Dalam sebuah
sidang di pengadilan Tipikor, seorang Hakim Ketua, melalui sebuah tanya jawab
yang sangat panjang, ‘mendorong’ saya
agar memberikan pernyataan bahwa kerugian negara dalam kasus yang tengah
disidangkan pada saat itu merupakan total
lost.
Ini adalah
sebuah peristiwa yang benar-benar terjadi pada tahun 2012. Yaitu, dalam sebuah persidangan yang mengadili
kasus korupsi dalam pengadaan lift di sebuah kementerian/ lembaga Pemerintah di
suatu ibukota Propinsi.
Satu
pertanyaan yang tidak pernah saya sangka sebelumnya adalah, apakah perjanjian
atau kontrak yang dibuat oleh pihak rekanan bersama Pejabat Pembuat Komitmen
(PPK) merupakan kontrak yang sah untuk dijadikan landasan pembayaran. Padahal,
sebagaimana dijelaskan oleh Jaksa dalam kronologis kasus bahwa, kontrak
dimaksud mengandung ketidakbenaran dalam data atau spesifikasi barang yang
ternyata, dalam beberapa hal,
kurang sesuai dengan apa yang
seharusnya.
Semula saya
hanya berpikir bahwa pak Hakim dengan gigih memperjuangkan keyakinannya agar Majelisnya
nanti tidak salah dalam mengambil keputusan. Artinya, vonis yang nantinya
dijatuhkan untuk si tersangka korupsi didasarkan pada pertimbangan yang benar,
dan sebenar-benarnya.
SALAH KAPRAH
Namun, apa
yang saya pikir tentang sikap Hakim tersebut ternyata tidak benar. Pada
kesempatan ini, saya tidak ingin
mempermasalahkan bagaimana Majelis Hakim
mungkin berdebat dalam masalah ini untuk mengambil suatu keputusan
kolegial. Itu urusan mereka. Yang pasti, tidak ada yang boleh mempengaruhi atau
katakan melakukan intervensi dalam pengambilan keputusan tersebut. Ini adalah
soal keyakinan. Dan, soal keyakinan
Hakim ini, konon merupakan salah satu unsur terkuat dalam pengambilan
keputusan. Mereka dijamin kebebasannya.
Saya pun tidak
boleh merasa kecewa dengan tidak diterimanya penjelasan saya di dalam
persidangan. Karena saya pun juga sangat memahami bahwa keterangan saya sebagai
Ahli, tidak mengikat Majelis Hakim. Artinya, boleh diterima dan boleh tidak.
Untuk pernyataan ini, mestinya, kita tidak boleh menaruh syak wasangka atau prejudice. Kita tidak boleh mengatakan
bahwa beliau-beliau yang dipanggil dengan sebutan ‘Yang Mulia’ tersebut
melakukannya dengan cara ‘suka-suka’.
Tapi, tentunya
boleh kan saya merasa kecewa, ketika penjelasan saya yang mestinya merupakan
kunci dalam pengambilan keputusan Majelis Hakim dalam kasus korupsi tersebut
dikesampingkan. Penjelasan saya yang berbeda (dissenting) dibandingkan dua atau beberapa pernyataan Ahli
lainnya, telah menyebabkan Yang Mulia cenderung memilih suara terbanyak sebagai
wujud suatu kebenaran.
Pernyataan
Ahli Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah maupun Auditor yang sama-sama
memberikan pendapat bahwa dalam kasus tersebut kerugian yang diderita negara
bersifat total, tampaknya menjadi tumpuan Majelis Hakim. Setali tiga uang tentunya
dengan Jaksa sebagaimana dituangkan dalam tuntutannya.
Tanpa
memperhatikan pentingnya peran substansi yang dibawakan seorang Ahli, keputusan
yang diambil oleh Majelis Hakim dapat merupakan sebuah keputusan yang
didasarkan pada pertimbangan yang bias. Salah tapi kaprah. Salah, tapi
berterima secara umum. Atau bahasa kerennya publicly
accepted, even it’s wrong. Padahal, di dalam forum pengadilan, kebenaran
adalah sangat menentukan. Ini karena menyangkut hak azasi untuk memperoleh
keadilan dan juga nasib seseorang.
Walaupun dalam
pengertian orang awam, masalah ‘kebenaran’ adalah bersifat relatif, dalam
pengertian hukum (peradilan), masalah ‘kebenaran’ adalah sesuatu yang bersifat
(hampir) absolut. Itu sebabnya, dipercaya oleh orang awam bahwa suara Hakim
adalah ‘suara Tuhan’ (La voix de Dieu). Oleh karena itu, keputusannya tidak boleh
sekedar didasarkan pada kemenangan seperti halnya dalam suatu pertandingan
tarik tambang. Artinya, siapa yang secara fisik menang, pasti akan keluar sebagai pemenang.
Keputusan
tentang suatu kebenaran tidak boleh hanya didasarkan pada berapa banyak pihak
yang menyatakan bahwa itu benar. Tidak boleh hanya didasarkan pada rasio
perbandingan. Tetapi, terutama, harus
dipertimbangkan dari segi substansi.
APA YANG
SEHARUSNYA MENJADI PERTIMBANGAN ?
Apa sih yang
dijadikan landasan penghitungan bagi Ahli Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah
dan Auditor dalam menentukan kerugian Negara dalam kasus di atas ?
Dari berbagai
penjelasan yang berhasil diungkapkan dalam persidangan, Ahli Pengadaan Barang
dan Jasa Pemerintah mendiskripsikan bahwa telah terjadi pelanggaran dalam
proses pembuatan kontrak. Secara tegas, dia menyatakan sebuah alur pikir yang
merupakan sebab-akibat. Yaitu, ketika sebuah perjanjian dilakukan melalui suatu
proses yang melanggar ketentuan, maka perjanjian dimaksud dilihat dari sudut
hukum adalah tidak sah.
Oleh sebab
itu, bila perjanjian tersebut terkait dengan pengadaan barang dan jasa, maka
barang dan jasa yang telah terlanjur ada adalah tidak sah. Pada gilirannya, sesuai
alur pemikiran tersebut, Pemerintah tidak harus membayar barang dan jasa yang
diserahkan kepadanya. Itulah sebabnya, menurut hitungan tersebut, negara telah
mengalami kerugian sebesar keseluruhan jumlah uang yang telah dikeluarkannya.
Dengan kata lain, kerugian yang diderita negara harus dihitung secara total
lost.
Alur pikir
tersebut mungkin saja boleh dianggap benar. Namun menerapkannya begitu saja dalam
tata kelola keuangan negara dapat
merupakan sebuah tindakan yang sembrono.
Dalam kasus
tersebut, tindakan menggelembungkan harga dengan modus tertentu itu sendiri
baru diketahui setelah sekitar dua tahun lift terpasang dan digunakan setiap
hari. Tanpa harus memasuki wilayah yang sangat teknis dalam proses pengadaan
barang dan jasa, yang terungkap dalam persidangan adalah bahwa barang (lift)
yang dibeli harganya lebih mahal dari harga yang seharusnya. Disamping itu,
kontrak atau pembeliannya pun tidak dilakukan pada distibutor atau pemilik merk
sebagaimana selalu dipersyaratkan dalam ketentuan pengadaan barang dan jasa
pemerintah.
Sebagaimana
telah sering saya ungkapkan dalam tulisan-tulisan sebelumnya, dari perspektif Hukum Keuangan
Negara, penghitungan kerugian negara dilakukan dengan cara yang sangat
sederhana. Beranjak dari sifat kerugian negara yang nyata dan pasti,
perhitungan kerugian negara dibuat atas dasar selisih kurang yang terjadi pada
aset negara. Yaitu selisih kurang antara data yang tercatat dalam pembukuan dengan
nilai aset yang sebenarnya.
Ditilik dari kejadiannya, kekurangan
aset tersebut dapat terjadi antara lain karena uang yang seharusnya disetor,
tidak disetor; kekayaan yang seharusnya menjadi milik Negara, tidak menjadi
milik Negara; atau dapat juga antara lain, karena uang yang berada di kas
Negara berkurang secara melanggar/ melawan hukum; atau aset yang menjadi milik
Negara terlepas dari kepemilikan Negara secara melanggar/ melawan hukum.
Dalam hal ini,
pengertian ‘uang yang berada di kas Negara’ adalah uang
yang menjadi hak negara, baik yang berada dalam penguasaan Bendahara Umum
Negara ataupun dalam penguasaan Bendahara/ Pejabat yang berwenang di
Kementerian/ Lembaga. Sementara itu, pengertian ‘berkurang secara melanggar/
melawan hukum’ dapat disebabkan karena diambil secara fisik, dan/
atau digunakan secara tidak sesuai ketentuan atau tujuan.
Satu hal sangat penting yang kiranya harus
diperhatikan dalam
masalah penghitungan kerugian negara sebagai akibat dari pengadaan barang dan jasa
Pemerintah adalah
penerapan azas manfaat.
Seringkali azas tersebut tidak digunakan sebagaimana mestinya, sehingga
menghasilkan perhitungan yang bias.
Dalam konteks keuangan Negara, penerapan
azas manfaat selalu dikaitkan dengan manfaat atau tujuan yang hendak dicapai
ketika suatu alokasi ditetapkan dalam UU APBN. Jadi bukan karena pertimbangan
bahwa pada kenyataannya barang atau jasa telah diberikan oleh rekanan, sehingga
dapat dihitung manfaatnya bagi Pemerintah. Meskipun barang dan jasa yang diserahkan tidak sesuai dengan tujuan pengalokasian dana dalam APBN.
Terkait
dengan pemikiran tersebut di atas, kerugian negara akan merupakan kerugian yang
bersifat total (total lost), bilamana pengeluaran yang telah dilakukan
oleh pejabat pengelola keuangan Negara pada suatu kementerian/ lembaga tidak
sesuai dengan tujuan pengalokasian dana sebagaimana dituangkan dalam UU APBN.
Namun sebaliknya, kerugian Negara hanya akan
berupa selisih (partial lost), bilamana pengeluaran yang telah dilakukan
sesuai dengan tujuan. Walaupun, dalam beberapa hal, kemungkinan terdapat
persyaratan (minor) yang tidak terpenuhi.
Dalam hal
ini, perlu diingatkan bahwa, secara prinsip, Pemerintah tidak harus mengakui
penyerahan barang/ jasa yang dilakukan oleh pihak rekanan bila tidak memberikan
manfaat sebagaimana diharapkan ketika Lembaga Eksekutif dan Lembaga Legislatif
membuat kesepakatan yang kemudian
dituangkan dalam Undang-undang, yaitu UU APBN.
Sejalan dengan kasus di atas, sebuah contoh tentang pengadaan lift
untuk keperluan sebuah Rumah Sakit Pemerintah akan dapat memberikan
ilustrasi yang lebih jelas. Ketika sebuah rumah sakit mengalokasikan sejumlah
dana dalam anggarannya untuk pengadaan lift pasien, tetapi ketika dalam
realisasinya rekanan memasang lift untuk keperluan pengunjung, kerugian yang
diderita oleh negara harus dihitung secara total. Walaupun dalam kenyataan,
lift untuk pengunjung yang dipasang dapat berfungsi dengan baik, dan dari segi
harga – karena penambahan volume – tidak terlalu besar selisihnya.
Mengapa demikian ? Ya, karena lift untuk pasien memiliki dimensi yang
lebih besar dibandingkan lift untuk pengunjung. Lift ini memang sengaja
dirancang untuk memindahkan/
mentransport pasien dari dan ke ruang operasi atau dari Instalasi Gawat Darurat
ke kamar perawatan. Jadi lift tersebut harus memiliki kemampuan untuk
mengangkut perlengkapan pasien seperti, tempat tidur, dlsb-nya, termasuk
perawat dan keluarga pasien. Perubahan spesifikasi ataupun karena faktor
lainnya yang kemudian akan menghilangkan atau merubah manfaat yang telah
ditetapkan dalam alokasi anggaran (UU APBN), akan mengakibatkan perhitungan
kerugian negara harus dilakukan atas dasar total
lost.
Nah, pertimbangan dari aspek manfaat inilah yang seharusnya dijadikan
dasar dalam menentukan apakah suatu kerugian negara dinyatakan sebagai partial atau total lost.
TERBALIK - BALIK
Dalam praktek di lapangan, seperti pada kejadian yang diungkapkan di
awal tulisan ini, Majelis Hakim dengan entengnya memutuskan bahwa kerugian yang
diderita negara dalam sebuah kasus pengadaan barang dan jasa Pemerintah
dihitung atas dasar total lost. Putusan seperti itu, biasanya diperkuat oleh adanya perhitungan yang
disusun oleh Auditor yang menyatakan bahwa kerugian negara adalah total lost.
Padahal, Majelis Hakim seharusnya mempertimbangkan bahwa Auditor
bukanlah pihak yang dapat menentukan apakah suatu kerugian negara bersifat
parsial ataukah bersifat total. Tugas Auditor hanyalah ‘menghitung’ besaran
kerugian atas dasar formula yang diperolehnya dari pihak lain. Bukan
menentukan. Dan bukan pula menetapkan.
Sekedar untuk diketahui saja, keputusan semacam itu relatif sering
terjadi. Masyarakat awam tidak banyak menaruh perhatian, karena besaran
jumlahnya tidak cukup signifikan. Tambahan lagi, masyarakat masih dihinggapi
semangat untuk menghukum seberat-beratnya para koruptor. Karena bagi masyarakat
itulah ganjaran seadil-adilnya bagi mereka-mereka yang memanipulasi uang negara.
Nah, ketika menyangkut proyek-proyek ‘kelas kakap’ kegamangan tampak
muncul dimana-mana. Ini bisa dilihat bagaimana sikap lembaga-lembaga terkait saling
lempar pernyataan dan tanggungjawab sebagaimana tampak dilansir di media massa.
Bahkan, kini masyarakat pun mulai ikut memahami logika yang
terbalik-balik, bahwa Auditor memiliki peran yang demikian besar dalam
menentukan besaran kerugian negara. Padahal, seharusnya adalah sebaliknya.
Auditor tidak memiliki peran kapital dalam penentuan dan penetapan besaran
kerugian negara. Gimana nih…. !
*
* *