LANGKAH-LANGKAH AKHIR TAHUN : sebuah
kebijakan teknis penyelamat kegiatan Pemerintah
(Intermezzo)
Pada
suatu saat, di sekitar akhir tahun 2006, seorang teman sekolah saya ketika di
Eropa yang sudah jadi Guru Besar di sebuah universitas terkemuka di republik
ini, datang ke ruang kerja saya di Lapangan Banteng. Dengan sangat hati-hati dia
bercerita, bahwa dia bersama komunitasnya memperoleh informasi rahasia dari
sebuah lembaga terpercaya tentang banyaknya aliran dana, yang jumlahnya ratusan
juta bahkan bisa miliaran rupiah, ke rekening-rekening orang-orang tertentu di
bank.
Sekedar
untuk diketahui, bahwa teman saya tersebut (alm), ketika masih kuliah, bidang
studinya adalah fisika atau sebangsanya begitulah. Oleh karena itu, mestinya dia nggak perlu ngurusin hal-hal yang
berkaitan dengan keuangan. Apalagi yang
berkaitan dengan Keuangan Negara.
Tapi
jangan salah, bahwa ketika dia datang kepada saya, saat itu dia adalah seseorang
yang memiliki jabatan struktural tertinggi di lembaga ‘ Anti Rasuah ‘ di republik
ini. Jadi, terlepas dari apa yang pernah dipelajari di universitas dulu, kini
dia memang terkait sangat erat dengan masalah-masalah Keuangan Negara. Oleh
sebab itu, sudah dapat ditebak, bahwa kunjungannya ke ruangan saya tersebut
bukanlah sekedar kangen-kangenan sambil ngobrol kelas warung kopi. Tapi tentunya,
membawa misi ‘suci’. Yaitu, memberantas korupsi di negeri ini.
AKIBAT
SISTEM.
Dari
penjelasan singkat yang disampaikan, sejauh yang dapat saya tangkap, data data
perbankan yang dikirimkan ke kantornya mengindikasikan bahwa para penerima
transfer tersebut ternyata, kalau tidak para Pimpinan Proyek (Pimpro) ya para
Bendahara proyek di kantor-kantor Pemerintah. Menurut dia, fenomena tersebut
harus mendapat perhatian yang serius. Dan, sesuai misi instansinya, menurut dia
seharusnya dapat dijadikan sebagai pintu masuk untuk menelisik kemungkinan
terjadinya tindakan penyimpangan pengelolaan Keuangan Negara.
Dari
penelusuran yang dilakukan oleh stafnya, dia menemukan bukti bahwa kemungkinan
tindakan menyimpang para pengelola anggaran Negara tidak diragukan lagi. Aliran
dana tersebut ternyata berasal dari dana proyek di berbagai kementerian negara
yang dicairkan secara ilegal.
Kenapa
ilegal ? Iya, menurut temuan di lapangan, cara mencairkan dana
tersebut dari Kas Negara ditengarai dilakukan secara melanggar hukum. Yaitu,
dengan membuat laporan pertanggungjawaban palsu (fiktif).
Yang
mengejutkan lagi, ternyata kejadian semacam itu dilakukan secara konspiratif.
Artinya, dilakukan oleh berbagai pihak secara bersama-sama. Ilegal dan
konspiratif adalah dua kata yang sangat menarik bagi para penyidik.
Sebagai
orang yang ketika itu, bertanggungjawab terhadap system dan teknik pelaksanaan
anggaran, sudah tentu perasaan saya menjadi sangat tidak nyaman. Walaupun,
samar-samar, kalau memang itu yang dimaksud saya agaknya punya jawabannya.
Tapi, berhadapan dengan hal yang sangat serius dan dibawakan oleh ‘perwakilan’
lembaga dengan cara yang sangat serius pula, saya harus menahan diri dan
menghormati. Saya harus menunggu bagaimana stafnya menjelaskan dengan rinci
temuan di lapangan yang kesimpulan akhirnya mengerucut pada perbuatan illegal
dan konspiratif.
Entah
berapa rekening, dan entah berapa Pimpro atau Bendahara yang digelar dalam
eksposenya di meja di depan saya. Saya tak begitu menaruh perhatian. Bukan karena
saya tak tertarik kasusnya. Tapi justru
saya sudah menangkap esensi persoalannya.
Di
akhir ekspose stafnya, ketika saya diminta memberikan pendapat terhadap
pertanyaan ‘bisakah segera dilakukan penyidikan dengan fakta hukum yang ada’,
canda saya pun mulai keluar. “Wah Mas, alih-alih mereka ditangkap dan dihukum,
seharusnya mereka itu justru diberi penghargaan.” kata saya bercanda.
Mendengar
itu dia agak terperangah. Dan dengan sikap yang tampak kurang enak dia pun
menyatakan bahwa dia sedang serius. Bukan sedang bercanda. Namun, masih dengan
sikap bercanda, saya melanjutkan, “Mas, menurut hemat saya, sebelum anda
menangkapi para Pimpro atau Bendahara di kementerian/ lembaga, sebaiknya anda
menangkap dulu Kepala Biro Keuangan di kantor anda”.
Saya
pun akhirnya meyakinkan dia, bahwa di instansinya yang mengurusi kegiatan ‘anti
rasuah’ itu pun pasti juga melakukan hal yang sama. Kenapa demikian ? Saya menyampaikan bahwa hal
tersebut dilakukan oleh para pengelola Perbendaharaan Negara, karena sistem
yang ada tidak mampu menjawab kebutuhan riil di lapangan.
Kini
gantian saya yang dengan demikian serius menjelaskan, bahwa sistem pengelolaan Keuangan
Negara di republik kita ini ternyata mengandung hal-hal yang aneh. Bagaimana
tidak ? Masalah yang tadi disampaikan di atas adalah salah satu contoh
konkritnya.
Menurut
konsepsi Hukum Keuangan Negara, Pemerintah dan pihak lain (rekanan) dapat
menutup perjanjian dalam rangka melaksanakan kegiatan Pemerintah yang tercantum
dalam anggaran negara hingga hari terakhir periode tahun anggaran. Yaitu,
tanggal 31 Desember. Namun demikian, karena alasan bahwa Pemerintah harus
menyusun laporan tutup tahun pelaksanaan kas, semua pengeluaran harus dilakukan
paling lambat sekitar dua minggu sebelum tanggal 31 Desember. Itu adalah
sesuatu yang tidak dapat ditawar-tawar.
Hebatnya
lagi, ketentuan yang mengatur pengajuan pencairan dana kepada Kementerian
Keuangan hanya melulu mengatur tentang prosedur formal. Khususnya tentang
pembatasan tanggal. Bukan menyangkut pengaturan substansi secara rinci tentang
bagaimana dan apa yang harus dilakukan para pejabat pengelola anggaran di
kementerian/ lembaga.
BEDA
SUDUT PANDANG
Jadi,
menghadapi hal seperti itu, apa yang harus dilakukan oleh para Pimpro yang
bertanggung jawab atas selesainya sebuah kegiatan proyek yang dikendalikannya ?
Padahal,
mereka sadar betul bila dana untuk pendanaan proyeknya tidak ditarik seluruhnya
pada akhir tahun anggaran, akan sangat berisiko bagi kelanjutan kegiatan
proyeknya. Dalam bahasa awam, alokasi anggarannya pasti akan hangus. Itu
artinya, proyeknya akan terbengkelai. Sementara itu, alokasi pendanaan untuk
penyelesaian kegiatannya, kalau pun itu dimungkinkan, baru akan turun sekitar
bulan Oktober tahun depan. Yaitu, dalam Anggaran Perubahan.
Padahal
di sisi lain, para Pimpro ataupun Bendahara, dihadapkan pula pada situasi yang
sangat sulit. Mereka tidak mungkin menarik seluruh dana yang disediakan dari
kas negara. Mengapa ? Karena, menurut
kenyataan, proyek yang dikelolanya masih belum selesai secara keseluruhan. Ini adalah sebuah kondisi dilematis !
Dalam
situasi sulit tersebut apa yang dapat dan harus dilakukan oleh mereka ? Dua
pertimbangan tampaknya mesti mereka jadikan landasan pengambilan keputusan.
Pertama, kemungkinan terjadinya inefisiensi pada proyek yang bersangkutan,
karena terbengkelai ketika menunggu turunnya anggaran; kedua, rumitnya proses
pengajuan anggaran pada tahun berikutnya untuk proyek yang belum terselesaikan
pada tahun lalu.
Nah,
beralaskan pada kedua pertimbangan itulah
jalan pintas dan ilegal pun, bila perlu, mesti ditempuh. Bagi mereka,
itu adalah sebuah usaha penyelamatan kegiatan proyek Pemerintah. Bukan untuk
tujuan lain !
Oleh
sebab itu, kemudian sebagaimana ditengarai oleh pihak-pihak tertentu, berbondong-bondonglah
dana anggaran negara mengalir dari kas negara ke rekening pribadi para Pimpro
ataupun para Bendahara. Mengapa dana-dana
tersebut mesti di parkir di rekening-rekening pribadi ? Bukan di rekening dinas
?
Tanpa
tujuan lain yang tersembunyi, mestinya tidaklah hal itu mereka lakukan. Seperti
kata pepatah, ‘ bila tiada berada, mengapa tempua bersarang rendah ?’ Dan, inilah yang menarik bagi para penyidik.
Motif apa gerangan yang berada dibalik keputusan para Pimpro ataupun para
Bendahara tersebut ?
Ini
adalah pertanyaan yang memang seharusnya dimiliki para investigator.
Mereka tidak salah ! Hal seperti itu muncul begitu saja berdasarkan
intuisi. Mereka mesti berusaha mengungkap
mensrea dibalik serangkaian perbuatan yang terjadi di depan matanya.
Lebih-lebih,
mereka pun menemukan kenyataan bahwa para Pimpro atau Bendahara tersebut
menyampaikan data-data palsu kepada Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara
(KPPN) demi untuk dapat menarik seluruh dana yang tersedia. Yaitu, membuat
pernyataan bahwa proyeknya telah selesai dan telah dilakukan serah terima. Itu
jelas sebuah kebohongan ! Hebatnya lagi, KPPN seolah menutup mata terhadap kenyataan itu. Apakah ini bukan
sebuah konspirasi ?
Kembali
pada pepatah yang di atas tadi, mungkinkah KPPN mampu menutup mata tanpa
imbalan ? Apakah dana yang ditarik tersebut jumlahnya lebih besar dari
kebutuhan dana yang seharusnya ? Sehingga, sebagian sisanya dapat dibagi-bagi
kepada berbagai pihak ? Atau, mungkinkah penempatan dana di rekening-rekening
pribadi tersebut menghasilkan imbalan bunga yang kemudian digunakan sebagai
pelicin (grease) untuk memuluskan tindakan koruptif mereka ? Dan,
tampaknya masih ada serentetan pertanyaan penuh kecurigaan yang disampaikan
kepada saya. ( ….. )
No comments:
Post a Comment