KEUANGAN NEGARA : sebuah definisi legalistik (1)
Secara konstitusional
Pemerintah berkewajiban untuk menjamin kesejahteraan masyarakat melalui
penyediaan barang dan jasa publik. Penyediaan barang dan jasa publik dimaksud
dapat dibiayai melalui sistem perpajakan maupun melalui sistem ‘sharing’
tergantung dari sifat barang dan jasa publik yang bersangkutan.
Hal inilah yang merupakan
obyek tata kelola keuangan rumah tangga negara yang dikenal dengan tata kelola
keuangan negara. Oleh karena itu, pengelolaan keuangan negara, sesuai dengan
peran negara pada zamannya, hanya terfokus pada
keuangan rumah tangga negara, yang dikenal dengan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN).
Kendati kewajiban pemerintah
untuk menjamin kesejahteraan masyarakat melalui penyediaan barang dan jasa
publik dalam rangka menjamin kesejahteraan masyarakat sebagaimana dinyatakan
dalam konstitusi tidak berubah, peran
negara di era modern berkembang secara signifikan seiring dengan perkembangan
dan kebutuhan masyarakat.
Bentuk, cara, dan pola
penyediaan layanan dimaksud berpengaruh terhadap cara atau model pembiayaannya.
Hal-hal tersebut pada gilirannya melahirkan lembaga-lembaga sebagai unsur
pemerintah dalam pengambilan keputusan di bidang keuangan negara.
Pemikiran di era modern tersebut
membawa konsekuensi dalam bentuk perubahan terhadap konsepsi Keuangan Negara
yang semula sempit ke arah pengertian yang luas. Yaitu, yang semula menempatkan
Pemerintah sebagai subyek, yang semata-mata mengelola keuangan
Negara untuk memenuhi layanan publik
melalui Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara, berkembang menjadi Pemerintah dalam peran
barunya yang mencakup semua unsur Pemerintah yang memiliki kewenangan
pengambilan keputusan keuangan dalam rangka pelaksanaan perannya dalam arti
luas. Konsepsi baru ini dikenal dengan Keuangan Sektor Publik.
Secara
substansi, Keuangan Sektor Publik mencakup keuangan :
- Unit-unit pemerintah sebagai penghasil barang/ jasa publik, yaitu: kementerian/ lembaga Negara, dan unit nirlaba;
- Perusahaan Negara di bawah kementerian yang anggarannya dikelola dalam APBN yang diserahi tugas untuk menghasilkan barang dan jasa publik;
- perusahaan Negara dengan penganggaran tersendiri yang diserahi tugas untuk menghasilkan barang dan jasa publik;
- lembaga keuangan pemerintah, termasuk bank sentral, bank umum, dan lembaga asuransi.
A.
Keluasan Cakupan Keuangan Negara
Dengan mengadopsi pengertian ‘pemerintah’
dalam arti luas sebagaimana dikemukakan di atas, dilihat dari sudut konsepsi, Keuangan
Negara Indonesia, merupakan Keuangan Negara dalam arti luas yang lebih dikenal
dengan terminologi Keuangan Sektor Publik.
Pemilihan keluasan cakupan keuangan
negara tersebut tampaknya telah difikirkan secara matang dan telah disengaja oleh
para penyusun ketika menyampaikan konsep (draft) Rancangan Undang-Undang
Keuangan Negara kepada Lembaga Legislatif untuk dilakukan pembahasan.
Oleh sebab itu, Undang-undang No. 17
tahun 2003 Tentang Keuangan Negara dalam
konsiderans ‘Mengingat’ nya dengan jelas menyebutkan Pasal 33 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945,
disamping pasal 23, Pasal 23A, Pasal
23B, Pasal 23C, Pasal 23D, Pasal 23E.
Dalam
kaitan ini, pencantuman Pasal 33 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang
Dasar 1945 mengandung dua pengertian yang
mendasar, sebagai berikut :
pertama, bahwa
lingkup keuangan negara Indonesia mencakup pengelolaan cabang cabang produksi yang penting
bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak. Artinya, berbagai kewenangan pengambilan keputusan
keuangan pemerintah mencakup pula
keputusan dalam bidang pengelolaan cabang cabang produksi yang penting
bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak atau badan usaha milik negara.
kedua, bahwa hak negara yang dicakup
dalam Undang-undang
No. 17 tahun 2003 Tentang Keuangan Negara mencakup pula hak negara yang masih
bersifat potensial, sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 33 ayat (3) UUD 45, disamping
hak negara yang bersifat operasional yang dituangkan dalam pasal 23.
Pemikiran tersebut di atas secara
eksplisit dituangkan dalam Penjelasan Undang-undang Keuangan Negara angka 2
alinea pertama yang menyatakan bahwa:
Hal-hal baru
dan/ atau perubahan mendasar dalam
ketentuan keuangan Negara yang diatur dalam undang-undang ini meliputi
pengertian dan ruang lingkup keuangan Negara, ……
Untuk selanjutnya, pernyataan pada
angka 2 di atas diirinci dengan jelas dalam penjelasan angka 3 sebagai berikut
:
Pendekatan yang digunakan dalam merumuskan Keuangan
Negara adalah dari sisi obyek, subyek, proses, dan tujuan.
Dari sisi obyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara
meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang,
termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan
kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun
berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan
hak dan kewajiban tersebut.
Dari sisi subyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara
meliputi seluruh obyek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara,
dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Perusahaan
Negara/Daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara.
Dari sisi proses, Keuangan Negara mencakup seluruh
rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek sebagaimana tersebut
di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan
pertanggunggjawaban.
Dari sisi tujuan, Keuangan Negara meliputi seluruh
kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau
penguasaan obyek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan negara.
Bidang pengelolaan Keuangan Negara yang demikian luas
dapat dikelompokkan dalam sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan
moneter, dan sub bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan.
Gagasan
pemikiran dalam Penjelasan Umum dimaksud selanjutnya, diekspresikan dalam Pasal
1 angka 1 dan Pasal 2
sebagai berikut :
Pasal 1 angka 1,
Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara
yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun
berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan
hak dan kewajiban tersebut.
Pasal 2
Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
angka 1, meliputi :
a. hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan
mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman;
b. kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas
layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
c. Penerimaan
Negara;
d. Pengeluaran
Negara;
e. Penerimaan
Daerah;
f. Pengeluaran
Daerah;
g. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola
sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang,
serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang
dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah;
h. kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah
dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;
i. kekayaan
pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan
pemerintah.
B.
Pemisahan kekayaan negara dalam UU Keuangan
Negara
Sebagaimana dikemukakan, menyadari luasnya bidang pengelolaan
keuangan negara, para penyusun Undang-undang Keuangan Negara mengelompokkan pengelolaan
keuangan negara ke dalam tiga sub bidang. Oleh karena itu, dalam Undang-undang
No. 17 tahun 2003 Tentang Keuangan Negara dikenal sub bidang pengelolaan fiskal, sub
bidang pengelolaan moneter, dan sub bidang pengelolaan kekayaan negara yang
dipisahkan.
Kendati pengelolaan keuangan negara
dikelompokkan ke dalam tiga sub bidang tersebut di atas, pemikiran dichotomis
dalam bentuk kekayaan negara yang tidak dipisahkan dengan yang dipisahkan tetap
didasarkan pada konsepsi sebagaimana telah dijelaskan di atas, yaitu terkait dengan jenis produk
atau layanan yang dihasilkan subyek yang bersangkutan dalam bentuk public
goods atau private
goods.
Dalam hal ini, pemikiran dichotomis tersebut
tidak mengabaikan
kenyataan bahwa otoritas keuangan independen (lembaga-lembaga pemegang kebijakan
nasional, seperti bank sentral, dlsb) merupakan lembaga negara yang secara konsepsi menyusun dan
melaksanakan kebijakan untuk kepentingan (perekonomian) nasional yang secara tidak
langsung berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat secara luas.
Produk-produk yang dihasilkan oleh otoritas tersebut bukanlah merupakan produk
yang hanya dapat dinikmati oleh sekelompok masyarakat yang bersifat
eksklusif. Pemisahan
kekayaan dimaksud semata-mata untuk menjamin kemampuannya untuk mengelola
kebijakan yang bersifat spesifik, sehingga tidak terkendala oleh pola baku
pengelolaan anggaran pemerintah.
Oleh sebab itu, anggaran otoritas
keuangan, baik yang tidak dipisahkan maupun yang dipisahkan dimaksud tetap
dibawah pengawasan lembaga legislatif (DPR) dan diperiksa oleh Badan Pemeriksa
Keuangan.
C.
Kelembagaan
dalam sistem pengelolaan
keuangan negara di Indonesia
Mengamati ketentuan yang termaktub
dalam UUD 1945 maupun dalam Undang-undang No. 17
Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, model kelembagaan pengelola
keuangan negara di
Indonesia, tampaknya tidak dapat
terlepas dari ide dasar sebagaimana dikemukakan dalam penjelasan di atas.
Sehubungan dengan itu, dalam pengelolaan keuangan negara di Indonesia dikenal
adanya beberapa jenis lembaga.
Walaupun ternyata tidak sepenuhnya
dikukuhi, secara prinsip, pembedaan lembaga pengelola tersebut terutama
didasarkan pada motif atau tujuan pengelolaan keuangan negara sebagai obyek,
yang kemudian berpengaruh pada sistem tata kelolanya.
Bila diperhatikan dengan seksama, kendati pengelolaan keuangan negara
dikelompokkan ke dalam tiga sub bidang tersebut di atas, para
penyusun undang-undang Keuangan Negara hanya mengelompokkan lembaga pengelola
keuangan negara ke dalam dua kelompok
besar, yaitu lembaga pengelola kekayaan negara yang tidak dipisahkan dan
lembaga pengelola kekayaan negara yang dipisahkan.
Pemikiran dichotomis dalam bentuk lembaga
pengelola kekayaan
negara yang tidak dipisahkan dengan yang dipisahkan, pada
hakekatnya, tetap
didasarkan pada konsepsi sebagaimana telah dijelaskan dalam bagian terdahulu, yaitu terkait dengan
jenis produk atau layanan yang dihasilkan subyek yang bersangkutan (dalam hal
ini Pemerintah)
dalam bentuk public goods atau private
goods.
Namun demikian, pembedaan dimaksud
tidak dapat dilakukan secara jelas (clear
cut), karena menurut kenyataan bahwa lembaga pengelola kekayaan negara
yang dipisahkan dimaksud
juga merupakan
lembaga negara yang secara konsepsi turut menyusun
dan melaksanakan kebijakan untuk kepentingan (perekonomian) nasional yang
secara tidak langsung berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat secara
luas. Demikian pula, bahwa menurut kenyataan, produk-produk yang dihasilkan
oleh lembaga tersebut bukanlah merupakan produk yang hanya dapat dinikmati oleh
sekelompok masyarakat yang bersifat eksklusif, tetapi dinikmati oleh masyarakat
secara keseluruhan.
Dengan menyimak pola pikir para penyusun
Undang-undang Keuangan Negara tentang prinsip pemisahan kekayaan negara
tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam kelompok lembaga pengelola kekayaan negara yang
dipisahkan terdapat dua sub kelompok. Yaitu, pertama, sub kelompok lembaga penyelenggara kebijakan negara yang
keberadaannya dilakukan atas dasar undang-undang; dan kedua, sub kelompok
lembaga yang diciptakan dengan
tujuan mencari keuntungan (profit oriented).
Penting
untuk digarisbawahi dalam hal ini bahwa, kendati status kekayaan negara lembaga sub
kelompok pertama tersebut
dipisahkan dari APBN, pemisahan dimaksud tidak seperti halnya pemisahan yang
dilakukan oleh negara untuk tujuan mencari keuntungan (profit oriented)
seperti halnya pada
lembaga-lembaga yang tergolong dalam sub kelompok kedua, yang dalam hal ini adalah
badan usaha milik negara.
Dengan mengesampingkan
lembaga-lembaga penyelenggara kebijakan pemerintah yang merupakan unsur lembaga
pengelola kekayaan negara yang dipisahkan, penjelasan akan difokuskan pada sub bidang pengelolaan kekayaan negara yang
dipisahkan dalam arti yang lebih sempit, yaitu pengelolaan badan-badan usaha
milik negara.
Dengan demikian, sesuai dengan uraian di atas,
terdapat dua kutub ekstrim dalam pola kelembagaan yang dianut dalam
Undang-undang Keuangan Negara. Yaitu lembaga/ instansi yang melakukan
pengelolaan kekayaan yang tidak dipisahkan dan lembaga/ instansi yang melakukan
pengelolaan kekayaan yang dipisahkan.
1. Lembaga/ Instansi Pengelola Kekayaan Negara Yang Tidak
Dipisahkan
Dengan memperhatikan pendekatan yang digunakan dalam
merumuskan keuangan negara dari sisi subyek, obyek, proses, dan tujuan yang
hendak dicapai, bentuk Lembaga/ Instansi Pengelola Kekayaan Negara Yang Tidak Dipisahkan dengan
jelas tergambar dalam Undang-undang Keuangan Negara.
Dari pengungkapan tentang kewenangan
subyek pengelola keuangan negara, sebagaimana dituangkan dalam pasal 6
Undang-undang Keuangan Negara, secara eksplisit dapat dipahami bahwa Lembaga/ Instansi Pengelola
Kekayaan Negara Yang Tidak Dipisahkan adalah Pemerintah. Dalam hal ini, Pemerintah dimaksud direpresentasikan oleh lembaga
birokrasi penyelenggara pemerintahan negara. Termasuk dalam hal ini adalah
Pemerintahan Daerah.
Secara konkrit, lembaga dimaksud di tingkat
Pemerintah Pusat adalah Kementerian/ Lembaga, sedangkan di tingkat Pemerintah Daerah,
lembaga tersebut adalah seluruh instansi yang dikenal sebagai Satuan Kerja
Perangkat Daerah (SKPD) dan Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah (SKPKD).
Selanjutnya, mengacu pada ketentuan pasal 7 Undang-undang
Keuangan Negara dapat dilihat bahwa berbagai kegiatan yang dilakukan oleh Instansi
Pengelola Kekayaan Negara Yang Tidak Dipisahkan ditujukan untuk mencapai tujuan
bernegara, antara lain untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Terkait
dengan itu, pembiayaannya dilakukan melalui sistem perpajakan, dan semua
kegiatan pemerintah melalui lembaga dimaksud dikelola melalui sistem Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Dalam kaitan ini, perlu dipahami, bahwa
pengertian ‘dikelola melalui sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN)’ adalah bahwa pengelolaan anggaran dimaksud harus tunduk pada
prinsip-prinsip (azas) pengelolaan anggaran negara, yaitu prinsip anterioritas,
periodisitas, unitas, universalitas, dan juga prinsip spesialitas.
Secara konkrit, pengertian ‘dikelola melalui
sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)’ harus diartikan bahwa
rencana kegiatan yang disusun dan akan dilakukan oleh pemerintah (eksekutif)
tersebut harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari lembaga legislatif,
dituangkan dalam suatu dokumen tertentu (APBN atau yang disetarakan),
dilaksanakan dengan berpatokan pada kaidah baku tata kelola keuangan negara,
dan dilaporkan serta diaudit sebagaimana ditetapkan menurut perundang-undangan
bidang Keuangan Negara.
2. Lembaga/ Instansi Pengelola Kekayaan Negara Yang
Dipisahkan
Dengan mengacu pada pandangan berbagai ahli ekonomi,
terutama ditinjau dari sudut sosio-ekonomis, Indonesia pun menganut paham bahwa
negara dipersepsikan sebagai pelaku ekonomi dengan perilaku sebagaimana
layaknya pelaku ekonomi lainnya.
Perilaku dimaksud dalam hal ini didorong adanya motif
ekonomis (mencari keuntungan) yang mendasari berbagai pengambilan keputusan.
Walaupun tidak diingkari bahwa, dalam beberapa hal, Negara sebagai pelaku
ekonomi memiliki kekhususan dibandingkan dengan pelaku ekonomi pada umumnya.
Kekhususan Negara sebagai pelaku ekonomi muncul dari kenyataan, yang
kemudian dijadikan acuan para ahli Keuangan Negara, bahwa kebutuhan
masyarakat terhadap layanan publik (pemerintah) ternyata tidak seluruhnya dapat
disediakan melalui system yang melibatkan lembaga-lembaga pemerintah yang
bersifat struktural
dengan menggunakan mekanisme penetapan harga atas dasar sistem non pasar (non market pricing mechanism).
Dari sisi lain, disamping pendekatan melalui kebutuhan masyarakat tersebut di
atas, secara makro,
ternyata peran pemerintah diperlukan pula dalam
mendorong perkembangan perekonomian nasional melalui system distribusi dan stabilisasi. Sementara itu, secara khusus, dilihat dari sisi
keuangan negara, kegiatan-kegiatan lembaga pemerintah non struktural
tersebut diharapkan akan dapat merupakan sumber penerimaan
Negara.
Berdasarkan
pertimbangan tersebut di atas, kemudian Pemerintah pun membentuk institusi
dengan karakter seperti layaknya insitusi swasta. Institusi inilah yang
kemudian dikenal luas dengan istilah badan usaha milik negara (public
enterprise) dalam berbagai kepustakaan tentang keuangan negara.
Dalam perkembangannya, sesuai dengan perkembangan
peran Pemerintah dalam sektor perekonomian, khususnya melalui kebijakan non
fiskal, Pemerintah dapat melakukan kerjasama dengan pihak swasta murni dalam
bentuk penyertaan modal ataupun sejenisnya.
Dengan mencermati pemikiran di atas dan sejalan dengan
konsep Keuangan Negara yang selama ini dilaksanakan di Indonesia sejak
kemerdekaan, Undang-undang No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara
mengelompokkan badan-badan usaha milik negara dimaksud ke dalam lembaga
pengelola kekayaan negara yang dipisahkan.
Namun demikian, mengingat sifat maupun tujuan
keberadaan lembaga tersebut, pengaturannya dilakukan dalam ketentuan
tersendiri, yaitu dalam Undang-undang No. 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha
Milik Negara. Pengaturan dalam undang-undang tersendiri tersebut dimaksudkan
untuk memberikan keleluasaan dalam pengelolaan (manajemen) yang berbeda dengan
pengelolaan kekayaan negara yang tidak dipisahkan.
*
* *
No comments:
Post a Comment