MEMPERTAHANKAN SEBUAH
KONSEPSI
Untuk kesekian kalinya
Undang-undang No. 17 tahun 2003
tentang Keuangan Negara
harus diuji di depan sidang Mahkamah
Konstitusi.
Tidak tanggung-tanggung,
kali ini permohonan
pengujian dilakukan oleh sekelompok cendekiawan
yang
berafiliasi pada sebuah universitas milik Pemerintah
yang konon,
merupakan
salah satu universitas yang terkenal di republik ini.
Disamping itu, juga dilakukan oleh
sekelompok ahli hukum
yang justru bernaung di bawah sebuah
Kementerian Negara.
Terlepas dari substansi yang
dijadikan landasan
untuk mengajukan pengujian tersebut
oleh keduanya,
terasa ada yang ‘kurang elok’ dipandang
dari sudut tata krama penyelenggaraan
pemerintahan
yang seharusnya dipahami oleh
kelompok-kelompok tersebut.
Yaitu, sebagai kelompok yang
berafiliasi pada Lembaga Pemerintah
justru melakukan tuntutan
kepada
Pemerintah.
------
Yang Mulia Ketua dan para Hakim
Anggota Majelis Mahkamah Konstitusi. Pemohon,
Termohon I, Termohon II, Para Ahli, dan Hadirin sekalian yang
dimuliakan.
Assalamualaikum warrahmatullahi wa
barakatuh. Selamat siang dan salam sejahtera bagi kita semua.
Pertama-tama, perkenankanlah saya
menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Hakim Panel
Mahkamah Konsitusi yang telah mengijinkan saya sebagai Ahli Hukum Keuangan
Negara dari pihak Termohon (Pemerintah)
untuk menyampaikan penjelasan saya dalam kasus pengujian materi (judicial review) terhadap Undang-undang
No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, khususnya terkait dengan pasal 2
huruf g, yaitu mengenai cakupan Keuangan Negara yang antara lain
meliputi kekayaan Negara yang dipisahkan,
yang
diajukan oleh pihak
Pemohon (Pusat Pengkajian Masalah Strategis-Universitas Indonesia), dan terkait dengan pasal 2 huruf i,
yaitu tentang kekayaan
pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan oleh
Pemerintah yang diajukan oleh
Forum Hukum Badan Usaha Milik Negara selaku pihak Pemohon.
Yang Mulia Ketua dan para Hakim
Anggota Majelis Mahkamah Konstitusi dan para hadirin yang saya hormati
Permohonan dimaksud, bila
dicermati,
pada intinya memiliki semangat yang sama.
Yaitu menginginkan independensi
pengelolaan keuangan pada instansi-instansi Pemerintah yang bersangkutan –
dalam hal ini universitas
dan BUMN --, dan keinginan agar keuangan instansi-instansi tersebut tidak berada dalam lingkup keuangan Negara.
Dalam kaitan ini, perlu saya sampaikan bahwa kasus yang
terjadi antara para Pemohon dan Termohon
adalah sebuah kasus yang terjadi
dalam lingkup Hukum Keuangan Negara. Yaitu merupakan kasus yang terjadi dalam rangka pengelolaan Keuangan
Negara. Khususnya, terkait dengan cara bagaimana Pemerintah menyediakan layanan
kepada masyarakat, dan bagaimana teknik pembiayaan yang harus dilakukan oleh
Pemerintah dalam penyediaan layanan tersebut.
Oleh karena itu, tanpa memiliki
pretensi yang berlebihan, dan mengurangi arti penjelasan dari sudut disiplin
ilmu lainnya, sebagaimana berkali-kali saya sampaikan dalam forum seperti ini
ketika saya diminta sebagai Ahli, saya berpendapat bahwa penjelasan dari sudut
Ilmu Hukum Keuangan Negara sudah selayaknya dipandang memiliki relevansi yang
relatif tinggi dibandingkan dengan penjelasan dari sudut disiplin ilmu lainnya.
Hal ini tentunya dengan mengacu pada azas proporsionalitas, yaitu dengan
menempatkan disiplin Ilmu Hukum Keuangan Negara sebagai instrumen untuk
melakukan analisis terhadap permasalahan yang timbul dalam bidang Hukum
Keuangan Negara.
Dalam praktek selama ini, mengingat
disiplin Ilmu Hukum Keuangan Negara di Indonesia belum berkembang, sekedar
untuk mencari pembenaran bahwa masalah-masalah Keuangan Negara telah dianalisis
dari aspek hukum, kasus-kasus yang terjadi dalam lingkup Keuangan Negara
seringkali dianalisis oleh berbagai pihak dengan menggunakan sudut pandang dari
berbagai disiplin ilmu hukum, misalnya : Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi
Negara, Hukum Bisnis, Hukum Pidana, dan
juga Hukum Perdata. Padahal, ini adalah satu pemahaman yang kurang tepat atau
kalau boleh dikatakan, keliru. Penggunaan sudut pandang dimaksud, sebagaimana
tampak dalam berbagai kasus yang diajukan, akan menghasilkan kesimpulan yang
bias.
Sehubungan dengan itu, perkenankanlah
saya menyampaikan penjelasan kasus tersebut dari sudut Ilmu Hukum Keuangan
Negara sebagaimana yang telah saya pelajari di beberapa universitas baik di
Indonesia maupun di negara lain, dan saya dalami selama ini, baik sebagai
akademisi maupun sebagai praktisi.
Sebagai praktisi, yaitu ketika saya selaku pejabat pemerintah yang
ditunjuk sebagai Ketua Tim Kecil
Penyusunan Rancangan Undang-undang Bidang Keuangan Negara yang kemudian
menjadi Undang-undang No. 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara, Undang-undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang-undang No. 15 Tahun 2004 Tentang
Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara.
Yang Mulia Ketua dan para Hakim
Anggota Majelis Mahkamah Konstitusi dan para hadirin yang saya hormati
Dalam
kaitan ini, sekedar menyegarkan ingatan berbagai pihak perlu pada kesempatan
ini saya sampaikan bahwa, pada prinsipnya, suatu produk perundang-undangan
terdiri dari dua unsur. Yaitu, pertama, unsur frame atau wadhah, yang
lebih dikenal dengan aspek hukum; kedua, unsur content atau isi, yang
merupakan substansi atau materi yang akan dituangkan dalam produk
perundang-undangan itu sendiri.
Oleh
sebab itu, dalam penyusunan ketentuan perundang-undangan
diperlukan pemahaman yang mendasar terhadap
dasar-dasar filosofi keilmuan substansi yang
bersangkutan sebagai content.
Dasar-dasar pemikiran filosofis (philosophy grondslag) inilah yang kemudian
dituangkan dalam Penjelasan Umum yang kemudian menjiwai pasal-pasal ketentuan
perundang-undangan yang bersangkutan.
Atas
dasar pemikiran di atas, ketika melakukan analisis terhadap pasal-pasal suatu ketentuan perundang-undangan
harus didasarkan pada pemikiran filosofis keilmuan yang bersangkutan. Bukan
dengan melakukan analisis dengan menggunakan peralatan disiplin ilmu lain.
Beranjak
dari hal-hal tersebut di atas, pasal 2 huruf g Undang-undang
No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, khususnya terkait dengan cakupan Keuangan Negara yang antara
lain meliputi kekayaan Negara yang dipisahkan, dan pasal 2 huruf i, tentang kekayaan pihak lain yang diperoleh
dengan menggunakan fasilitas yang diberikan oleh Pemerintah harus dianalisis dari sudut
pandang pemikiran filosofis (Hukum) Keuangan Negara. Harus dilihat dari sudut
pandang hubungan antara Pemerintah dan rakyatnya (gouvernant et gouvernes), baik dari segi politis,
ekonomis, dan hukum, khususnya terkait dengan pengertian hubungan hukum
antara Negara/ Pemerintah dengan rakyat.
Yang Mulia Ketua dan para Hakim
Anggota Majelis Mahkamah Konstitusi dan para hadirin yang saya hormati
Menurut studi Ilmu Keuangan Negara, dengan
mengacu pada hak-hak azasi masyarakat yang secara rinci dituangkan dalam Declaration of Human Right yang kemudian
dimuat dan dijadikan landasan Konstitusi
berbagai Negara di dunia, secara konstitusional
Pemerintah berkewajiban untuk menjamin kesejahteraan masyarakat melalui
penyediaan barang dan jasa publik. Sebagaimana
kemudian disadari, penyediaan barang dan jasa publik
dimaksud dapat dibiayai melalui sistem perpajakan maupun melalui sistem
‘sharing’ tergantung dari sifat barang dan jasa publik yang bersangkutan.
Hal-hal,
yang pada hakekatnya mencakup cara penyediaan barang dan jasa publik dimaksud, yang
meliputi bagaimana pendanaan harus dicari, dialokasikan, dan kemudian digunakan
itulah yang kemudian merupakan obyek
tata kelola keuangan rumah tangga Negara yang dikenal dengan tata kelola
Keuangan Negara. Oleh karena itu, pengelolaan keuangan Negara, sesuai dengan
peran Negara pada zamannya, hanya terfokus pada
keuangan rumah tangga Negara, yang dikenal dengan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN).
Kendati
kewajiban Pemerintah untuk menjamin kesejahteraan masyarakat melalui penyediaan
barang dan jasa publik dalam rangka menjamin kesejahteraan masyarakat
sebagaimana dinyatakan dalam konstitusi tidak berubah, peran Negara di era modern berkembang secara
signifikan seiring dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat.
Bentuk,
cara, dan pola penyediaan layanan dimaksud kemudian
berpengaruh
terhadap cara atau model pembiayaannya. Hal-hal tersebut pada gilirannya
melahirkan lembaga-lembaga sebagai unsur Pemerintah dalam pengambilan keputusan
di bidang keuangan Negara.
Pemikiran
di era modern tersebut membawa konsekuensi dalam bentuk perubahan terhadap
konsepsi Keuangan Negara yang semula sempit ke arah pengertian yang lebih luas. Yaitu, yang semula menempatkan
Pemerintah sebagai subyek, yang
semata-mata mengelola keuangan Negara untuk memenuhi layanan publik melalui Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara, kemudian berkembang menjadi Pemerintah dalam
peran barunya yang mencakup semua unsur Pemerintah yang memiliki kewenangan pengambilan keputusan
keuangan dalam rangka pelaksanaan perannya dalam arti luas. Konsepsi baru Keuangan
Negara ini
kemudian dikenal dengan Keuangan Sektor
Publik.
Konsekuensi perubahan
terhadap konsepsi Keuangan Negara menjadi
Keuangan Sektor Publik tersebut, secara
substansi, merubah cakupan keuangan negara yang
kemudian meliputi keuangan :
- Unit-unit Pemerintah sebagai
penghasil barang/ jasa publik, yaitu: kementerian/ lembaga Negara, dan unit nir
laba;
- perusahaan Negara di bawah
kementerian yang anggarannya dikelola dalam APBN yang diserahi tugas untuk
menghasilkan barang dan jasa publik;
- perusahaan Negara dengan
penganggaran tersendiri yang diserahi tugas untuk menghasilkan barang dan jasa
publik;
- lembaga keuangan Pemerintah,
termasuk bank sentral, bank umum, dan lembaga asuransi.
Yang Mulia Ketua dan para Hakim
Anggota Majelis Mahkamah Konstitusi dan para hadirin yang saya hormati
Dengan mengadopsi pengertian
‘Pemerintah’ dalam arti luas sebagaimana dikemukakan di atas, dilihat dari
sudut konsepsi, Keuangan Negara Indonesia, merupakan Keuangan Negara dalam arti
luas yang lebih dikenal dengan terminologi Keuangan Sektor Publik.
Pemilihan keluasan cakupan keuangan
Negara tersebut tampaknya telah difikirkan secara matang dan telah disengaja
oleh para penyusun ketika menyampaikan konsep (draft) Rancangan
Undang-Undang Keuangan Negara kepada Lembaga Legislatif untuk dilakukan
pembahasan.
Oleh sebab itu, Undang-undang No. 17
tahun 2003 Tentang Keuangan Negara dalam
konsiderans ‘Mengingat’ nya dengan jelas menyebutkan Pasal 33 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945,
disamping pasal 23, Pasal 23A, Pasal
23B, Pasal 23C, Pasal 23D, dan Pasal 23E.
Dalam
kaitan ini, pencantuman Pasal 33 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang
Dasar 1945 mengandung dua pengertian
yang mendasar, sebagai berikut :
Pertama,
bahwa lingkup keuangan Negara Indonesia mencakup pengelolaan cabang cabang produksi yang penting
bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak. Artinya, berbagai kewenangan pengambilan keputusan
keuangan Pemerintah mencakup pula
keputusan dalam bidang pengelolaan cabang cabang produksi yang penting
bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak atau badan usaha milik Negara.
Kedua, bahwa hak Negara yang dicakup
dalam Undang-undang
No. 17 tahun 2003 Tentang Keuangan Negara mencakup pula hak Negara yang masih
bersifat potensial, sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 33 ayat (3) UUD 45,
disamping hak Negara yang bersifat operasional yang dituangkan dalam pasal 23.
Pemikiran tersebut di atas secara
eksplisit dituangkan dalam Penjelasan Undang-undang Keuangan Negara angka 2
alinea pertama yang menyatakan bahwa :
Hal-hal baru
dan/ atau perubahan mendasar dalam
ketentuan keuangan Negara yang diatur dalam undang-undang ini meliputi
pengertian dan ruang lingkup keuangan Negara, ……
Untuk selanjutnya, pernyataan pada
angka 2 di atas diirinci dengan jelas dalam penjelasan angka 3 sebagai berikut
:
Pendekatan yang digunakan dalam merumuskan Keuangan
Negara adalah dari sisi obyek, subyek, proses, dan tujuan.
Dari sisi obyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara
meliputi semua hak dan kewajiban Negara yang dapat dinilai dengan uang,
termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan
kekayaan Negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun
berupa barang yang dapat dijadikan milik Negara berhubung dengan pelaksanaan
hak dan kewajiban tersebut.
Dari sisi subyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara
meliputi seluruh obyek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki Negara, dan/
atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Perusahaan Negara/
Daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan Negara.
Dari sisi proses, Keuangan Negara mencakup seluruh
rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek sebagaimana tersebut
di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan
pertanggunggjawaban.
Dari sisi tujuan, Keuangan Negara meliputi seluruh
kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau
penguasaan obyek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan
Pemerintahan Negara.
Bidang pengelolaan Keuangan Negara yang demikian luas
dapat dikelompokkan dalam sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan
moneter, dan sub bidang pengelolaan kekayaan Negara yang dipisahkan.
Gagasan
pemikiran dalam Penjelasan Umum dimaksud selanjutnya, diekspresikan dalam Pasal
1 angka 1 dan Pasal 2
sebagai berikut :
Pasal 1 angka 1,
Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban Negara
yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun
berupa barang yang dapat dijadikan milik Negara berhubung dengan pelaksanaan
hak dan kewajiban tersebut.
Pasal 2
Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
angka 1, meliputi :
a. hak Negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan
mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman;
b. kewajiban Negara untuk menyelenggarakan tugas
layanan umum Pemerintahan Negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
c. Penerimaan
Negara;
d. Pengeluaran
Negara;
e. Penerimaan
Daerah;
f. Pengeluaran
Daerah;
g. kekayaan Negara/kekayaan daerah yang dikelola
sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang,
serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang
dipisahkan pada perusahaan Negara/ perusahaan daerah;
h. kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh Pemerintah
dalam rangka penyelenggaraan tugas Pemerintahan dan/atau kepentingan umum;
i. kekayaan
pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan
Pemerintah.
Yang Mulia Ketua dan para Hakim
Anggota Majelis Mahkamah Konstitusi dan para hadirin yang saya hormati
Sebagaimana dikemukakan, menyadari luasnya bidang pengelolaan
keuangan Negara, para penyusun Undang-undang Keuangan Negara kemudian mengelompokkan pengelolaan
keuangan Negara ke dalam tiga sub bidang. Oleh karena itu, dalam Undang-undang
No. 17 tahun 2003 Tentang Keuangan Negara dikenal sub bidang pengelolaan fiskal, sub
bidang pengelolaan moneter, dan sub bidang pengelolaan kekayaan Negara yang
dipisahkan.
Kendati pengelolaan keuangan Negara
dikelompokkan ke dalam tiga sub bidang tersebut di atas, pemikiran dichotomis
dalam bentuk kekayaan Negara yang tidak dipisahkan dengan yang dipisahkan tetap
didasarkan pada konsepsi sebagaimana telah dijelaskan di atas, yaitu terkait dengan jenis produk
atau layanan yang dihasilkan subyek yang bersangkutan dalam bentuk public
goods atau semi public goods
yang
terkadang cenderung merupakan private
goods.
Dalam hal ini, pemikiran dichotomis
tersebut tidak mengabaikan
kenyataan bahwa otoritas keuangan independen (lembaga-lembaga pemegang kebijakan
nasional, seperti bank sentral, dlsb) merupakan lembaga Negara yang secara konsepsi menyusun dan
melaksanakan kebijakan untuk kepentingan (perekonomian) nasional yang secara
tidak langsung berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat secara luas.
Produk-produk yang dihasilkan oleh otoritas tersebut bukanlah merupakan produk
yang hanya dapat dinikmati oleh sekelompok masyarakat yang bersifat
eksklusif. Pemisahan
kekayaan dimaksud semata-mata untuk menjamin kemampuannya untuk mengelola
kebijakan yang bersifat spesifik, sehingga tidak terkendala oleh pola baku
pengelolaan anggaran Pemerintah.
Oleh sebab itu, anggaran otoritas
keuangan, baik yang tidak dipisahkan maupun yang dipisahkan dimaksud tetap
dibawah pengawasan lembaga legislatif (DPR) dan diperiksa oleh Badan Pemeriksa
Keuangan.
Yang Mulia Ketua dan para Hakim
Anggota Majelis Mahkamah Konstitusi dan para hadirin yang saya hormati
Mengamati ketentuan yang termaktub
dalam UUD 1945 maupun dalam Undang-undang No. 17
Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, model kelembagaan pengelola
keuangan Negara di
Indonesia, tampaknya tidak dapat
terlepas dari ide dasar sebagaimana dikemukakan dalam penjelasan di atas.
Sehubungan dengan itu, dalam pengelolaan keuangan Negara di Indonesia dikenal
adanya beberapa jenis lembaga.
Walaupun ternyata tidak sepenuhnya
dikukuhi, secara prinsip, pembedaan lembaga pengelola tersebut terutama
didasarkan pada motif atau tujuan pengelolaan keuangan Negara sebagai obyek,
yang kemudian berpengaruh pada sistem tata kelolanya.
Bila diperhatikan dengan seksama, kendati pengelolaan keuangan Negara
dikelompokkan ke dalam tiga sub bidang tersebut di atas, para
penyusun undang-undang Keuangan Negara hanya mengelompokkan lembaga pengelola
keuangan Negara ke dalam dua kelompok
besar, yaitu lembaga pengelola kekayaan Negara yang tidak dipisahkan dan
lembaga pengelola kekayaan Negara yang dipisahkan.
Pemikiran dichotomis dalam
bentuk lembaga
pengelola kekayaan
Negara yang tidak dipisahkan dengan yang dipisahkan, pada
hakekatnya, tetap
didasarkan pada konsepsi sebagaimana telah dijelaskan dalam bagian terdahulu, yaitu terkait dengan jenis
produk atau layanan yang dihasilkan subyek yang bersangkutan (dalam hal
ini Pemerintah)
dalam bentuk public goods atau private
goods.
Namun demikian, pembedaan dimaksud
tidak dapat dilakukan secara jelas (clear
cut), karena menurut kenyataan bahwa lembaga pengelola kekayaan Negara
yang dipisahkan dimaksud
juga merupakan
lembaga Negara yang secara konsepsi turut menyusun
dan melaksanakan kebijakan untuk kepentingan (perekonomian) nasional yang
secara tidak langsung berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat secara
luas. Demikian pula, bahwa menurut kenyataan, produk-produk yang dihasilkan
oleh lembaga tersebut bukanlah merupakan produk yang hanya dapat dinikmati oleh
sekelompok masyarakat yang bersifat eksklusif, tetapi dinikmati oleh masyarakat
secara keseluruhan.
Dengan menyimak pola pikir para penyusun
Undang-undang Keuangan Negara tentang prinsip pemisahan kekayaan Negara
tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam kelompok lembaga pengelola kekayaan Negara yang
dipisahkan terdapat dua sub kelompok. Yaitu, pertama, sub kelompok lembaga penyelenggara kebijakan Negara yang
keberadaannya dilakukan atas dasar undang-undang dasar atau undang-undang; dan
kedua, sub kelompok lembaga yang diciptakan dengan tujuan mencari keuntungan (profit
oriented).
Penting untuk digarisbawahi dalam
hal ini bahwa, kendati
status kekayaan Negara lembaga sub kelompok pertama tersebut dipisahkan dari APBN,
pemisahan dimaksud tidak seperti halnya pemisahan yang dilakukan oleh Negara
untuk tujuan mencari keuntungan (profit oriented) seperti halnya pada
lembaga-lembaga yang tergolong dalam sub kelompok kedua, yang dalam hal ini
adalah badan usaha milik Negara.
Dengan demikian, sesuai dengan uraian di atas,
terdapat dua kutub ekstrim dalam pola kelembagaan yang dianut dalam
Undang-undang Keuangan Negara. Yaitu lembaga/ instansi yang melakukan
pengelolaan kekayaan yang tidak dipisahkan dan lembaga/ instansi yang melakukan
pengelolaan kekayaan yang dipisahkan.
Yang Mulia Ketua dan para Hakim
Anggota Majelis Mahkamah Konstitusi dan para hadirin yang saya hormati
Dengan memperhatikan pendekatan yang digunakan dalam
merumuskan keuangan Negara dari sisi subyek, obyek, proses, dan tujuan yang
hendak dicapai, bentuk Lembaga/ Instansi Pengelola Kekayaan Negara Yang Tidak Dipisahkan dengan
jelas tergambar dalam Undang-undang Keuangan Negara.
Dari pengungkapan tentang kewenangan
subyek pengelola keuangan Negara, sebagaimana dituangkan dalam pasal 6
Undang-undang Keuangan Negara, secara eksplisit dapat dipahami bahwa Lembaga/ Instansi Pengelola
Kekayaan Negara Yang Tidak Dipisahkan adalah Pemerintah. Dalam hal ini,
Pemerintah dimaksud direpresentasikan
oleh lembaga birokrasi penyelenggara Pemerintahan Negara. Termasuk dalam hal ini
adalah Pemerintahan Daerah.
Secara konkrit, lembaga dimaksud di tingkat
Pemerintah Pusat adalah Kementerian/ Lembaga, sedangkan di tingkat Pemerintah
Daerah, lembaga tersebut adalah seluruh instansi yang dikenal sebagai Satuan
Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah
(SKPKD).
Selanjutnya, mengacu pada ketentuan pasal 7 Undang-undang
Keuangan Negara dapat dilihat bahwa berbagai kegiatan yang dilakukan oleh Instansi
Pengelola Kekayaan Negara Yang Tidak Dipisahkan ditujukan untuk mencapai tujuan
berNegara, antara lain untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Terkait
dengan itu, pembiayaannya dilakukan melalui sistem perpajakan, dan semua
kegiatan Pemerintah melalui lembaga dimaksud dikelola melalui sistem Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Dalam kaitan ini, perlu dipahami, bahwa
pengertian ‘dikelola melalui sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN)’ adalah bahwa pengelolaan anggaran dimaksud harus tunduk pada
prinsip-prinsip (azas) pengelolaan anggaran Negara, yaitu prinsip anterioritas,
periodisitas, unitas, universalitas, dan juga prinsip spesialitas.
Secara konkrit, pengertian ‘dikelola melalui
sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)’ harus diartikan bahwa
rencana kegiatan yang disusun dan akan dilakukan oleh Pemerintah (eksekutif)
tersebut harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari lembaga legislatif,
dituangkan dalam suatu dokumen tertentu (APBN atau yang disetarakan),
dilaksanakan dengan berpatokan pada kaidah baku tata kelola keuangan Negara, dan
dilaporkan serta diaudit sebagaimana ditetapkan menurut perundang-undangan
bidang Keuangan Negara.
Sementara itu, dengan mengacu pada pandangan berbagai
ahli ekonomi, terutama ditinjau dari sudut sosio-ekonomis, Indonesia pun
menganut paham bahwa Negara dipersepsikan sebagai pelaku ekonomi dengan
perilaku sebagaimana layaknya pelaku ekonomi lainnya.
Perilaku dimaksud dalam hal ini didorong adanya motif
ekonomis (mencari keuntungan) yang mendasari berbagai pengambilan keputusan.
Walaupun tidak diingkari bahwa, dalam beberapa hal, Negara sebagai pelaku
ekonomi memiliki kekhususan dibandingkan dengan pelaku ekonomi pada umumnya.
Kekhususan Negara sebagai pelaku ekonomi muncul dari kenyataan, yang
kemudian dijadikan acuan para ahli Keuangan Negara, bahwa kebutuhan
masyarakat terhadap layanan publik (Pemerintah) ternyata tidak seluruhnya dapat
disediakan melalui system yang melibatkan lembaga-lembaga Pemerintah yang
bersifat struktural
dengan menggunakan mekanisme penetapan harga atas dasar sistem non pasar (non market pricing mechanism).
Dari sisi lain, disamping pendekatan melalui kebutuhan masyarakat tersebut di
atas, secara makro,
ternyata peran Pemerintah diperlukan pula dalam
mendorong perkembangan perekonomian nasional melalui system distribusi dan stabilisasi. Sementara itu, secara khusus, dilihat dari sisi
keuangan Negara, kegiatan-kegiatan lembaga Pemerintah non struktural
tersebut diharapkan akan dapat merupakan sumber penerimaan
Negara.
Berdasarkan
pertimbangan tersebut di atas, kemudian Pemerintah pun membentuk institusi
dengan karakter seperti layaknya insitusi swasta. Institusi inilah yang
kemudian dikenal luas dengan istilah badan usaha milik Negara (public
enterprise) dalam berbagai kepustakaan tentang keuangan Negara.
Dalam perkembangannya, sesuai dengan perkembangan peran Pemerintah dalam
sektor perekonomian, khususnya melalui kebijakan non fiskal, Pemerintah dapat
melakukan kerjasama dengan pihak swasta murni dalam bentuk penyertaan modal
ataupun sejenisnya.
Dengan mencermati pemikiran di atas dan sejalan dengan konsep Keuangan
Negara yang selama ini dilaksanakan di Indonesia sejak kemerdekaan,
Undang-undang No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara mengelompokkan
badan-badan usaha milik Negara dimaksud ke dalam lembaga pengelola kekayaan
Negara yang dipisahkan.
Namun demikian, mengingat sifat maupun tujuan keberadaan lembaga
tersebut, pengaturannya dilakukan dalam ketentuan tersendiri, yaitu dalam
Undang-undang No. 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara. Pengaturan
dalam undang-undang tersendiri tersebut dimaksudkan untuk memberikan
keleluasaan dalam pengelolaan (manajemen) yang berbeda dengan pengelolaan
kekayaan Negara yang tidak dipisahkan.
Yang Mulia Ketua dan para Hakim
Anggota Majelis Mahkamah Konstitusi dan para hadirin yang saya hormati
Dari penjelasan tersebut diatas dapat
kiranya disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
1. Perkembangan yang terjadi di
masyarakat yang menyangkut, baik nilai maupun kualitas kehidupan, telah
menyebabkan perkembangan peran Pemerintah;
2. Perkembangan peran Pemerintah
dimaksud mengakibatkan perkembangan institusi kelembagaan Pemerintah dalam
penyediaan layanan kepada masyarakat;
3. Perkembangan peran Pemerintah
dimaksud pada gilirannya berpengaruh pada konsep tata kelola keuangan negara
yang semula sempit menjadi semakin meluas;
4. Agar pengelolaan keuangan negara
dapat dilakukan secara lebih efektif dan
lebih efisien kemudian dilakukan pengelompokkan (clustering);
5. Perkembangan konsepsi Keuangan
Negara dimaksud dianut pula di
Indonesia sebagaimana dituangkan dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara;
6. Oleh karena
itu, Keuangan Negara Indonesia adalah Keuangan Sektor Publik;
7. Dengan mengacu pada konsepsi
Keuangan Sektor Publik, Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
menempatkan Pemerintah sebagai subyek dari setiap unsur/ bidang pengelolaan
yang memiliki kewenangan dalam pengambilan keputusan keuangan sesuai dengan
bidangnya.
8. Pemisahan kekayaan di luar bidang
fiskal semata-mata untuk menjamin kemampuan masing-masing bidang untuk
mengelola kebijakan yang bersifat spesifik, sehingga tidak terkendala oleh pola
baku pengelolaan anggaran pemerintah.
9. Secara teknis, pengelolaan keuangan
negara di setiap unsur/ bidang dilakukan sesuai norma yang disusun sedemikian
rupa untuk setiap bidang.
Selanjutnya, atas dasar simpulan
dimaksud perkenankanlah saya menyampaikan pendapat terhadap kasus yang sedang
disengketakan sebagai berikut :
Terlepas dari kenyataan bahwa pada
saat ini banyak pejabat di Universitas maupun BUMN yang terjerat kasus korupsi
di instansi masing-masing, yang menurut pendapat saya sebagai Ahli Hukum Keuangan
Negara di lembaga peradilan ketika mendampingi Jaksa Penuntut Umum, lebih
banyak disebabkan karena tindakan mereka
yang tidak dapat dikategorikan profesional sesuai dengan norma
profesionalitas di bidang tata kelola keuangan yang berterima umum (general
accepted financial management), dari
sudut materi, tampak bahwa Kelompok yang mengajukan pengujian undang-undang tersebut tidak/ kurang
memahami konsepsi tentang Keuangan
Negara yang dianut oleh Undang-undang
No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Majelis
Hakim Yang Mulia, demikianlah keterangan saya. Semoga keterangan ini dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya dan dapat
menjadi masukan serta pertimbangan bagi
Para Yang Mulia dalam memeriksa, mengadili, dan memutus sengketa ini dengan
seadil-adilnya.
Terima kasih, Yang Mulia.
Wassalammualaikum wr wb.
4 comments:
Pak Siswo Yth, sy senang sekali dgn tulisan dlm blog bpk ini. Kebetulan sy sedang mencari buku yang mengelaborasi teori keuangan publik yang terdiri dari fiskal, moneter, dan kekayaan yang dipisahkan, sebagaimana telah bapak jelaskan diatas, namun hingga saat ini sy belum beruntung. Kalau Bpk berkenan bolehkan bpk sebutkan buku baik dalam negeri maupun luar negeri yang membahas tentang teori keuangan publik tersebut.... sebelum dan sesudahnya sy mengucapkan terima kasih
Regards
Robin
Sdr. Robin yth,
Terima kasih telah berkunjung di blog saya. Dan terima kasih atas apresiasi anda terhadap artikel di atas.
Mengenai buku-buku yang dapat dijadikan referensi di bidang keuangan negara sangat banyak dan sebenarnya mudah diketemukan.
Kalau Saudara mencermati tulisan-saya sebelumnya, disana terlihat berbagai sudut pandang terhadap disiplin ilmu keuangan negara.
Paling tidak, terbagi dalam dua kelompok besar, yaitu kelompok sudut pandang dari Ilmu Politik dan Hukum, dan kelompok ekonomi.
Oleh karena kelompok pertama sangat dominan di Eropa, terutama Perancis, maka semua kepustakaan di Perancis dgn judul 'Finances Publiques' akan membahas semua aspek keuangan negara dari sisi hubungan kelembagaan politik (eks-legislatif)--termasuk dlm hal ini implementasi hubungan tersebut, yaitu sisi administrasinya. Demikian pula halnya, masalah perpajakan, yang merupakan elemen keuangan negara, lebih banyak didekati dari sisi hubungan kelembagaan politik. Oleh karena itu, kepustakaan dimaksud masuk dalam kelompok hukum publik (collection de droit public).
Sementara itu, tentang masalah penganggaran, misalnya, karena merupakan hal yang bersifat teknis dibahas secara tersendiri. Sedangkan, impaknya terhadap perekonomian dibahas dalam kepustakaan tentang ekonomi publik. Pola yang sama dilakukan dalam masalah perpajakan.
Sedangkan bila Saudara membaca buku-2 tentang Public Finance dari Amerika, pendekatannya lebih banyak pada aspek eknomis dan teknis.
Disamping dua kelompok tersebut, Saudara masih dapat menemukan kepustakaan kelompok ketiga. Yaitu, yang diterbitkan oleh lembaga-2 keuangan internasional/regional, IMF dan ADB yang pada umumnya disusun atas dasar penelitian. Kepustakaan dimaksud lebih cenderung membahas/ menjelaskan aplikasi di berbagai negara.
Itulah yang dapat saya sampaikan. Semoga bermanfaat.
Salam hangat,
SS
Terima kasih atas penjelasan Pak Siswo, sangat bermanfaat sekali untuk saya, maturnuwun
terima kasih pa Siswo atas tulisannya yang membuka cakrawala sy di bidang Hukum Keuangan Negara. Mungkin tulisan yang disajikan dengan dasar teoritis tentang keuangan negara banyak, namun tulisan yang menyajikan perpaduan antara teoritis dengan praktik di lapangan tidak banyak.
Post a Comment