KERUGIAN NEGARA, BERAPA .... ? (Intermezzo)
Dari kasus korupsi kelas ‘kakap’ yang terungkap belakangan ini, terdapat
beberapa hal yang menarik untuk disimak. Salah satu dari beberapa hal yang menarik
tersebut, yang akhir-akhir ini diungkapkan oleh media massa, adalah kenyataan adanya saling lempar tanggungjawab
antara para pihak dalam mengungkapkan berapa sebenarnya kerugian yang diderita oleh
negara. Terkait dengan itu, sekedar untuk memberikan ilustrasi, dengan harapan dapat
dijadikan bahan pertimbangan bagi pihak-pihak yang seharusnya memutuskan, dalam
blog ini saya sajikan beberapa tulisan terkait
dengan bagaimana seharusnya kerugian negara tersebut dihitung. Alur logika yang
digunakan, tentu saja, sesuai dengan spesifikasi blog ini, adalah dari sudut pandang
Hukum Keuangan Negara. Bukan dari sudut pandang disiplin ilmu lain.
Salam,
SS
Pada tahun 2007, ketika saya menjadi pembicara dalam sebuah seminar yang diselenggarakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), seorang peserta dengan lantang mengusulkan agar penggantian kerugian negara yang diakibatkan karena kasus korupsi harus dilakukan setinggi-tingginya. Artinya, ganti rugi harus dilakukan melebihi besaran asset Negara yang hilang karena kasus korupsi.
Dalam kesempatan lain, dapat dilihat ekspresi keinginan masyarakat untuk menghukum para koruptor dengan cara membuat mereka menjadi miskin. Wacana ini belakangan muncul bukan saja dalam diskusi ataupun berbagai artikel di media, melainkan juga dalam diskusi setengah resmi dalam rangka penyusunan ketentuan perundang-undangan.
Dalam mengamati situasi yang tampaknya lebih diselimuti oleh sikap emosional daripada rasional tersebut memang kemudian muncul pertanyaan, berapa sebenarnya kerugian yang harus dikembalikan kepada Negara dalam suatu kasus yang merugikan Negara ?
Bila diikuti
kata hati dan perasaan masyarakat, terlebih dalam kondisi perekonomian dan
kenegaraan seperti pada saat ini, menuntut pengembalian harta yang dikorupsi sebesar-besarnya
hingga membuat si koruptor menjadi miskin rasanya adalah tindakan yang paling
memihak rakyat. Dus paling memenuhi rasa keadilan.
Namun demikian,
dengan tetap berlandaskan pada filosofi tentang keadilan, apakah hal tersebut
dapat dibenarkan ?
TIDAK PASTI
Pasal 1365 BW yang
dijadikan inspirasi lahirnya gagasan tentang kerugian Negara ternyata tidak mengatur secara
khusus besarnya kerugian yang harus ditanggung oleh pihak yang bersalah.
Pernyataan
‘diwajibkan mengganti sebesar kerugian yang diderita oleh pihak yang
dirugikannya’ membuka kesempatan
berbagai pihak untuk membuat penafsiran. Atau bahkan memungkinkan terjadinya
penemuan hukum oleh pihak-pihak yang berwenang (baca: hakim di pengadilan).
Dengan
ketiadaan ketentuan yang dijadikan acuan, berbagai pihak kemudian berusaha
membuat penafsiran yang mendekati pemikiran dasar yang menjadi jiwa pasal itu
sendiri (pasal 1365 BW).
Setelah
mempelajari berbagai teori dan mengkaji berbagai kasus yang terjadi dalam
peristiwa perbuatan melawan hukum, para ahli hukum berpendapat bahwa besarnya
penggantian kerugian atas perbuatan melawan hukum dapat ditetapkan melalui
teknik penafsiran secara analogis dengan mendasarkan pada konsep adequat (kepantasan).
Dengan
memandang bahwa wan prestasi (cidera janji) merupakan perbuatan melawan hukum,
dan akibat perbuatan wan prestasi, yaitu kerugian seseorang, dapat dengan jelas
diukur, berbagai ahli hukum kemudian berpendapat bahwa besarnya kerugian yang
ditanggung oleh seseorang adalah sama dengan besarnya kerugian sebagai akibat
terjadinya perbuatan melawan hukum dalam bentuk cidera janji.
Terkait dengan
itu, besarnya ganti rugi yang harus dibayarkan kepada pihak yang menanggung
kerugian harus disesuaikan dengan perhitungan yang dibuat atas dasar
unsur-unsur yang dijadikan dasar perhitungan sebagai akibat cidera janji.
Besarnya kerugian tersebut dengan jelas
dinyatakan dalam pasal 1243 hingga pasal 1252 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Unsur-unsur kerugian dimaksud terdiri: biaya, hasil yang diharapkan, dan bunga.
Ini adalah teknik penafsiran analogis.
Walaupun,
sebenarnya, hal ini masih menimbulkan perdebatan panjang. Banyak di antara para
ahli hukum sendiri yang masih mempersoalkan pengertian kerugian menurut pasal
1365 BW dan pasal 1243-1252 (tentang cidera janji) yang ternyata memiliki unsur
yang berbeda. Yaitu, schade untuk
pasal 1365 BW, dan kosten, schade,
dan interessen untuk pasal 1243-1252.
Bila
diperhatikan, pandangan
para ahli hukum itu
sendiri terpecah dalam dua school of
thinking. Pertama, bahwa besarnya kerugian yang diderita adalah harus nyata. Artinya, sesuai dengan apa
yang sebenarnya ditanggung oleh penderita. Pernyataan ini, bila diperhatikan, mengungkapkan nilai
nominal yang telah dikeluarkan
oleh yang bersangkutan sebelum terjadinya perbuatan yang merugikan dirinya.
Kedua, yang dimaksudkan dengan kerugian tersebut termasuk keuntungan yang
seharusnya diperoleh bila kejadian yang merugikan dirinya tidak terjadi.
Dalam pemikiran
kelompok pertama tersebut di atas, berbagai pihak ternyata memasukkan pula unsur
penyesuai, yaitu
perubahan harga. Hal ini terjadi misalnya dalam kasus utang-piutang.
Sebagai contoh,
dapat dikemukakan suatu kasus yang pernah diputuskan pengadilan
di Negeri Belanda yang kemudian dijadikan yurisprudensi. Dalam suatu
sengketa tentang utang-piutang, pertimbangan besarnya
utang yang harus dibayar, yang setelah sekian lama tidak
dapat ditagih, didasarkan pada perkembangan harga
emas.
Dengan cara demikian,
secara nyata nilai nominal utang tersebut tentunya akan berubah (naik). Tetapi,
bila dinilai secara materiil sebenarnya tidak. Kenaikan tersebut, bila
diperhatikan, hanya sekedar untuk mempertahankan kemampuan ekonomis utang
tersebut yang diukur melalui daya belinya terhadap emas. Dari sudut pandang
ini, nilai tersebut sama sekali tidak berubah.
Makna yang dapat
diperoleh dari kasus utang-piutang tersebut adalah bahwa, bertambah besarnya
nilai nominal utang ini, bila diperhatikan bukan karena adanya pertambahan
penghasilan dari utang itu sendiri, akan tetapi semata-mata hanya untuk
mempertahankan nilai ekonomis utang
tersebut.
Sedangkan
menurut pemikiran kelompok kedua, besarnya kerugian yang ditanggung oleh pihak
penderita adalah sebanding dengan berbagai keuntungan yang seharusnya diterima oleh
yang bersangkutan, seandainya tindakan melawan hukum yang merugikan dirinya
tersebut tidak terjadi.
Dalam
perkembangan, berbagai pihak justru cenderung sependapat dengan pandangan
kelompok kedua ini. Oleh sebab itu, pihak-pihak tertentu, terutama para
penganut ilmu ekonomi menyusun ganti rugi dengan mengadopsi pemikiran tersebut
dan mengembangkannya sesuai pertimbangan ekonomis. Itu sebabnya
kemudian dapat dilihat berbagai metode perhitungan yang kini dikembangkan, yang
bila diperhatikan kesemuanya beranjak dari pola pikir yang hampir tidak
berbeda.
TIDAK BOLEH
LEBIH
Bagaimana
dengan Hukum Keuangan Negara ?
Dari
penelusuran yang dilakukan terhadap ketentuan lama tentang pengelolaan keuangan
negara di Indonesia, hampir dapat dipastikan tidak terdapat ketentuan yang
secara eksplisit menjelaskan bagaimana besarnya kerugian negara harus
ditetapkan.
Beberapa
kepustakaan lama yang berhasil ditemukan, seperti misalnya Perbendaharaan
Negara Indonesia yang ditulis oleh A.P. van Gogh pada tahun 1952, dan Perbendaharaan
yang ditulis oleh J. Bijloo (yang disusun atas dasar karya P. Alons tahun 1940), ternyata juga tidak berbeda. Para
penulisnya hanya mampu memberikan
gambaran atau contoh kasus yang mungkin dapat dijadikan pedoman.
Dari contoh kasus
yang diungkapkan seperti misalnya, kewajiban mengganti kerugian terhadap rumah
dinas yang ditelantarkan oleh penghuni hingga mengalami kerusakan, ataupun
penerapan pasal 1359 dan 1360 BW terhadap tindakan seorang pejabat pemerintah
yang telah menerbitkan keputusan yang salah yang menguntungkan pihak lain,
menyiratkan bahwa pada prinsipnya, besarnya kerugian yang ditanggung oleh negara
sebagai akibat perbuatan melawan hukum atau lalai adalah sebesar kerugian
nyata.
Untuk kerugian
dalam bentuk barang adalah sebesar nilai taksiran untuk memulihkan kembali keadaan
semula, sedangkan untuk kerugian dalam
bentuk uang adalah sebesar nilai yang benar-benar berkurang dari perhitungan
atau milik negara berdasarkan catatan pembukuan yang diselenggarakan oleh
negara.
Sekedar untuk
dipahami, bahwa pengertian nilai taksiran dalam hal kerugian negara dalam
bentuk barang merupakan penetapan resmi yang dilakukan oleh suatu lembaga yang
berkompeten, mis: instansi di bawah kementrian pekerjaan umum untuk taksiran
harga rumah dinas, dan instansi di bawah kementrian perhubungan untuk kendaraan
bermotor milik pemerintah. Bukan taksiran yang dibuat dengan cara mengira-ira.
Apalagi dibuat oleh suatu lembaga yang tidak berkompeten, atau sekedar dianggap
berkompeten oleh masyarakat pada umumnya.
Satu-satunya
pengaturan yang agak jelas yang selama ini dijadikan acuan, kalau boleh
dikatakan demikian, adalah surat Gouvernements Secretaris tertanggal 30 Agustus
1933 Nomor 2498/B. Dalam surat tersebut antara lain dinyatakan bahwa, dalam masalah kerugian negara, pertama-tama
perlu diteliti dan dikumpulkan bahan bukti untuk menetapkan besarnya kerugian
yang diderita oleh negara. Selanjutnya, dalam
penelitian dimaksud perlu diperhatikan bahwa tidak diperkenankan melakukan tuntutan ganti rugi untuk jumlah yang
lebih besar daripada kerugian sesungguhnya yang diderita oleh negara.
Pernyataan
dimaksud, tampaknya, selaras dengan praktek perhitungan yang digunakan dalam
tuntutan kepada para Bendahara dalam pengelolaan uang maupun pengelolaan barang.
Pengertian ‘kekurangan perbendaharaan’ (comptabel
tekort) adalah selisih kurang antara saldo buku-kas dengan saldo kas yang
sesungguhnya, atau selisih kurang antara buku persediaan barang dengan saldo
barang yang sesungguhnya terdapat di dalam gudang. Jumlah inilah yang
benar-benar merupakan kerugian negara.
Dengan mengacu pada pola pikir di atas,
karena kerugian negara dihitung atas dasar kenyataan yang ada atas hak
pemerintah atau yang seharusnya menjadi hak pemerintah, besarnya kerugian
negara dihitung dengan perhitungan yang sangat sederhana. Yaitu, prinsipnya, hanya dengan membandingkan
kekayaan yang menjadi hak negara dengan kekayaan yang ada dan berkurang
karena akibat pengelolaan ataupun perbuatan melawan hukum.
Untuk kerugian negara, misalnya dalam bentuk uang yang kurang distorkan ke Kas
Negara (misalnya dalam masalah perpajakan),
yang dilakukan secara sengaja oleh wajib
pajak atau wajib setor, formula tersebut harus lebih
disempurnakan. Pertama, harus diperhatikan landasan hukum pemungutannya; kedua,
cara menginformasikan; dan ketiga, besaran jumlah yang dipungut dari
masyarakat. Setelah ketiga unsur tersebut diteliti, kemudian dengan menghitung
banyaknya transaksi yang terjadi dalam suatu periode akan dihasilkan jumlah
yang seharusnya diterima oleh negara.
( bersambung .......... )
*
* *
2 comments:
Isi Artikel yang luar biasa, sangat berwawasan dan bermanfaat. Maju dan sukses selalu. Terimakasih, Salam
Leadershipstreet Indonesia
Terima kasih atas kunjungan Anda ke Blog saya. Dan terima kasih pula atas apresiasi yang telah Anda berikan terhadap tulisan di atas. Semoga tulisan tersebut dapat memberikan manfaat kepada masyarakat luas.
Salam,
SS
Post a Comment