LANGKAH-LANGKAH AKHIR TAHUN : sebuah
kebijakan teknis penyelamat kegiatan Pemerintah (lanjutan…)
(Intermezzo)
KOREKSI
Beranjak
dari diskusi itulah saya baru menyadari, bahwa sistem tata kelola yang ada
dapat menciptakan sebuah situasi yang sangat dilematis bagi para pejabat
pengelola Keuangan Negara. Lebih dari itu, dari apa yang telah disampaikan oleh
kawan saya bersama stafnya di atas tadi, ternyata situasi itu sendiri dapat memunculkan beragam pertanyaan. Yang ujung-ujungnya, bila ditarik
suatu simpulan akan dapat menghasilkan akibat yang sangat membahayakan bagi
para pejabat itu sendiri.
Diskusi
yang berkembang pada hari itu kemudian menghasilkan sebuah gagasan. Sebuah
keinginan untuk menciptakan ketentuan sebagai sebuah koreksi terhadap
ketidaksempurnaan sebuah sistem.
Satu
pemikiran strategis yang harus menjadi titik utama perhatian saya adalah,
menghilangkan kecurigaan para penyidik bahwa dana APBN dapat dicairkan dengan
cara ilegal dan konspiratif. Artinya, dapat dicairkan dengan cara sengaja
memalsukan data-data proyek oleh Pimpro atau Bendahara. Dan, di sisi lain,
menghilangkan tuduhan terhadap KPPN yang
seolah berpura-pura tidak mengetahui situasi yang terjadi di berbagai Satuan
Kerja ketika menerbitkan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D).
Langkah
koreksi tersebut harus mampu menghilangkan kecurigaan atau fitnah secara
tuntas. Tentunya, tanpa harus mengabaikan konsep dasar tata kelola Keuangan
Negara yang sehat (sound practice). Pernyataan yang terakhir ini adalah
sebuah keharusan. ‘ C’est obligatoire’, kata orang Perancis. Dan, harus
pula memperhatikan pesan orang bijak. Yaitu, ‘jangan menyelesaikan masalah dengan
masalah’.
Secara
pribadi, saya sangat memahami mengapa para Pimpro atau Bendahara menempatkan
uang yang ditarik dari KPPN pada rekening-rekening pribadi mereka. Mereka
tampaknya sangat memahami aturan Keuangan Negara. Yaitu, bahwa pada akhir tahun
anggaran, semua uang yang belum
digunakan dan masih berada di rekening Bendahara Satuan kerja wajib disetorkan
ke Kas Negara. Itu adalah doktrin yang terpatri di benak mereka.
Ini
sesuai dengan dalil tata kelola Keuangan Negara tentang saldo kas. Yaitu, mencakup
seluruh saldo di semua satuan kerja, disamping saldo yang berada di tangan
Bendahara Umum Negara sendiri.
Itulah
rahasianya ! Sehingga, mereka harus mengusahakan agar uang yang telah ditarik
dari rekening Kas Negara tersebut tetap aman untuk digunakan. Bukan harus
disetorkan kembali ke Kas Negara menjelang tutup tahun.
Dari
sisi teknis pencairan dananya, para Pimpro ataupun Bendahara tersebut
sebenarnya sangat menyadari bahwa uang yang ditarik tersebut merupakan uang
milik rekanan. Itulah sebabnya, bagi mereka yang cukup teliti, uang tersebut
kemudian ditempatkan pada sebuah rekening bersama. Sebuah rekening yang hanya
dapat dicairkan bila kedua belah pihak setuju, dan masing-masing membubuhkan
tanda tangannya. Inilah yang dalam istilah kerennya dinamakan escrow
account.
Jadi,
dengan mengamati bahwa batas akhir pembayaran tersebut merupakan ketentuan yang
ditetapkan oleh Kementerian Keuangan, menurut hemat saya, Kementerian Keuangan
harus mampu menangkal akibat yang ditimbulkannya. Artinya, Kementerian Keuangan
harus mampu menyatakan bahwa hal-hal yang selama ini dipersepsikan oleh
berbagai pihak sebagai perbuatan ilegal, pada hakekatnya, merupakan perbuatan
yang sah atau legal.
Satu
hal yang harus tetap menjadi pertimbangan utama dalam hal ini adalah, tetap
menjaga agar akibat dari tindakan yang akan dituangkan dalam keputusan mengenai
hal tersebut tidak akan merugikan negara. Ini merupakan hal yang tidak bisa
ditawar.
PENGGANTI
PRESTASI
Mungkinkah
kegiatan/ proyek yang belum selesai dan belum diserahkan kepada negara dapat
dilakukan pembayaran sebesar seratus
persen dari sisa nilai kontrak ? Kalau mungkin, bagaimana caranya ? Inilah
pertanyaan kunci yang harus dijawab.
Pembayaran
yang dilakukan tanpa penyerahan barang secara nyata adalah sebuah pelanggaran
terhadap prinsip tata kelola Keuangan Negara. Ini adalah praktek yang berbeda
dengan orang pribadi.
‘Le
payment doit etre fait apres le service est fait’,
merupakan ungkapan yang dengan jelas dapat ditemukan dalam berbagai
kepustakaan/ manual tentang pengelolaan keuangan negara di Perancis. Pemerintah harus menerima barang/ jasa yang
dibelinya terlebih dahulu sebelum pembayaran dilakukan.
Gagasan
tersebut ternyata diadopsi oleh
Pemerintah kolonial dalam berbagai ketentuan Hindia Belanda. Hal ini harus
dilakukan oleh pejabat pengelola Keuangan Negara untuk menghindarkan terjadinya
kerugian negara.
Namun,
prinsip tersebut harus memiliki eksepsi atau pengecualian. Kalau tidak,
bagaimana caranya Pemerintah dapat membayar uang muka (down payment) ketika melakukan kesepakatan dengan pihak lain ?
Inilah tampaknya model yang harus diadopsi.
Dalam
konteks ini, kewajiban pemerintah dalam bentuk pembayaran uang muka kontrak hanya
diimbangi dengan penyerahan garansi bank (borg) oleh pihak rekanan.
Dalam pola tersebut, alih-alih Pemerintah menerima barang/ jasa sebagai
prestasi, Pemerintah hanya menerima selembar
kertas yang berisi jaminan.
Itulah
sebabnya, jaminan ini harus benar-benar berupa jaminan yang seratus persen
dapat diuangkan. Bukan sembarang jaminan yang dikeluarkan oleh suatu lembaga
keuangan sebagai formalitas. Atau, untuk sekedar memenuhi ketentuan tata kelola
keuangan negara. Ini adalah sebuah
prosedur baku untuk menghindarkan kemungkinan terjadinya kerugian Negara !
Kalau
begitu, apa dong bedanya antara pembayaran uang muka dengan pembayaran pada
akhir tahun anggaran ? Menurut hemat saya, dari sudut esensi, sebenarnya sama
sekali tidak mengandung perbedaan. Yaitu, sama-sama tidak diiringi dengan
penyerahan prestasi kepada Pemerintah.
Dengan
mengacu pada pola tersebut, saya berpendapat bahwa pembayaran pada akhir tahun
untuk kegiatan/ proyek yang belum selesai dan belum diserahterimakan dapat
dilakukan dengan jalan memberikan jaminan kepada negara. Sebuah solusi dengan
logika yang sangat sederhana. Tapi, dari
segi yuridis, dapat dipertanggung jawabkan
P
R O F O R M A
Dalam
praktek, solusi masalah pembayaran pada akhir tahun yang kemudian dituangkan
dalam ketentuan Kementerian Keuangan (baca:
Peraturan Dirjen Perbendaharaan) tersebut ditafsirkan secara beragam.
Banyak
pihak ternyata terjebak pada pernyataan bagaimana harus menghindarkan kerugian
negara. Itu saja ! Oleh karena itu,
mereka berpikir bahwa untuk permintaan pembayaran pada akhir tahun cukup
melampirkan jaminan bank. Apa lagi yang harus dilampirkan, toh semuanya memang belum
ada ?
Pemikiran
seperti itu jelas-jelas keliru. Pembayaran hingga seratus persen sesuai nilai
kontrak tersisa pada akhir tahun, pada hakekatnya, hanyalah merupakan kebijakan
Pemerintah dalam pencairan dana (kas) sehubungan dengan ketentuan akuntansi.
Bukan merupakan penyelesaian pembayaran kontrak dalam arti sebenarnya.
Seharusnya,
berbagai pihak memahami bahwa antara pembayaran yang dilakukan oleh Negara dan
jaminan yang diberikan kepada Negara adalah dua hal yang berbeda.
Bagaimana
suatu pembayaran dapat dilakukan oleh Negara, tampaknya mereka lupakan. Padahal, sebagaimana
telah diatur dalam Standard Operating
Procedur (SOP), setiap pembayaran oleh Negara harus didasarkan pada bukti sebagai
alat verifikasi (pengujian). Sementara itu, jaminan
bank hanyalah sekedar menjamin bahwa uang negara tidak akan hilang dengan
keputusan pembayaran yang dilakukan oleh Negara. Seharusnya hal ini disadari
oleh berbagai pihak agar tidak rancu, sehingga akan menghindarkan dari sikap mereka
yang menyederhanakan masalah.
Lebih
lanjut, terkait dengan keputusan pelaksanaan pembayaran yang menyimpang dari
pola tatanan baku tersebut, mestinya ada satu hal yang juga perlu diperhatikan.
Penyerahan barang/ jasa yang diperjanjikan, sebenarnya belum pernah dilakukan. Oleh
karena itu, Berita Acara yang dijadikan lampiran surat permintaan pembayaran
oleh pihak rekanan hanyalah bersifat formalitas (pro forma). Sekedar untuk
memenuhi persyaratan. Itu saja ! Atau, ‘hanya ecek-ecek’ menurut istilah orang
Betawi. ( … )
*
* *
1 comment:
Tulisan yang bagus Pak, semoga bisa menambah khazanah pengetahuan di bidangan hukum Keuangan Negara. terimakasih.
Post a Comment