TIM ADVOKASI PENYELAMATAN KEUANGAN NEGARA yang terdiri dari , antara lain, ICW, YLBHI, FITRA mengajukan uji materi pasal 157 ayat6 (1) dan pasal 159 ayat (5) huuruf e Undang-undang No. 27 Tahun 2009 tentang MD3, serta pasal 15 ayat (5) Undang undang no. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara. Alasan mereka adalah bahwa pembentukan Banggar di DPR telah dimanfaatkan oleh Partai Politik untuk mencari dana. Disamping itu, pembahasan APBN-P sering digunakan untuk membahas proyek-proyek baru yang menguntungkan partai politik. Mengingat masalah tersebut selalu saya ungkapkan dalam setiap kesempatan ketika di dalam persidangan berbagai kasus korupsi baik yang ditangani oleh KPK maupun lembaga lainnya, hari Senin tanggal 24 Juni 2013 saya diberi kesempatan untuk memberikan dukungan kepada TIM ADVOKASI dalam sidang di Mahkamah Konstitusi.Di bawah ini adalah teks lengkap keterangan saya. Semoga bermanfaat.
Salam,
PERAN LEMBAGA PERWAKILAN RAKYAT DALAM PENETAPAN
UNDANG
– UNDANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA
Yang Mulia Ketua dan para Hakim Anggota Majelis Mahkamah Konstitusi. Para Pemohon, Para Termohon , Para Ahli, dan Hadirin sekalian yang dimuliakan.
Assalamualaikum warrahmatullahi wa barakatuh. Selamat siang dan salam sejahtera bagi kita semua.
Pertama-tama, perkenankanlah saya menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Hakim Panel Mahkamah Konsitusi yang telah mengijinkan saya sebagai Ahli Hukum Keuangan Negara dari pihak TIM ADVOKASI PENYELAMATAN KEUANGAN NEGARA sebagai Pemohon untuk menyampaikan penjelasan saya dalam kasus Permohonan Pengujian Undang-undang Republik Indonesia No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-undang No. 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kedua, pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan bahwa pengetahuan yang mendukung keahlian saya dalam bidang Hukum Keuangan Negara tersebut saya peroleh ketika mengikuti pendidikan pada Institut Ilmu Keuangan di Jakarta, pada Institut Internasionale d’Administration Publique (pasca sarjana) di Paris Jurusan Gestion Budgetaire et Financiere, pada Faculte de Droit et d’ Economie Universite de Paris 2, Pantheon, (studi doctoral) Jurusan Droit de Finances Publiques et Fiscalite, dan pada Asian Development Bank Institut (short Course) di Tokyo untuk bidang Public Expenditures Management. Disamping itu, pengetahuan tersebut didukung pula oleh pengalaman praktek selama lebih dari 40 tahun mengabdi pada Kementerian Keuangan, khususnya di bidang Penganggaran dan Perbendaharaan. Juga didukung dari pengalaman sebagai Ketua Tim Penyusunan Undang-Undang Bidang Keuangan Negara ( 3 Undang-undang), dan pengalaman sebagai Direktur Pusat Pengkajian Keuangan Negara dan Daerah pada Universitas Patria Artha, Makassar.
Yang Mulia Ketua dan para Hakim Anggota Majelis Mahkamah Konstitusi dan para hadirin yang saya hormati
Kasus yang terjadi antara Pemohon, Termohon adalah sebuah kasus yang terjadi dalam lingkup Hukum Keuangan Negara. Yaitu merupakan kasus yang terjadi dalam hubungan antara Lembaga Legislatif dan Lembaga Eksekutif dalam rangka penetapan Undang-undang APBN serta dalam rangka pelaksanaan UU APBN.
Oleh karena itu, tanpa memiliki pretensi yang berlebihan, dan mengurangi arti penjelasan dari sudut disiplin ilmu lainnya, saya berpendapat bahwa penjelasan dari sudut Ilmu Hukum Keuangan Negara sudah selayaknya dipandang memiliki relevansi yang relatif tinggi dibandingkan dengan penjelasan dari sudut disiplin ilmu lainnya. Hal ini tentunya dengan mengacu pada azas proporsionalitas, yaitu dengan menempatkan disiplin Ilmu Hukum Keuangan Negara sebagai instrumen untuk melakukan analisis terhadap permasalahan yang timbul dalam bidang Hukum Keuangan Negara.
Dalam praktek selama ini, mengingat disiplin Ilmu Hukum Keuangan Negara di Indonesia belum berkembang, sekedar untuk mencari pembenaran bahwa masalah-masalah Keuangan Negara telah dianalisis dari aspek hukum, kasus-kasus yang terjadi dalam lingkup Keuangan Negara seringkali dianalisis oleh berbagai pihak dengan menggunakan sudut pandang dari berbagai disiplin ilmu hukum, misalnya : Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara, Hukum Bisnis, Hukum Pidana, dan juga Hukum Perdata. Padahal, ini adalah satu pemahaman yang kurang tepat atau kalau boleh dikatakan, keliru.
Sehubungan dengan itu, perkenankanlah saya menyampaikan penjelasan kasus tersebut dari sudut Ilmu Hukum Keuangan Negara sebagaimana yang telah saya pelajari dan dalami selama ini, baik sebagai akademisi maupun sebagai praktisi.
Yang Mulia Ketua dan para Hakim Anggota Majelis Mahkamah Konstitusi dan para hadirin yang saya hormati
Agar lebih mudah dipahami, penjelasan yang disampaikan akan dibagi dalam tiga bagian, yaitu: pertama, terkait dengan konsepsi; kedua, implementasi; dan ketiga, pendapat dan kesimpulan.
Menurut studi Ilmu Hukum Keuangan Negara, Pengelolaan Keuangan Negara terbagi dalam dua aspek (sisi), yaitu : aspek politis dan aspek administratif.
Dalam kajian Ilmu Hukum Keuangan Negara, aspek politik keuangan negara ini secara substansi mengatur hubungan hukum antara lembaga legislatif dan lembaga eksekutif dalam rangka penyusunan dan penetapan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
Secara konkrit, aspek politis keuangan negara tersebut terkait dengan pelaksanaan pemikiran/ ide yang terkandung dalam undang-undang dasar. Yakni, mengatur bagaimana amanah undang-undang dasar yang meliputi penyelenggaraan pemerintahan negara dan pemenuhan hak-hak azasi warga negara harus diwujudkan.
Amanah undang-undang dasar dimaksud diwujudkan dalam bentuk kegiatan pengelolaan rumah tangga negara, baik dari aspek kegiatan yang akan dilaksanakan maupun dari aspek pembiayaannya (financing). Dari aspek pembiayaan, pada hakekatnya, menjawab pertanyaan bagaimana pemerintah dapat membiayai kegiatan pemerintah dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan dan pemenuhan hak-hak azasi warga negara.
Pertanyaan masyarakat awam terkait dengan masalah anggaran negara dan peran lembaga legislatif sebagai lembaga politik di suatu negara selalu berkisar pada : Mengapa anggaran negara harus dibahas oleh lembaga legislatif ? Mungkinkah lembaga legislatif menyusun anggaran negara untuk dilaksanakan oleh pemerintah ?
Sementara itu, gagasan agar lembaga legislatif memiliki kewenangan untuk menyusun anggaran negara pernah berkembang di Indonesia. Pemikiran semacam itu, kalau tidak salah, justru muncul dari para anggota dewan, ketika Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengalami masa kebebasan dari keterkungkungannya sebagai lembaga politik di masa lalu, yaitu sejak dicanangkannya reformasi di Indonesia.
Yang Mulia Ketua dan para Hakim Anggota Majelis Mahkamah Konstitusi dan para hadirin yang saya hormati,
Anggaran Negara Adalah Sebuah Kesepakatan Politik.
Tradisi pembahasan anggaran negara oleh lembaga legislatif, secara historis, dimulai di Inggris sekitar tahun 1200-an ketika paham parlementarisme berkembang di negara tersebut, dan juga di Perancis.
Ide pembahasan anggaran di legislatif dimulai ketika masyarakat menolak untuk membayar pajak. Ketika itu, masyarakat menyatakan bahwa tidak akan membayar pajak, kecuali rakyat memiliki wakil di parlemen yang akan membela kepentingannya. Pergolakan yang ditandai dengan lahirnya Magna Charta tersebut, mengusung slogan yang terkenal pada saat itu, yaitu ‘No taxation without representation’.
Ide dasar yang berkembang pada saat itu adalah adanya keinginan rakyat untuk dapat mengetahui secara pasti kegunaan uang yang dipungut dari mereka dalam bentuk pungutan memaksa melalui sistem perpajakan.
Kendati keberhasilan perjuangan rakyat untuk dapat berperan dalam menentukan anggaran negara melalui lembaga perwakilan (parlemen) ternyata baru sekitar lima abad kemudian, tahun 1200-an tersebut dianggap sebagai tonggak sejarah kelahiran hak legislatif dalam penetapan anggaran negara yang kini dikenal secara luas dengan nama hak budget lembaga legislatif. Dalam alur yang sederhana, lahirnya hak budget lembaga legislatif dapat diilustrasikan seperti di bawah ini.
Keinginan pemerintah untuk memungut sejumlah uang yang akan digunakan untuk membiayai berbagai kegiatan pemerintah, direspons oleh rakyat melalui perwakilannya di lembaga legislatif dalam bentuk permintaan agar pemerintah secara transparan dapat menjelaskan program-program kegiatan yang akan dilaksanakan dalam kurun waktu setahun mendatang, dan juga rincian dana yang dibutuhkan yang nantinya akan dipungut dari masyarakat. Hal inilah yang kemudian memaksa pemerintah menyusun semacam proposal dalam bentuk rencana kerja yang selanjutnya diikuti dengan rincian pendanaannya. Proposal tersebut selanjutnya dikaji oleh lembaga legislatif untuk kemudian diberikan persetujuan untuk dilaksanakan bilamana dipandang layak.
Namun demikian, diterimanya rencana kerja pemerintah yang diikuti dengan rinciannya dalam bentuk uang dimaksud oleh lembaga legislatif tidaklah serta merta memberikan otorisasi kepada pemerintah untuk membebankan segala biaya kepada masyarakat dalam bentuk ijin pemungutan pajak.
Dengan mempertimbangkan besarnya penerimaan domanial yang berasal dari kekayaan kerajaan, lembaga legislatif kemudian dapat menyetujui besarnya dana yang akan ditarik pemerintah dari masyarakat dalam bentuk pajak pada suatu tahun untuk membiayai pengeluaran yang telah disetujui.
Ilustrasi di atas kiranya dapat menjelaskan bahwa penyampaian rencana kerja yang disertai dengan rencana pembiayaan, di satu sisi, dan rencana pendapatan di sisi lain, mengandung pengertian bahwa pemerintah wajib menyampaikan rencana anggaran negara kepada lembaga legislatif untuk dibahas. Sementara itu, lembaga legislatif memiliki kewenangan untuk melakukan pembahasan dan memberikan persetujuan (approval) sebelum rencana dimaksud dilaksanakan.
Selanjutnya, hasil pembahasan lembaga legislatif yang merupakan kesepakatan antara lembaga legislatif dan lembaga eksekutif dimaksud kemudian dituangkan dalam suatu produk hukum yang dikenal dengan undang-undang.
Dengan demikian, dari sudut politik, anggaran negara adalah suatu bentuk kesepakatan politik antara lembaga legislatif dan lembaga eksekutif yang berisi persetujuan untuk melakukan pengeluaran pada suatu kurun waktu di masa datang untuk membiayai program kerja yang telah disetujui, di satu sisi, dan persetujuan untuk mengupayakan pendanaan guna membiayai pengeluaran tersebut pada kurun waktu yang sama, di sisi lain.
Yang Mulia Ketua dan para Hakim Anggota Majelis Mahkamah
Konstitusi dan para hadirin yang saya hormati,
Sebagaimana laiknya suatu kesepakatan, kesepakatan antara kedua lembaga politik tersebut juga memiliki konsekwensi logis dalam bentuk hak dan kewajiban bagi ke dua-belah pihak.
Di sisi lembaga legislatif, hak yang timbul dengan adanya kesepakatan dimaksud adalah hak untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan persetujuan yang telah dituangkan dalam suatu produk perundang-undangan. Hak pengawasan lembaga legislatif, pada hakekatnya, mencakup baik pada sisi pelaksanaan pengeluaran negara, maupun pada sisi penerimaan negara, karena melalui kedua sisi itulah pelaksanaan persetujuan diwujudkan.
Hak lainnya yang sangat penting artinya adalah hak untuk meminta pertanggungjawaban kepada lembaga eksekutif terhadap pelaksanaan rencana kerja maupun rencana pembiayaannya. Sementara itu, kewajibannya adalah memberikan dukungan maupun konsultasi agar pelaksanaan kesepakatan tersebut dapat dilaksanakan dengan baik.
Seperti hakekat nama yang melekat, lembaga eksekutif, pada prinsipnya, adalah pelaksana dari keputusan yang telah ditetapkan oleh rakyat melalui lembaga perwakilannya. Oleh sebab itu, hak lembaga eksekutif adalah melaksanakan kesepakatan yang telah ditetapkan dalam undang-undang dan mewujudkan semua rencana yang terkandung di dalamnya.
Terkait dengan peran tersebut, semua kebijakan yang disusun oleh pemerintah adalah kebijakan operasional dalam rangka pelaksanaan kesepakatan. Bukan merupakan kebijakan yang bersifat konsepsional yang berujung pada perubahan substansi kesepakatan. Terhadap kenyataan ini, banyak pihak berpendapat bahwa hak yang dimiliki oleh lembaga eksekutif dalam hal ini tidak lebih hanya merupakan suatu bentuk kewajiban. Bukan hak dalam arti yang sebenarnya, karena ternyata lebih cenderung berupa kewajiban untuk melaksanakan perintah.
Di sisi lain, kewajiban lembaga eksekutif adalah menyusun pertanggungjawaban pada akhir periode atas berbagai program dan kegiatan yang telah disetujui lembaga legislatif. Pertanggungjawaban dimaksud , disamping mencakup kinerja Lembaga Eksekutif dalam mewujudkan program-program kerja yang telah direncanakan (performance responsability), juga mencakup pertanggungjawaban keuangan (financial responsability), yang terdiri dari pertanggungjawaban atas pemungutan dana-dana yang bersumber dari masyarakat dan penggunaan dana tersebut untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang telah direncanakan.
Dengan pola dan mekanisme sebagaimana diuraikan di atas, pembagian peran antara lembaga legislatif dan lembaga eksekutif dalam penyusunan anggaran negara menjadi jelas. Anggaran negara, pada hakekatnya, harus dipersiapkan (disusun) oleh lembaga eksekutif, dan selanjutnya dibahas untuk kemudian disetujui oleh Legislatif.
Pembagian peran antara Lembaga Legislatif dan Lembaga Eksekutif sebagaimana dikemukakan di atas telah memberikan inspirasi bagi lahirnya prinsip transparansi anggaran (fiscal transparency) di era modern. Prinsip tersebut pada intinya antara lain menekankan adanya kejelasan peran antara pihak yang mengusulkan dan pihak yang memutuskan. Antara pengambil keputusan dan pihak pelaksana keputusan.
Selanjutnya, bila dicermati, pola dan mekanisme yang berkembang dalam penyusunan anggaran antara dua lembaga politik tersebut kemudian juga melahirkan berbagai prinsip dasar (golden principles) dalam pengelolaan anggaran negara yang hingga kini masih tetap relevan.
Prinsip-prinsip tersebut adalah prinsip anterioritas, prinsip periodisitas, prinsip spesialitas, prinsip unitas, dan terakhir prinsip universalitas. Prinsip anterioritas atau prinsip prealable menekankan bahwa anggaran negara harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari lembaga legislatif sebelum dilaksanakan. Prinsip anualitas atau prinsip periodisitas menyatakan bahwa anggaran negara harus dilaksanakan dalam suatu periode tertentu yang ditandai dengan titik awal dimulainya anggaran (suatu tanggal tertentu) dan diakhiri pada suatu tanggal tertentu. Prinsip spesialitas menyatakan bahwa anggaran yang ditetapkan oleh lembaga legislatif harus bersifat spesifik, dalam arti bahwa alokasi anggaran yang disediakan hanya diperuntukkan untuk suatu kegiatan yang telah ditetapkan sebagaimana tertuang dalam undang-undang, dan tidak dapat dipergunakan untuk tujuan lain. Prinsip unitas menyatakan bahwa anggaran yang dibahas dan ditetapkan oleh lembaga legislatif bersama lembaga eksekutif harus dituangkan dalam sebuah dokumen tunggal dan berbentuk undang-undang. Prinsip universalitas menyatakan bahwa seluruh penerimaan yang dilakukan oleh negara harus disetorkan ke Kas Negara, dan seluruh pengeluaran harus dibiayai melalui Kas Negara.
Prinsip-prinsip dasar yang kemudian dijadikan sebagai acuan dalam pengelolaan anggaran negara tersebut, bila dicermati, ternyata merupakan pilar pengawasan bagi lembaga legislatif terhadap pelaksanaan kesepakatan dengan pihak eksekutif. Artinya, prinsip-prinsip dasar dimaksud diciptakan untuk memberikan batasan kepada lembaga eksekutif sebagai pelaksana agar tidak menyimpang dari arah dan tujuan yang telah ditetapkan. Sementara itu, bagi lembaga legislatif sendiri, prinsip-prinsip tersebut dijadikan sebagai ukuran dalam melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan kesepakatan maupun kepatuhan lembaga eksekutif terhadap berbagai keputusan lembaga legislatif.
Prinsip-prinsip dimaksud kemudian melahirkan sejumlah ketentuan yang kini dapat ditemukan dalam berbagai pasal dalam ketentuan perundang-undangan terkait dengan pengelolaan anggaran negara. Sebut saja misalnya, adanya larangan untuk tidak boleh melakukan perikatan bila tidak tersedia dana dalam anggaran. Bila diamati, ketentuan ini merupakan penerjemahan lebih lanjut dari prinsip anterioritas. Ataupun misalnya, adanya larangan untuk melakukan pengeluaran negara setelah akhir tahun anggaran yang, pada hakekatnya, mengacu pada prinsip anualitas.
Yang Mulia Ketua dan para Hakim Anggota Majelis Mahkamah Konstitusi dan para hadirin yang saya hormati,
Haruskah lembaga legislatif (DPR) melakukan pembahasan rancangan undang-undang anggaran yang diajukan oleh pemerintah hingga pada substansi yang demikian rinci ? Perlukah ada pembatasan terhadap kewenangan lembaga legislatif dalam pembahasan rancangan undang-undang anggaran ?
Pertanyaan semacam ini selalu muncul ketika masyarakat melihat bahwa Lembaga Legislatif mengajukan berbagai pertanyaan kepada kementrian/ lembaga yang sangat detil, atau bahkan ketika Lembaga Legislatif tidak dapat menepati batas waktu pembahasan yang telah tersedia, sehingga penetapan Undang-undang APBN melampaui batas tanggal yang telah ditetapkan. Akibatnya, sudah dapat diperkirakan, yaitu bahwa pemerintah tidak lagi memiliki waktu yang cukup untuk dapat melaksanakan berbagai kegiatan yang telah tertuang dalam Undang-undang APBN .
Hak lembaga legislatif di bidang keuangan negara, pada prinsipnya, meliputi 2 (dua) aspek. Yaitu, pertama, berupa pemberian persetujuan kepada pemerintah untuk melaksanakan pengeluaran negara dan untuk memungut penerimaan (pajak maupun penerimaan lainnya) yang akan digunakan untuk membiayai pengeluaran yang telah disetujui dalam pembahasan bersama pemerintah; kedua, berupa pemberian kewenangan kepada pemerintah untuk melaksanakan keputusan yang telah ditetapkan.
Aspek pertama, yang kemudian dikenal dengan nama otorisasi parlementer (l’autorisation parlementaire) menampilkan karakteristik yang berbeda di sisi penerimaan dan di sisi pengeluaran negara.
Di bidang penerimaan negara, persetujuan yang diberikan oleh undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara merupakan pemberian kewenangan kepada pemerintah dalam arti sebenarnya, yaitu kewenangan untuk melaksanakan pemungutan penerimaan negara.
Dalam hal ini, sesuai sifatnya, dibedakan antara kewenangan pemungutan penerimaan yang berasal dari pajak dan pemungutan penerimaan yang berasal dari penerimaan bukan pajak. Pemungutan pajak merupakan kewenangan yang bersifat imperatif, karena sebagaimana dipahami bahwa pajak merupakan pungutan yang sifatnya memaksa dan tidak disertai dengan imbalan (tegen prestage). Sementara itu, pemungutan penerimaan bukan pajak dapat dikatakan tidak sepenuhnya merupakan kewenangan yang bersifat imperatif, mengingat pungutan tersebut, dalam beberapa hal, sangat tergantung pada kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah dalam penyediaan layanan kepada masyarakat.
Di sisi pengeluaran, kewenangan yang diberikan oleh undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara kepada pemerintah (dalam hal ini para menteri) pada hakekatnya bukan bersifat imperatif, kecuali untuk beberapa jenis pengeluaran wajib seperti, misalnya: gaji. Artinya, kendati alokasi anggaran untuk suatu kementrian telah ditetapkan oleh lembaga legislatif, menteri keuangan, karena alasan ekonomi (penghematan), dapat saja menetapkan agar sebagian dana kementrian tersebut tidak digunakan.
Terkait dengan makna yang tersirat dalam hak budget tersebut di atas, otorisasi parlementer kepada pemerintah selalu bersifat prealable (mendahulu). Artinya, pemerintah tidak dapat melakukan pengeluaran maupun penerimaan negara tanpa terlebih dahulu memperoleh ijin dari lembaga legislatif yang dituangkan dalam undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara.
Pemikiran inilah yang kemudian melahirkan prinsip anterioritas dalam pengeluaran negara. Dalam kehidupan sehari-hari, prinsip dimaksud selanjutnya mendasari lahirnya berbagai ketentuan dalam pengelolaan keuangan negara, seperti misalnya, larangan bagi semua pihak untuk melakukan pengeluaran bila tidak tersedia alokasi anggaran dalam undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara.
Hak parlemen di bidang keuangan negara, dalam perjalanan sejarahnya telah mengalami perubahan yang sangat signifikan. Pada awal kelahiran hak tersebut, lembaga legislatif memiliki kebebasan yang sangat luas dalam pembahasan dan penetapan anggaran yang diusulkan oleh Pemerintah. Kebebasan tersebut tercermin dalam bentuk kewenangan lembaga legislatif untuk menetapkan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara kapan saja mereka pandang telah siap. Tanpa terikat pada batas waktu.
Para anggota lembaga legislatif berwenang untuk meminta penjelasan dalam bentuk apa pun kepada pemerintah, bila penjelasan dimaksud dipandang akan diperlukan dalam rangka pengambilan keputusan untuk menetapkan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara yang sedang dalam pembahasan. Bahkan, para anggota legislatif dapat saja tidak menyetujui alokasi anggaran yang diusulkan oleh pemerintah, walaupun hal ini akan berakibat terhadap batalnya kegiatan yang telah direncanakan oleh Pemerintah.
Yang Mulia Ketua dan para Hakim Anggota Majelis Mahkamah Konstitusi dan para hadirin yang saya hormati,
Dalam perjalanan sejarah, kebebasan Lembaga Legislatif dalam pembahasan dan penetapan Undang-Undang Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara, secara signifikan telah semakin berkurang. Berbagai keterbatasan (constraints) telah menyebabkan kebebasan lembaga legislatif cenderung mengalami kemerosotan.
Menurut teori, bila diamati, keterbatasan dimaksud dapat dilihat dari tiga hal. Pertama, keterbatasan waktu (time constraint), kedua, keterbatasan kompetensi (competency constraint), dan ketiga, keterbatasan pendidikan (educational constraint).
Dengan mendasarkan pada prinsip periodisitas anggaran -- yang membatasi pelaksanaan anggaran pada umumnya hanya dalam kurun waktu satu tahun --, di satu sisi, dan prinsip anterioritas -- yang menegaskan bahwa pemerintah tidak dapat melakukan tindakan apapun dalam hal pengeluaran negara, kecuali telah ditetapkan dalam undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara --, kini lembaga legislatif berkewajiban memutuskan dan menetapkan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara sesegera mungkin. Yaitu, sebelum tahun anggaran dimulai.
Kewajiban tersebut telah menempatkan Lembaga Legislatif pada posisi yang sangat sulit. Bila rata-rata Lembaga Eksekutif memiliki waktu yang cukup longgar dalam penyusunan kegiatan dan kemudian menuangkannya dalam rancangan anggaran, yaitu kurang lebih sekitar 12 hingga 16 sebelum dokumen rancangan anggaran tersebut disampaikan kepada Lembaga Legislatif untuk dibahas, Lembaga Legislatif hanya memiliki waktu yang relatif lebih pendek, yaitu kurang lebih sekitar tiga bulan.
Kendati para anggota legislatif pada umumnya merasakan bahwa waktu yang disediakan untuk pembahasan terlalu pendek dan menginginkan keleluasaan seperti pada masa-masa lalu, ketertataan dalam jadual penyelenggaraan pemerintahan dan juga pemikiran-pemikiran yang berkembang tentang tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), termasuk dalam hal ini tata kelola keuangan negara, memaksa lembaga legislatif untuk mematuhi jadwal yang telah ditetapkan.
Dari hasil penelitian, jadual pembahasan dan penetapan anggaran di berbagai negara, diatur dalam ketentuan yang berbeda. Di suatu negara ketentuan tentang jadual pembahasan dan penetapan anggaran negara dapat ditetapkan dalam undang-undang dasar, karena pengaturan tersebut merupakan pengaturan hubungan antar lembaga politik, yaitu legislatif dan eksekutif. Namun, di negara lain, termasuk Indonesia, karena dianggap lebih bersifat teknis pembagian waktu, hal tersebut cukup diatur dalam undang-undang. Setiap negara memiliki pertimbangan yang berbeda, tergantung pada situasi dan kondisi politik negara masing-masing.
Keterbatasan lain dalam pembahasan dan penetapan anggaran negara bagi lembaga legislatif adalah keterbatasan kompetensi (competency constraints). Bila time constraints merupakan keterbatasan institusional, keterbatasan kompetensi ini lebih merupakan keterbatasan yang dimiliki oleh para anggota Lembaga Legislatif.
Hal ini tentunya bukan ingin mengatakan bahwa para anggota lembaga yang merupakan representasi rakyat tersebut tidak memiliki kompetensi untuk melakukan pembahasan terhadap program maupun kegiatan yang diusulkan oleh Pemerintah, akan tetapi kompetensi yang dimiliki tidaklah dapat disebandingkan dengan kompetensi para pejabat publik di lingkup Lembaga Eksekutif.
Keterbatasan kompetensi tersebut antara lain disebabkan terutama, karena para anggota legislatif adalah politisi yang tidak (secara intens) berkecimpung dalam bidang-bidang yang menjadi obyek pembahasan di lembaga tersebut. Sangat mungkin terjadi, karena penugasan partainya dalam komisi tertentu, seorang anggota legislatif baru mempelajari substansi yang kebetulan menjadi materi pokok yang harus dibahas dan diputuskan oleh komisi.
Hal itu, tentunya sangat berbeda dengan para pejabat di Lembaga Eksekutif yang pada hakekatnya ditugaskan dan berkecimpung langsung dalam bidang-bidang yang memang merupakan spesialisasinya. Para pejabat di Lembaga Eksekutif memang dipilih dengan latar belakang pendidikan dan keahlian tertentu untuk menangani bidang tugas dalam pemerintahan sesuai dengan keahliannya. Sebut saja misalnya, keahlian di bidang tenaga nuklir, di bidang kedirgantaraan, di bidang kedokteran, di bidang transportasi darat, laut, maupun udara, di bidang konstruksi, di bidang ekonomi, keuangan, perbankan, dlsb. Dan, memang harus diakui, bahwa dalam bidang-bidang seperti itu, para politisi dapat dikatakan sangat awam tentang masalah-masalah yang menjadi tanggungjawab pemerintah.
Selanjutnya, keterbatasan yang juga sering dipermasalahkan pada Lembaga Legislatif adalah keterbatasan di bidang pendidikan (educational constraint). Seperti halnya keterbatasan kompetensi, keterbatasan pendidikan ini juga terkait dengan kemampuan individu para anggota lembaga legislatif. Tentunya, sebagaimana telah dikemukakan di atas, sudah disadari bahwa para anggota Legislatif merupakan politisi yang lebih memfokuskan perhatiannya pada masalah-masalah politik, hukum, maupun ketatanegaraan.
Oleh sebab itu, pendidikan formal para anggota lembaga legislatif seringkali tidak sejalan dengan peran yang diemban para anggota Lembaga Legislatif yang bersangkutan, sehingga tidak menunjang tugas-tugasnya dalam pengambilan keputusan, terutama bila terkait dengan permasalahan teknis operasional yang terjadi di tingkat Eksekutif.
Untuk itu, seringkali para anggota Legislatif memerlukan sejumlah tenaga ahli (pendamping) yang dapat memberikan pertimbangan pada saat harus melakukan analisis terhadap usul yang disampaikan oleh Lembaga Eksekutif.
Yang Mulia Ketua dan para Hakim Anggota Majelis Mahkamah Konstitusi dan para hadirin yang saya hormati,
Pemberian alokasi dana oleh Lembaga Legislatif untuk suatu kegiatan yang diusulkan oleh Lembaga Eksekutif, pada prinsipnya, bersifat definitif. Hal ini untuk menjamin kepastian tindakan/ kegiatan pemerintah dalam menyediakan layanan publik untuk menjamin hak-hak azasi masyarakat.
Namun demikian, pada saat penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, karena alasan yang bersifat teknis, terutama lemahnya informasi dan perencanaan, seringkali Lembaga Eksekutif (Pemerintah) baru dapat menyampaikan rencana kegiatan dalam bentuk global. Tanpa mampu memberikan rincian kegiatan yang lebih detil. Padahal, penetapan anggaran dan penuangannya dalam undang-undang harus segera dilakukan.
Dalam situasi seperti itu, sebenarnya Lembaga Eksekutif telah menempatkan Lembaga Legislatif dalam situasi yang sangat sulit. Untuk mengatasi situasi tersebut kemudian ditempuhlah suatu langkah, yaitu memberikan otorisasi anggaran dalam bentuk alokasi yang bersifat conditional. Artinya, alokasi yang telah dituangkan dalam undang-undang dimaksud baru dapat dilaksanakan oleh pihak Lembaga Eksekutif bilamana kondisi yang dipersyaratkan telah terpenuhi.
Bila diperhatikan, pemberian alokasi semacam ini dapat dipertanggungjawabkan karena, ditinjau :
§
dari
sisi legislatif, pemberian alokasi anggaran ini mengandung sifat restriktif,
sehingga tidak mengurangi kewenangan legislatif untuk melakukan pengawasan,
yaitu dalam bentuk pengendalian agar setiap kementerian melaksanakan anggaran
sesuai rencana sebagaimana diusulkan oleh kementrian yang bersangkutan
kepada Pemerintah (cq. Menteri Keuangan).;
§
di
sisi eksekutif, penyediaan alokasi anggaran ini telah memberikan jaminan
pendanaan, sehingga tidak menghambat rencana kegiatan pemerintah.
Sementara itu, terkait Perubahan Anggaran, dengan memperhatikan dimensi waktu yang demikian panjang yang dibutuhkan oleh Lembaga Legislatif dalam menyusun rencana kerja dan rencana pembiayaannya untuk suatu kurun waktu tertentu sebagaimana disampaikan di bagian awal penjelasan ini, di satu sisi, dan ketidakpastian di masa yang akan datang, di sisi lain, hampir dapat dipastikan bahwa akan terdapat gap antara apa yang direncanakan dan pelaksanaannya. Inilah yang menjadi alasan utama, mengapa dalam siklus pengelolaan anggaran negara selalu terdapat tahapan yang dikenal dengan tahapan penyusunan perubahan anggaran negara.
Terkait dengan
itu, dalam berbagai kepustakaan tentang Hukum Keuangan Negara dikenal
pengertian tentang Anggaran Awal (Budget Initial), Anggaran Perubahan (Budget
Rectivicative), dan Pertanggungjawaban Anggaran (Budget Accountabilite)
sebagai suatu rangkaian pengertian tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara.
Dengan mengacu
pada hal-hal yang dikemukakan di atas, perubahan atas anggaran yang telah
ditetapkan, pada hakekatnya, adalah suatu bentuk koreksi yang harus dilakukan
karena adanya faktor ketidakpastian dalam proses penyusunan anggaran. Faktor
dimaksud seperti misalnya: berbagai asumsi yang digunakan, satuan harga, maupun
hal-hal lain yang mungkin belum diperhitungkan pada saat penyusunan anggaran.
Sesuai
pertimbangan rasional, kecuali terdapat hal-hal yang luar biasa, perubahan
anggaran dilakukan setelah dilaksanakan satu semester. Memang, secara teori,
tidak terdapat pembatasan berapa kali sebuah rencana anggaran dapat dilakukan
perubahan. Namun, semakin sering dilakukan perubahan, akan menunjukkan
rendahnya kualitas perencanaan itu sendiri.
Yang Mulia Ketua dan para Hakim Anggota Majelis Mahkamah
Konstitusi dan para hadirin yang saya hormati,
Penerapan konsep pengelolaan
Keuangan Negara sebagaimana dikemukakan dalam bagian terdahulu di Indonesia
dapat ditelusuri sebagai berikut :
1. Hak Budget dalam UUD 45
Berbeda dengan undang-undang dasar beberapa negara (termasuk
Republik Indonesia Serikat) yang mengatur hubungan politik antara lembaga legislatif
dan eksekutif di bidang keuangan negara secara rinci, Undang Undang Dasar 1945
hanya mengatur masalah tersebut dalam satu ayat, yaitu dalam pasal 23 ayat (1)
yang dituangkan dalam Bab VIII. Hal ini tampaknya terkait dengan pemikiran awal para penyusun
bahwa Undang-Undang Dasar 1945 disusun dalam format yang singkat, akan tetapi
harus bersifat fleksibel.
Oleh sebab itu, kendati Undang-Undang Dasar 1945 hanya mengatur
masalah hubungan politik antara Lembaga Legislatif dan Eksekutif dalam bidang Keuangan
Negara tersebut dalam format yang sangat ringkas, bila diperhatikan, telah
mengandung prinsip dasar utama, yaitu prinsip anterioritas (prealable
principle), yang seharusnya dimiliki Lembaga Legislatif yang intinya berupa
pemberian otorisasi atau kewenangan kepada Lembaga Eksekutif. Prinsip dasar
tersebut terungkap dalam penjelasan pasal 23 ayat (1) yang menyatakan bahwa
kedudukan lembaga legislatif lebih kuat dibandingkan lembaga eksekutif dalam
penetapan anggaran belanja negara.
Pernyataan tersebut, dipandang dari sudut Hukum Keuangan Negara,
pada hakekatnya, memiliki dua makna. Pertama, bahwa pemerintah tidak dapat
melaksanakan rencana anggaran belanjanya sebelum memperoleh persetujuan dari Lembaga
Legislatif yang merupakan wakil rakyat; kedua, bahwa Lembaga Legislatif juga
memiliki kewenangan untuk menerima atau tidak menerima rancangan undang-undang
tentang anggaran pendapatan dan belanja negara yang diusulkan oleh pemerintah.
Bila diperhatikan, pernyataan tersebut tidak lain merupakan
perwujudan dari penerapan prinsip anterioritas sebagaimana dikemukakan dalam
bagian terdahulu dalam konteks Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu,
walaupun secara operasional sulit dilaksanakan dan memberikan penafsiran yang
sangat beragam, pasal 23 ayat (1) tersebut juga menyatakan bahwa bila Lembaga
Legislatif tidak dapat menerima usulan yang diajukan pemerintah, pemerintah
diharuskan menggunakan anggaran tahun yang lalu. Artinya, pemerintah dipaksa
untuk menjalankan program maupun kegiatan yang telah mendapatkan persetujuan Lembaga
Legislatif berikut cara pembiayaannya.
2. Implementasi Hak Budget
Dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara
Sebagai konsekuensi sifat UUD 45 yang singkat, khususnya dalam
pengaturan masalah Keuangan Negara, mengharuskan adanya ketentuan lain yang
tingkatannya lebih rendah yang mengatur secara lebih rinci berbagai prinsip
maupun berbagai aspek dalam masalah tersebut. Disamping itu, tampaknya perlu
pula dipahami bahwa secara prinsip, undang-undang dasar hanya mengatur
ketentuan dasar, dan tidak bersifat operasional. Oleh sebab itulah kemudian
perlu disusun undang-undang yang khusus mengatur tentang pengelolaan Keuangan
Negara, yaitu Undang-undang No.17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.
Menilik dari maksud keberadaannya, Undang-Undang Keuangan Negara
merupakan undang-undang yang mengatur hubungan hukum antara Lembaga Eksekutif dan
Lembaga Legislatif dalam penetapan Undang-Undang Anggaran Pendapatan Dan
Belanja Negara (UU APBN).
Berkaitan dengan itu, substansi pokok yang menjadi obyek
pengaturan undang-undang tersebut adalah hak dan kewajiban kedua belah pihak
dalam penetapan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara.
Sementara itu, perlu diketahui, mengingat sifat Undang-undang
Dasar 45 yang hanya memuat hal-hal yang benar-benar bersifat sangat mendasar,
berbagai prinsip dasar yang seharusnya menjadi muatan substantif undang-undang
dasar menjadi cakupan Undang-undang Keuangan Negara. Prinsip dasar tersebut
yang seringkali disebut dengan golden principles, yang diperlukan Lembaga
Legislatif dalam penetapan anggaran pendapatan dan belanja negara yang pada
hakekatnya merupakan instrumen pengawasan terhadap Lembaga Eksekutif dalam
pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, sebagaimana telah
dikemukakan di muka, yaitu prinsip
anterioritas, prinsip periodisitas, prinsip spesialitas, prinsip unitas, dan
terakhir prinsip universalitas.
Mengenai hak lembaga legislatif dalam penetapan Undang-undang APBN
(Hak Budget lembaga Legislatif), secara khusus Undang-undang Keuangan Negara
menempatkannya dalam Bab III, yaitu tentang Penyusunan dan Penetapan APBN, yang
selanjutnya dirinci dalam pasal 11 sampai dengan pasal 15.
Namun demikian, bila diperhatikan secara seksama, hak budget
lembaga legislatif tersebut hanya terkonsentrasi dalam pasal 15 ayat 1 sampai
dengan 6, yang secara materi meliputi : penyerahan dokumen rancangan UU APBN
oleh pemerintah kepada DPR, pembahasan di DPR, hak DPR untuk mengajukan usul
yang mengakibatkan perubahan jumlah penerimaan dan pengeluaran, pengambilan
keputusan oleh DPR, lingkup keputusan DPR, dan alternatif yang harus dilakukan
oleh Pemerintah bilamana usul Rancangan APBN yang diajukan tidak disetujui oleh
DPR.
Sementara itu, pasal-pasal lainnya berisi hal-hal terkait dengan
persiapan dalam pelaksanaan hak budget DPR, misalnya: tujuan disusunnya APBN,
materi yang harus dimuat dalam APBN, jadwal penyampaian dan pembahasan,
pembicaraan pendahuluan antara pemerintah dengan DPR, dlsb.
3. Pembahasan Pendahuluan
Praktek ketatanegaraan di Indonesia, khususnya di bidang
penyusunan anggaran Negara, boleh dikatakan cukup unik. Praktek ini tidak
terlepas dari historis filosofis bangsa Indonesia yang menginginkan cara hidup
berdemokrasi dengan cara yang berbeda dibandingkan dengan negara
demokrasi di belahan Barat sana.
Kendala waktu (time
constraint), yang secara teori merupakan hambatan
yang tidak terhindarkan dalam pembahasan usulan anggaran di Lembaga Legislatif,
disikapi dengan cara yang sederhana dan penuh kekeluargaan. Yaitu dengan
menciptakan suatu ‘ tahapan antara’ (inter medium) yang dikenal sebagai tahapan
pembahasan pendahuluan.
Dalam tahapan inilah Kementerian/ Lembaga berinteraksi secara
langsung dengan mitra mereka di Lembaga Legislatif, yaitu komisi sektoral, yang
diharapkan mampu menyelaraskan rencana kegiatan atau proyek yang digagas
Kementerian/ Lembaga dengan aspirasi yang berkembang di masyarakat.
Bukan hanya itu, dalam tahapan inilah sebenarnya dibahas rencana
kegiatan dan sekaligus rencana anggaran Kementerian/ Lembaga untuk tahun depan,
dan beberapa tahun berikutnya.
Bila berpijak dari konsep teori, sulit kiranya kita menentukan
apakah tahapan ini merupakan tahapan resmi yang harus dilalui dalam siklus
penyusunan anggaran Negara ataukah tahapan tidak resmi. Pertanyaan lain
yang kiranya mungkin cukup mendasar adalah, apakah tahapan ini merupakan
tahapan administratif ataukah tahapan politis. Inilah yang tidak jelas !
Menurut kenyataan, hal tersebut merupakan suatu praktek yang
dikembangkan dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia yang telah berjalan
demikian lama. Konon, praktek-praktek seperti ini kemudian dinyatakan
sebagai suatu bentuk konvensi kenegaraan yang memiliki kekuatan hukum.
Namun, ditinjau dari aspek Hukum Keuangan Negara, konvensi
tersebut akan menimbulkan ganjalan dan akan tetap menyisakan beberapa
pertanyaan. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, yaitu : apakah tahapan
pembicaraan pendahuluan dimaksud merupakan tahapan administratif ataukah
tahapan politik ? Selanjutnya, apakah keputusan yang dibuat dalam pembicaraan
pendahuluan tersebut mengikat kedua belah pihak ?
Yang Mulia Ketua dan para Hakim Anggota Majelis Mahkamah
Konstitusi dan para hadirin yang saya hormati,
Berbagai pertanyaan tersebut perlu dikemukakan, mengingat setelah selesai
proses interaksi dimaksud, Kementerian/ Lembaga baru akan melaksanakan
pembahasan anggaran dengan Kementerian Keuangan, selaku Penguasa Anggaran
Negara (Budget Authority).
Dus, hal ini menunjukkan bahwa hingga tahapan ini mestinya masih merupakan tahapan
administratif. Dan tentunya, dalam tahapan ini Menteri Keuangan selaku
Pengelola Fiskal (Budget/
Fiscal Authority) memiliki
kewenangan untuk tidak sependapat dengan usulan anggaran suatu
Kementerian/ Lembaga. Kendati usulan tersebut sudah melalui proses pembicaraan
pendahuluan dengan Komisi Sektoral.
Pemikiran semacam itu, tentunya sangat berdasar. Oleh karena, bila
dilihat dari segi teori, tahapan politis penyusunan anggaran Negara baru
benar-benar dimulai ketika pemerintah menyampaikan rancangan undang-undang
APBN, yang di Indonesia dilakukan pada pertengahan bulan Agustus, dan berakhir
pada bulan Oktober setiap tahun.
Dalam periode dua setengah bulan inilah sebenarnya interaksi
antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif terjadi. Pemerintah yang
diwakili oleh Menteri Keuangan, sebagai Pengelola Fiskal, berhadapan dengan
Badan Anggaran (Budget
Committee) yang mewakili
Lembaga legislative untuk membahas dan mengambil keputusan penting tentang
kegiatan apa yang akan dan seharusnya dilakukan oleh eksekutif di masa setahun
mendatang, dan beberapa tahun berikutnya.
Rentang waktu yang relatif pendek yang tersedia, khususnya bagi
lembaga legislatif tersebut, ‘memaksa’ para anggota lembaga (Badan Anggaran)
untuk melakukan pembahasan dari sudut makro strategis terhadap usulan lembaga
eksekutif. Artinya, pembahasan di Lembaga Legislatif tersebut tidak mungkin
menukik hingga ke detil teknis kegiatan atau proyek yang bersifat mikro teknis
dari setiap unsur Lembaga Eksekutif . Atau dengan kata lain, tidak mungkin
dengan waktu yang demikian singkat menelaah Rencana Kerja dan Anggaraan yang
disajikan oleh Kementerian/ Lembaga (RKA-KL).
Namun demikian sebaliknya, waktu yang relatif sempit dimaksud
tidaklah harus menyebabkan hilangnya perhatian para anggota legislatif terhadap
kegiatan-kegiatan strategis nasional yang akan dilaksanakan oleh suatu
kementerian/ lembaga. Artinya, semua kegiatan yang bersifat strategis, dan oleh
karena itu merupakan prioritas nasional, sudah barang tentu menjadi topik yang
hangat dalam pembahasan antara Lembaga Legislatif dan Lembaga Eksekutif.
Ujung dari pembahasan kedua lembaga politik tersebut adalah
pemberian persetujuan lembaga legislatif yang kemudian diformalisasikan dalam
bentuk pengesahan terhadap rancangan undang-undang yang diajukan oleh lembaga
eksekutif. Dalam Hukum Keuangan Negara pengesahan lembaga legislatif ini lebih
umum dikenal sebagai otorisasi parlemen (authorization
parlementaire).
4.
Bintang
Pada Alokasi Anggaran.
Dengan
memperhatikan maksud dan substansi pemberian otorisasi parlemen (alokasi
anggaran) yang bersifat konditional, praktek semacam itu dilakukan pula dalam
sistem pengelolaan anggaran di Indonesia.
Praktek
pemberian alokasi konditional tersebut di Indonesia dilakukan dengan
membubuhkan tanda bintang (asteriks) pada alokasi anggaran yang bersangkutan. Pemberian tanda bintang ini, pada prinsipnya, untuk
memberi perhatian kepada kementrian/lembaga yang bersangkutan bahwa alokasi
anggaran tersebut tidak dapat direalisasikan, kecuali terpenuhi syarat yang
telah ditetapkan pada saat penetapan Undang-undang APBN oleh Lembaga
Legislatif.
Terkait
dengan itu, terdapat kewajiban Pemerintah (cq. Kementerian/ Lembaga yang bersangkutan)
untuk memenuhi segala persyaratan yang telah ditetapkan sebelum alokasi dalam
UU APBN tersebut dapat direalisasikan.
Contoh
konkrit pemberian alokasi konditional antara lain, adalah penyediaan dana dalam
rangka pemekaran suatu daerah yang dipastikan akan dilaksanakan pada tahun
mendatang, yang hingga penetapan anggaran oleh DPR masih dalam tahapan proses
pembahasan.
Beranjak
dari kelemahan sebagaimana dijadikan alasan lahirnya pemikiran tentang
perubahan anggaran seperti diungkapkan di bagian terdahulu, praktek perubahan
anggaran dalam pengelolaan anggaran di Indonesia pun tidak dapat dihindarkan.
Yang Mulia Ketua dan para Hakim Anggota Majelis Mahkamah
Konstitusi dan para hadirin yang saya hormati,
Namun
berbeda dengan ide dasar yang seharusnya dijadikan acuan, praktek di Indonesia
ternyata jauh menyimpang. Berbagai pihak, membuat penafsiran secara
inkontekstual terhadap makna terminologi ‘perubahan’ itu sendiri. Berbagai
pihak tidak menggunakan landasan filosofi maupun konsepsi disiplin Ilmu (Hukum) Keuangan Negara ketika memutuskan
melakukan perubahan terhadap (undang-undang) tentang Anggaran Negara.
Dengan
tanpa mengindahkan maksud dan tujuan perubahan itu sendiri dari sudut filosofi
maupun konsepsi disiplin Ilmu (Hukum)
Keuangan Negara, berbagai pihak berpendapat bahwa perubahan undang-undang
adalah merubah sebagian isi undang-undang itu sendiri. Oleh karena itu, dengan
cara pikir yang salah tersebut perubahan Undang-undang APBN bukan dilakukan
dengan cara mengkoreksi kegiatan yang telah ada, melainkan dilakukan dengan
mengganti kegiatan yang ada dengan kegiatan baru, atau dengan jalan menambahkan
kegiatan yang sama sekali belum pernah ada.
Padahal, dengan memperhatikan maksud perubahan
dan waktu yg tersedia, seharusnya substansi perubahan anggaran yang dilakukan
tidak boleh menyangkut hal-hal baru, melainkan menyangkut hal-hal atau kegiatan
yang sudah ada.
Bukan seperti yang dimaknai selama ini, bahwa
yang dirubah adalah isi undang-undangnya dengan menambahkan berbagai kegiatan
tambahan (baru). Tetapi seharusnya mengoreksi kegiatan yang sudah ada dalam
undang-undang tersebut dengan menggunakan faktor penyesuaian agar dapat
diimplementasikan dan dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Yang Mulia Ketua dan para Hakim Anggota Majelis Mahkamah Konstitusi dan para hadirin yang saya hormati,
Dengan telah disampaikannya
penjelasan konsepsi teoritik dan bagaimana konsepsi dimaksud diterapkan di
Indonesia, perkenankanlah saya menyampaikan pendapat terhadap hal-hal yang
menjadi keberatan dan yang diajukan para Pemohon sebagai berikut:
I. Keberadaan dan Kewenangan Badan Anggaran DPR-RI
Ditinjau dari sudut Hukum Keuangan Negara, Hukum Keuangan Negarasecara
kelembagaan, keberadaan kedua lembaga tersebut dalam pengelolaan Keuangan
Negara di sisi politis, yaitu dalam penyusunan dan penetapan anggaran, sebagai focal
point lembaga perwakilan rakyat
sangat penting. Oleh karena itu, keberadaan
lembaga tersebut menurut undang-undang sudah sesuai dengan kebutuhan. Praktek
yang berkembang yang didorong oleh kepentingan individu (moral hazard), seyogyanya tidak dijadikan pembenaran untuk
melakukan penghapusan lembaga itu sendiri. Namun demikian, berbagai ketentuan
terkait yang dilatarbelakangi kepentingan individu (moral hazard) seharusnya dihapuskan.
Hal lain terkait hak budget DPR yang justru selalu memicu
perdebatan internal antara Badan Anggaran dan Komisi Sektoral adalah kewenangan
lembaga legislatif untuk dapat mengajukan usul yang dapat mengakibatkan
perubahan jumlah penerimaan maupun pengeluaran dalam RUU APBN terkait dengan
pembahasan program/ kegiatan bersama kementrian/ lembaga.
Dua hal perlu diperhatikan oleh para anggota DPR dalam masalah
ini, yaitu: pertama, perlu dipertimbangkan secara hati-hati bahwa setiap usul
perubahan yang berakibat menambah pengeluaran negara, harus diimbangi dengan
usul peningkatan penerimaan di sisi lain agar tidak mengganggu kegiatan lainnya
yang telah disusun berdasarkan urutan prioritas; kedua, bahwa usul pendanaan
dimaksud harus tidak dilakukan melalui peningkatan penerimaan dari sektor
perpajakan yang nantinya justru meningkatkan beban masyarakat.
Demikian pula sebaliknya, dengan usul penurunan pendapatan yang
nantinya justru akan berakibat terhadap tidak terlaksananya kegiatan yang telah
direncanakan. Oleh karena itu, di beberapa negara, kewenangan lembaga legislatif
untuk melakukan perubahan terhadap rancangan undang-undang anggaran pendapatan
dan belanja negara yang diajukan oleh pemerintah dibatasi dengan menetapkan
syarat-syarat tertentu.
Dalam hal ini, bila diamati, Indonesia memberikan
keleluasaan tanpa batas kepada (para anggota) lembaga legislatif tanpa
memperhatikan bahwa dana yang dapat dihimpun oleh pemerintah adalah sangat
terbatas (scarce), dan kegiatan-kegiatan tertentu masuk dalam skala
prioritas yang tinggi. Mengacu pada pernyataan bahwa kedudukan DPR
adalah lebih kuat dari pemerintah, kendati dengan penafsiran yang kurang
tepat, pemerintah adalah pihak yang selalu berada pada posisi yang kalah, dan
segala perhitungan yang didasarkan pada berbagai pertimbangan rasio-logikal
dapat saja tidak memiliki arti signifikan berhadapan dengan para anggota Dewan.
Sementara itu, perdebatan internal antara Badan Anggaran dan
Komisi Sektoral terkait dengan usul yang dapat mengakibatkan perubahan jumlah
penerimaan maupun jumlah pengeluaran yang pada hakekatnya mempermasalahkan
kewenangan di antara keduanya, seharusnya tidak terjadi bila konsep dasar
kelembagaan dan kedudukan masing-masing pihak dipahami.
II. Kewenangan
DPR untuk Membahas APBN secara terperinci (“Satuan 3”)
Pada kesempatan ini perlu disampaikan bahwa persetujuan
Lembaga Legislatif (DPR)
terhadap APBN harus dalam
format yang cukup rinci. Hal ini didasarkan pada prinsip
spesialitas anggaran, yang pada hakekatnya memudahkan lembaga legislatif untuk
mengawasi/ mengendalikan Pemerintah agar tidak melakukan penyimpangan terhadap pengunaan
alokasi anggaran.
Rinci
atau tidaknya penetapan anggaran memang sangat tergantung pada kebutuhan dan
kultur masing-masing negara. Namun, sebagai gambaran (clue) dapat
dikemukakan bahwa efektifitas pengawasan Lembaga Legislatif terhadap anggaran pendapatan
dan belanja negara berbanding terbalik dengan rinci-tidaknya anggaran yang
ditetapkannya.
Artinya,
semakin rinci anggaran ditetapkan, akan
semakin efektif dan mudah bagi DPR untuk melakukan pengawasan. Dan semakin
sulit lembaga eksekutif melakukan penyimpangan terhadap peretujuan yang telah
diberikan.
Sebaliknya,
bila alokasi anggaran diberikan tidak cukup rinci atau bahkan dalam bentuk
global, akan semakin sulit aspek pengawasan yang dilakukan oleh Lembaga
Legislatif. Pemberian alokasi yang bersifat tidak rinci, akan memberikan
kemungkinan bagi Lembaga Eksekutif untuk melakukan penyimpangan terhadap
persetujuan yang telah diberikan oleh Lembaga Legislatif, karena berbagai
penafsiran.
Pemberian
persetujuan yang tidak rinci seolah-olah dapat diibaratkan bahwa Lembaga
Legislatif memberikan Cek kosong (blanc
cheque) kepada pihak Lembaga Eksekutif.
Namun demikian, ketentuan dalam pasal 15 ayat (6) Undang-undang
Keuangan Negara yang menyatakan bahwa ‘APBN yang disetujui oleh DPR terinci
sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis
belanja’ tidaklah harus disambut dengan eforia yang berlebihan oleh
para anggota DPR.
Dua hal perlu diperhatikan dalam masalah ini. Pertama, dari sudut
kelembagaan, bahwa DPR merupakan lembaga pengambil kebijakan (policy
making institution), bukan lembaga pelaksana (executing
institution). Oleh karena itu, lembaga tersebut harus memiliki kemampuan
mengambil keputusan yang bersifat makro-strategis. Untuk itu, lembaga tersebut
harus didukung oleh para anggota yang mampu berfikir konsepsional dan
bersifat makro-strategis. Kedua, dari sudut individu, bahwa dengan mengacu
keterbatasan (constraint) para anggota DPR sebagaimana
dikemukakan di atas, para anggota DPR bukanlah individu-individu yang memiliki
kemampuan pemikiran yang bersifat mikro-teknis sebagaimana layaknya para
pejabat di lembaga eksekutif.
Praktek yang selama ini dilakukan oleh para anggota DPR di
berbagai Komisi Sektoral yang membahas rancangan anggaran kementrian/ lembaga
hingga rincian yang paling detil, yaitu proyek maupun kegiatan, layaknya
para budgeter (pejabat penyusun anggaran) adalah eforia yang
selayaknya harus segera dihentikan. Eforia tersebut tampaknya bersumber dari
ketidakpahaman yang dikombinasikan dengan kepentingan masing-masing individu
ataupun fraksi dalam lembaga legislatif.
III. Perbintangan/ Pemblokiran
Anggaran
Dari sudut konsepsi, langkah yang dilakukan Lembaga Legislatif
justru memberikan kemudahan dan jaminan pendanaan terhadap kegiatan Pemerintah,
yang karena satu dan lain hal belum secara konkrit dituangkan dalam keputusan.
Ditiadakannya langkah pemberian tanda bintang terhadap alokasi anggaran, dalam
keadaan tertentu, justru dapat menimbulkan hambatan program kerja Lembaga
Eksekutif.
IV. Proses
dan Ruang Lingkup Pembahasan APBN-P
Dari sudut konsep teoritik, perubahan
terhadap anggaran yang telah ditetapkan bersama antara lembaga eksekutif dan
lembaga legislatif merupakan suatu hal umum terjadi. Bahkan akan selalu
terjadi. Dalam kaitan ini, yang perlu dilakukan adalah membatasi substansi
perubahan itu sendiri dengan mengembalikan pada makna yang terkandung dalam
gagasan untuk melakukan perubahan tersebut.
Yang Mulia Ketua dan para Hakim Anggota Majelis Mahkamah
Konstitusi dan para hadirin yang saya hormati,
Untuk mengakhiri uraian penjelasan dan pendapat pada kesempatan
ini, perkenankanlah saya menyampaikan sepatah dua patah kata sebagai penutup
yang akan saya rangkum dalam kesimpulan dan saran.
Bahwa pengaturan hal-hal dalam ketentuan Undang-undang, khususnya
Undang-Undang Keuangan Negara, yang dimohonkan oleh para Pemohon untuk
di-review Mahkamah Konstitusi sebagaimana tersebut di atas telah didasarkan
pada historis-filosofis yang mendasari konsepsi Hukum Keuangan Negara yang
sejalan dengan kaidah yang tertuang dalam hukum dasar, yaitu Undang-Undang
Dasar 45. Dengan demikian, pengaturan dimaksud
tidak mengandung kesalahan, sehingga tidak perlu dilakukan perubahan.
Namun demikian, pelaksanaan ketentuan tersebut dalam praktek, yang
didasarkan pada penafsiran yang kurang tepat, perlu dilakukan perbaikan agar
tidak menimbulkan moral hazard yang didasari pada kepentingan individu
penguasa/ kelompok.
Dengan
mengacu pada kesimpulan dimaksud disampaikan saran sebagai berikut :
1.
Disusun ketetapan agar DPR sebagai Lembaga
Legislatif lebih memfocuskan pada pemikiran yang bersifat makro-strategis dalam
penyusunan dan penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
2.
Pembahasan APBN hanya terbatas pada capaian
di tingkat fungsi dan kelembagaan (Kementerian).
3.
Rincian yang tertuang dalam RKAK/L yang
memuat kegiatan dan alokasi anggaran yang sangat rinci, agar digunakan sebagai
alat uji atau justifikasi, bilamana memang diperlukan.
4.
Lingkup perubahan APBN yang nantinya
dituangkan dalam UU APBN-P agar dibatasi kegiatan yang telah ada dan telah
dituangkan dalam UU APBN.
Majelis
Hakim Yang Mulia, demikianlah keterangan saya. Semoga keterangan ini dapat memberikan manfaat yang
sebesar-besarnya dan dapat menjadi masukan serta pertimbangan bagi Para Yang Mulia dalam
memeriksa, mengadili, dan memutus sengketa kewenangan antara Para Pemohon dan
Para Termohon dengan seadil-adilnya.
Wassalam mualaikum wr wb.
*
* *
No comments:
Post a Comment