihak yang berwenang untuk memberikan keputusan dalam
penyelesaian masalah kerugian negara tersebut benar-benar berbeda.
Dalam
berbagai kepustakaan, para ahli hukum—terutama ahli hukum administrasi, mencoba
mendeskripsikan pengertian pegawai negeri. Pada intinya mereka berpendapat
bahwa yang dimaksud dengan pegawai negeri adalah semua pegawai yang bekerja
pada instansi pemerintah (termasuk TNI/ Polri) yang menerima imbalan/ gaji dari
keuangan negara/ daerah.
Beberapa
bahkan mencoba memperluas pengertian pegawai negeri dengan memasukkan ‘semua
orang yang menerima gaji/ upah dari korporasi yang menerima bantuan dari keuangan
negara atau daerah’ sebagai unsur pegawai negeri.
Bila
diamati, semua definisi yang telah diungkapkan oleh para ahli hanya mengulang
ataupun lebih memerinci praktek yang telah dituangkan dalam berbagai ketentuan
masa lalu.
Namun
demikian, ada satu hal yang perlu kita cermati secara khusus, yaitu masuknya
unsur kelompok pegawai perusahaan negara/ daerah ke dalam kelompok pegawai
negeri.
Menurut
hemat saya, banyak pihak terjebak pada masalah-masalah norma atau ketentuan
hukum yang ada di masa lalu, tanpa memikirkan alasannya. Seharusnya mereka
memahami substansinya mengapa para pegawai perusahaan negara tersebut dahulu
dimasukkan ke dalam kelompok pegawai negeri. Jawabannya tidak lain adalah,
karena perusahaan negara di masa lalu merupakan bagian kementrian yang
pengelolaan keuangannya tunduk pada ICW.
Saat
ini, paradigmanya sudah berubah. Dengan adanya berbagai perubahan sudut pandang
sejak kemerdekaan, pengelolaan keuangan semua badan usaha di republik ini
terpisah dari pengelolaan keuangan negara pada umumnya. Pola ini kemudian
dikukuhkan dengan lahirnya UUKN dan dengan diundangkannya UU BUMN.
Kalau
kita cermati, ICW sendiri, sebagai landasan operasional pengelolaan keuangan
negara pada saat itu telah memberikan kejelasan tentang masalah siapa yang dimaksud
dengan pegawai negeri. Ini dengan jelas dapat dilihat dalam pasal 74 yang menyatakan bahwa : ‘ Semua pegawai negeri,
yang sebagai pegawai negeri dan bukan selaku bendaharawan, (…).’
Anak
kalimat ‘ yang sebagai pegawai negeri’ yang menjelaskan subyek ‘semua pegawai
negeri’ memberi arti dan penekanan bahwa pegawai negeri yang bersangkutan
sedang melaksanakan tugas dan fungsinya ataupun kapasitasnya sebagaimana
dinyatakan dalam surat keputusan pengangkatannya. Bukan sekedar hanya karena
dia menyandang status sebagai pegawai negeri.
Kendati
secara redaksional ketentuan dimaksud mengalami perobahan, secara substansi,
hingga kini ide dasar yang terkandung dalam ketentuan tersebut di atas masih
dijadikan acuan dalam penyelesaian kerugian negara dalam UUKN dan UUPN.
Mengapa
harus pegawai negeri ? Pegawai negeri adalah operator dari tugas-tugas
pemerintah. Dan di tangan pegawai negeri itu pulalah pengelolaan keuangan
negara dilaksanakan. Oleh karena itu, berkurangnya aset negara yang kemudian
menjadi obyek kerugian negara, pada hakekatnya merupakan akibat dari suatu
tindakan para pegawai negeri sebagai pengelola. Tindakan tersebut dapat berupa
tindakan yang dikategorikan sebagai tindakan melawan hukum ataupun tindakan
yang disebabkan karena kelalaian.
Dalam
Hukum Administrasi Keuangan Negara, status pelaku yang menyebabkan terjadinya
kerugian negara memang sangat penting. Hal ini untuk menentukan apakah
seseorang yang melakukan perbuatan yang merugikan negara tersebut memang layak
dihukum dengan menggunakan ketentuan administratif (ICW), ataukah akan dihukum
menurut Hukum publik (Perdata).
Menurut
Hukum Administrasi Keuangan Negara, seorang pegawai negeri hanya dapat dihukum
dengan menggunakan ketentuan administratif bilamana terdapat pertautan antara
kedudukannya sebagai pegawai negeri dengan tindakannya yang mengakibatkan
terjadinya kerugian negara, serta kerugian negara itu sendiri. Artinya, bahwa seorang pegawai negeri hanya
dapat dihukum dengan menggunakan ketentuan yang tercantum dalam ICW bilamana
terdapat causaliteit verbands, yaitu
bahwa tindakan yang dilakukannya dimaksud terkait dengan tugas dan
tanggungjawabnya sebagai pegawai negeri.
Di
luar itu, seorang pegawai negeri tidak dapat dihukum dengan menggunakan
ketentuan-ketentuan yang termaktub dalam ICW, melainkan dengan menggunakan
pasal-pasal yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Publik
(Perdata). Konkritnya, pegawai negeri
dimaksud dianggap memiliki kedudukan yang tidak berbeda dengan masyarakat pada
umumnya. Yang dalam istilah pada masa lalu dikenal dengan sebutan ‘partikelir’.
Bila pemisahan tersebut disusun dalam sebuah skema akan tampak sebagaimana
dalam gambar no. 3.
Gbr
no.3
2. Siapa yang berhak menghitung ?
Bagi
para ahli hukum phrasa ‘merugikan negara’
dalam suatu undang-undang bukanlah
sesuatu yang sederhana. Untuk dapat sampai pada besaran pasti tentang kerugian
itu sendiri, diperlukan perdebatan yang cukup serius. Yaitu, perdebatan yang
berkisar pada metode atau cara bagaimana besaran kerugian negara dimaksud dapat
ditetapkan, dan juga tentang siapa pihak-pihak yang berkompeten melakukan
penghitungan.
Kenapa
metode penghitungan tersebut menjadi bahan perdebatan ? Ini tidak lain karena
dua hal. Pertama, ternyata bahwa dalam hukum pidana tidak dikenal adanya
tuntutan ganti rugi. Padahal, kasus korupsi merupakan kasus pidana yang
mengharuskan kewajiban penggantian kerugian kepada Negara. Kedua, ternyata
dalam hukum perdata tidak dapat ditemukan pola penghitungan yang pasti yang
dapat dijadikan acuan.
Selanjutnya,
dalam masalah siapa pihak yang memiliki kompetensi untuk menmghitung besaran
kerugian negara, berbagai pihak—termasuk para hakim --, selalu dibingungkan
dengan perbedaan status antara BPK dengan BPKP. Pertanyan yang selalu
dikemukakan adalah siapakah yang paling berhak, mengingat keduanya secara
kelembagaan memiliki kedudukan yang sangat berbeda.
Dalam
konsep teorinya, penghitungan kerugian negara sebenarnya dapat dilakukan oleh
setiap orang yang memiliki keahlian di bidang audit. Tidak terbatas
kelembagaannya. Hanya saja, mengingat bidang keuangan negara bersifat specifik
diperlukan keahlian yang sangat memadai di bidang keuangan negara. Oleh karena
itu, diperlukan seseorang yang bekerja dan familiar di bidang audit keuangan
negara.
Yang
perlu diperhatikan adalah bahwa dalam kaitan ini, BPK, menurut undang-undang
bidang Keuangan Negara, secara kelembagaan memiliki kapasitas sebagai ahli.
Oleh karena itu, siapa pun yang ditunjuk dan ditugaskan merupakan Ahli dalam
suatu persidangan. Hal yang demikian tentunya berbeda dengan BPKP dengan status
kelembagaannya, sehingga personal BPKP yang ditugaskan dari lembaganya,
sebenarnya hanyalah mewakili dirinya sendiri (pribadi).
3. Siapa menetapkan kerugian Negara ?
Hingga
kini, praktek masa lalu (masa Hindia Belanda) dalam hal penyelesaian kerugian
negara masih tetap dipertahankan. Oleh karena itu, menurut Undang-undang bidang
Keuangan Negara, kerugian negara yang
terjadi di ranah administrasi sebagai akibat kelalaian/ kesengajaan pejabat pengelola
keuangan negara/ Pejabat Perbendaharaan dilakukan oleh Majelis yang berbeda
dalam suatu lembaga peradilan administratif (quasi judiciare). Sementara
itu, kerugian negara yang terjadi di ranah non administratif diputuskan dan ditetapkan
oleh Majelis di pengadilan negeri.
Gbr no. 4
Dengan
demikian, dalam penyelesaian kerugian negara menurut Hukum Keuangan Negara
dikenal adanya tiga jenis Majelis. Yaitu: Majelis Tuntutan Ganti Rugi, Majelis
Tuntutan Perbendaharaan, dan Majelis pada Pengadilan Negeri. Secara skematis,
keberadaan tiga Majelis tersebut dapat digambarkan sebagaimana tampak dalam
gambar no. 4.
BPK dalam
penyelesaian kerugian negara
Sebagaimana
diuraikan, khususnya dalam penanganan kasus kerugian negara, para penyidik
(termasuk penyidik PNS) memang memerlukan sebuah angka untuk dijadikan alas tuntutan/
dakwaan. Dan itu diperoleh dari semua bukti yang berhasil dikumpulkan dalam
proses penyidikan. Untuk menghitung jumlah kerugian Negara dari bukti yang
tersedia itulah para penyidik membutuhkan seorang Ahli yang memiliki sertifikat
sebagai auditor.
Dalam kaitan ini,
BPK, menurut undang-undang bidang Keuangan Negara, secara kelembagaan memiliki
kapasitas sebagai ahli. Oleh karena itu, siapa pun yang ditunjuk dan ditugaskan
merupakan Ahli dalam suatu persidangan. Kedudukan dalam hukum yang demikian tidak
dimiliki oleh lembaga lainnya, sehingga personal yang ditugaskan dari sebuah
lembaga audit, termasuk dalam hal ini BPKP, sebenarnya hanyalah mewakili
dirinya sendiri secara pribadi.
Disamping sebagai
lembaga audit, secara historis, BPK adalah jelmaan dari Algemene Rekenkammer.
Yaitu, merupakan sebuah lembaga peradilan yang khusus mengadili rekening
(pertanggungjawaban) para Bendahara seperti halnya Cour des Comptes di
Prancis.
Hingga saat ini,
kendati Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tidak lagi merupakan lembaga peradilan
yang bersifat quasi, kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan atau
kelalaian seorang Bendahara tetap diputuskan dan ditetapkan oleh suatu Majelis
di BPK. Majelis dimaksud dikenal dengan nama Majelis Tuntutan Perbendaharaan.
Dalam hal ini yang
perlu dicatat adalah, bahwa kemampuan untuk menetapkan kerugian negara yang
dimiliki oleh para anggota Majelis tersebut merupakan kemampuan institusi.
Bukan kemampuan individu para anggota Majelis. Oleh sebab itu, setiap keputusan
yang diambil harus merupakan keputusan bersama. Dan itu dilakukan untuk dan
atas nama institusi.
K
E S I M P U L A N
Dari
uraian di atas kiranya dapat ditarik simpulan sebagai berikut :
1.
Sesuai dengan
konsepsi Hukum Keuangan Negara bahwa Kerugian negara merupakan suatu keadaan
yang terjadi dalam kegiatan pelaksanaan hubungan antara negara dan rakyat yang
dituangkan dalam anggaran negara (APBN);
2.
Oleh karena itu,
kerugian negara harus dianalisis dan dijelaskan sesuai konsepsi Hukum Keuangan
Negara;
3.
Sementara itu,
kerugian negara itu sendiri merupakan akibat dari suatu tindakan/ perbuatan
melawan hukum seseorang, baik yang bersifat administratif ataupun bersifat non
administratif;
4.
Penyelesaian kerugian
negara harus dilakukan melalui keputusan Majelis dalam suatu lembaga peradilan,
baik yang bersifat quasi judiciaire maupun judiciaire.
5.
Badan Pemeriksa
Keuangan, disamping merupakan lembaga audit juga merupakan Majelis yang
berwenang memutuskan dan menetapkan kerugian negara.
Dalam kapasitas saya
sebagai Ahli Hukum Keuangan Negara yang dihadirkan dalam berbagai sidang
Tipikor, saya selalu menyampaikan bahwa kerugian keuangan Negara, kendati
termuat dalam berbagai undang-undang, adalah suatu terminologi yang salah. Yang
benar adalah kerugian Negara.
Dalam perkembangan,
berbagai pihak justru cenderung sependapat dengan para penganut ilmu ekonomi yang
menghitung ganti rugi dengan mengadopsi pemikiran tersebut dan mengembangkannya
sesuai pertimbangan ekonomis. Itu sebabnya kemudian dapat dilihat berbagai
metode perhitungan kerugian negara yang kini dikembangkan, yang bila
diperhatikan kesemuanya beranjak dari pola pikir yang hampir tidak berbeda.
1 comment:
Terima kasih atas artikel yang sangat analisis, sehinga dapat mudah dipahami untuk tambah wawasan.
Post a Comment