Tinjauan Kerugian Negara dari sudut
Undang-Undang Keuangan Negara dalam Penyelesaian Kasus Korupsi [1]
INTRODUKSI
Mengapa kasus korupsi harus selalu dikaitkan dengan terjadinya kerugian Negara ? Apakah tanpa didukung oleh adanya bukti bahwa telah terjadi kerugian negara, suatu kasus tidak dapat dinyatakan sebagai kasus korupsi ?
Pertanyaan tersebut diajukan oleh seorang peserta, yang kebetulan seorang penegak hukum, dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Palangka Raya beberapa waktu lalu.
Ketika menghadapi pertanyaan seperti itu, terdapat dua kesan yang mungkin terkilas dalam pemikiran kita. Pertama, pertanyaan dimaksud diajukan oleh orang yang tidak memahami konteks korupsi sebagai suatu kasus, terutama dengan memperhatikan definisi korupsi. Kedua, pertanyaan dimaksud justru diajukan oleh seseorang dengan pemikiran yang jauh ke depan. Artinya, pemikiran yang mendorong agar semua pihak tidak sekedar membatasi diri pada doktrin bahwa terjadinya korupsi hanya akan dikaitkan dengan terjadinya kerugian negara ?
Bila diperhatikan, sebenarnya hal tersebut adalah ajakan untuk berpikir dalam konteks yang lebih luas. Memang, semua itu sangat tergantung pada semua pihak, terutama ketika melihat kenyataan dalam masyarakat. Apakah akan menerapkan suatu definisi secara sempit, ataukah akan memperluas pengertian yang ada pada definisi tersebut untuk mengakomodasi kepentingan yang dianggap sangat penting yang berkembang di masyarakat.
KERUGIAN NEGARA SEBAGAI UNSUR KORUPSI
Dalam suatu kepustakaan tentang Pengelolaan Keuangan Negara, seorang ahli menyatakan bahwa … corruption is a mis-used of public fund…
Dari pernyataan tersebut terdapat dua unsur yang dapat digunakan sebagai acuan dalam mendefinisikan korupsi. Pertama adalah adanya public fund; kedua adalah adanya suatu keadaan/ akibat, yaitu mis-used. Dalam kaitan ini, yang dimaksud dengan publik fund adalah anggaran negara. Bukan ‘dana masyarakat’ sebagaimana berbagai pihak mengartikannya. Hal ini terkait dengan kedalaman makna dan akibat yang diderita oleh negara sebagai penanggungjawab kepentingan rakyat. Sedangkan kata ‘mis-used’ kemudian dapat diartikan secara harafiah dengan penggunaan ‘secara salah’ yang kemudian dipertajam menjadi istilah ‘abuse’.
Dalam kepustakaan lain, yang diterbitkan pada awal kemerdekaan terkait dengan pengelolaan anggaran negara, dikutipkan pasal 74 Indische Comptabiliteits Wet (ICW) yang berbunyi sebagai berikut :
" semua pegawai negeri, yang dalam jabatannya dan dengan tidak komptabel untuk itu, oleh karena perbuatan2 yang bertentangan dengan hukum atau oleh karena melalaikan kewajiban yang harus dipenuhinya, langsung atau tidak langsung merugikan negara, adalah berkewajiban untuk mengganti kerugian itu “.
Dari pernyataan tersebut di atas tampak dengan jelas bahwa perbuatan melawan hukum yang merugikan negara terjadi dalam pengelolaan anggaran negara. Dus, dengan demikian, dari kedua pernyataan di atas, dapat ditarik sebuah simpulan bahwa korupsi selalu dikaitkan dengan ketersediaan dana dalam anggaran negara, yang kemudian dipergunakan secara tidak sesuai dengan ketentuan.
Bila demikian halnya, korupsi hanya dapat terjadi dalam lingkup pelaksanaan anggaran negara. Atau, secara spesifik dalam bahasa Hukum Keuangan Negara, terjadi pada sisi Administratif dalam pengelolaan Keuangan Negara. Bukan pada sisi Politis pengelolaan Keuangan Negara. Yaitu, pada sisi ketika terjadi interaksi antara dua lembaga politis,--eksekutif dan legislatif--, dalam rangka penyusunan dan penetapan anggaran dan belanja negara
.
Terkait dengan pengertian kerugian Negara tersebut, Undang-undang bidang Keuangan Negara, khususnya Undang-undang No.1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, menuangkan dalam suatu definisi yang kurang lebih berupa berkurangnya asset/ kekayaan Negara karena suatu perbuatan melanggar/ melawan hukum, lalai, ataupun karena force majeur.
Dalam kaitan dengan rumusan di atas, terdapat alternatif penyebab berkurangnya asset/ kekayaan Negara. Pertama, berkurangnya asset/ kekayaan ini dapat terjadi karena uang yang seharusnya disetor, tidak disetor ke Kas Negara; atau karena kekayaan yang seharusnya menjadi milik Negara, beralih menjadi milik pihak lain. Kedua, berkurangnya asset dapat pula terjadi, karena uang atau asset yang sudah menjadi milik/ hak Negara terlepas dari kepemilikan Negara.
Dalam perspektif kerugian Negara, kejadian berkurangnya asset tersebut di atas selalu dikaitkan dengan suatu perbuatan melanggar/ melawan hukum para pengelola keuangan Negara, atau karena kelalaian mereka. Di luar perbuatan para pengelola keuangan Negara, kerugian Negara dapat pula terjadi karena berbagai sebab di luar kemampuan para pengelola.
Bila dicermati, kerugian Negara secara substansi adalah ekspresi atau perwujudan terjadinya selisih kurang. Yaitu, selisih kurang pada aset Negara dalam suatu pertanggungjawaban para pengelola keuangan Negara. Sementara itu, selisih kurang itu sendiri terjadi karena catatan dalam pembukuan aset tersebut ternyata lebih besar dibandingkan dengan keadaan nyata aset itu sendiri.
MENGAPA HARUS DARI SUDUT PANDANG HUKUM KEUANGAN NEGARA ?
Dalam berbagai kesempatan diskusi, pertanyaan seperti di atas selalu hangat diperdebatkan. Para ahli hukum cenderung berpendapat bahwa masalah korupsi adalah masalah terkait dengan lingkup hukum pidana. Sementara itu, demi untuk mencari kebenaran, para ahli hukum selalu menekankan bahwa tidak ada satu ketentuan pun yang mengharuskan terfokus pada satu sudut pandang.
Padahal, sebenarnya harus dipahami oleh semua pihak – tentunya termasuk para ahli hukum – bahwa masalah terjadinya perbuatan melawan hukum dan akibatnya (kerugian negara) berada di ranah Hukum Keuangan Negara yang memiliki kaidah tersendiri. Dikaitkannya masalah yang terjadi dalam pengelolaan keuangan negara ke dalam ranah hukum, baik perdata maupun pidana, adalah masalah lain.
Oleh karena itu, sesuai dengan azas proporsionalitas, sudah selayaknya bahwa masalah-masalah yang terkait dengan Keuangan Negara harus ditinjau dan dianalisis dari sudut pandang Hukum Keuangan Negara.
Disamping itu, penggunaan sudut pandang dari disiplin ilmu lain, disamping akan menimbulkan efek tidak fokus atau bahkan bias, justru akan dapat berakibat pada hilangnya arti kebenaran dari permasalahan yang dibahas itu sendiri.
Sebagai contoh dapat dikemukakan di sini suatu kasus yang pernah terjadi, yaitu tentang penempatan uang APBD pada Bank Perkreditan Rakyat (BPR) oleh seorang Bupati (Kepala Daerah). Oleh karena suatu alasan tertentu, BPR tersebut secara hukum dinyatakan pailit. Apakah keadaan pailitnya BPR tersebut telah menimbulkan kerugian Negara/ Daerah ? Bagaimana hal tersebut dilihat dari berbagai sudut pandang ? Ini adalah sebuah kasus nyata yang dapat dijadikan contoh yang sangat baik (excelence example).
Seorang ahli Hukum Administrasi Negara yang dihadirkan oleh pengacara, menjelaskan dalam persidangan bahwa keputusan Bupati tersebut ditinjau dari sudut hukum Administrasi Negara, khususnya terkait dengan kewenangan Kepala Daerah tidak ada yang salah. Menurut si Ahli, hal tersebut bahkan dapat dibaca dengan jelas dalam salah satu pasal dalam Undang-undang Perbendaharaan Negara yang menyatakan bahwa penempatan uang Daerah di Bank merupakan kewenangan Kepala Daerah. Tambahan lagi tindakan dimaksud sudah sejalan dengan hak dan kewenangan seorang Kepala Daerah menurut ketentuan.
Belum lagi ditambah dengan kebijakan yang dilakukan yang sejalan dengan tugas dan fungsinya selaku Kepala Daerah dalam bentuk keputusan Bupati yang konon begitu populis. Yaitu dengan cara mendedikasikan hasil bunga yang diperoleh untuk tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya di bidang pendidikan. Itu sebabnya keputusan Bupati tersebut, ditinjau dari sudut Hukum Administrasi Negara, ketika menempatkan uang di BPR adalah sah, dan sama sekali tidak mengandung kesalahan. Bila demikian halnya, mengapa harus dipidanakan ?
Sementara itu, seorang ahli ekonomi dan juga ahli perbankan yang dihadirkan memberikan analisis yang hampir serupa dari sudut disiplin ilmunya masing-masing. Singkatnya, menurut sudut pandang ilmu ekonomi dan juga ilmu perbankan, bahwa penempatan uang Daerah di BPR yang kemudian dinyatakan pailit, belum atau tidak mengakibatkan kerugian Daerah.
Ditinjau dari sudut pandang kedua disiplin ilmu tersebut, kejadian itu hanya merubah bentuk aset Negara/ Daerah, yaitu dari bentuknya yang semula berupa uang kas menjadi piutang. Namun, peristiwa kepailitan itu sendiri tidak mengakibatkan hilangnya aset negara yang kemudian menimbulkan kerugian Negara/ Daerah. Pandangan tersebut bahkan memperoleh penguatan dari sudut hukum perdata dengan adanya privilege terhadap Negara. Artinya, bahwa dengan hak privelege tersebut Negara akan mendapatkan pembayaran terlebih dahulu dibandingkan kreditor-kreditor lainnya.
Sedangkan, ditinjau dari sudut disiplin ilmu Akuntansi, kerugian negara/ daerah, dengan mengacu pada konsep keuangan negara, berkurangnya aset/ uang negara dari kepemilikan negara/ daerah harus ditunjukkan dengan dihapuskannya aset itu sendiri dari pembukuan negara/ daerah. Oleh karena itu, sepanjang aset tersebut masih tercantum dalam neraca pemerintah/ daftar inventaris, dapat dinyatakan bahwa aset tersebut tidak berkurang.
Bila dicermati, dari sudut pandang tersebut terdapat dua alasan saling terkait yang dikemukakan. Pertama, uang dimaksud belum benar-benar hilang dan masih tercatat dalam pembukuan sebagai asset yang masih dapat ditagih. Kedua, Pemerintah akan memperoleh hak privelege (hak mendahulu) dalam pelaksanaan tindak lanjut kepailitan Artinya, utang kepada pemerintah akan diselesaikan terlebih dahulu sebelum utang-utang lainnya.
Mendahulukan hak atau kepentingan Negara adalah kewajiban semua pihak. Dan, ini dapat dibaca dalam berbagai ketentuan perundang-undangan. Tidak terkecuali perundang-undangan di bidang pengelolaan keuangan Negara.
Nah, ini adalah sebuah bangunan pernyataan yang tersusun rapi yang didasarkan dari sudut pandang disiplin ilmu di luar disiplin Ilmu Hukum Keuangan Negara. Para Ahli yang dihadirkan, bila diperhatikan, telah menyampaikan pandangan atas dasar keahlian yang dimilikinya. Dan, secara akademis, pandangan tersebut dapat diuji kebenarannya. Artinya, mereka telah menyampaikan pendapatnya sebenar-benarnya, tiada lain kecuali yang benar. Persis seperti sumpah yang mereka ucapkan di awal persidangan.
Padahal, pandangan dari sudut Hukum Keuangan Negara membuktikan hal yang lain yang secara substansi berlawanan. Dengan mendasarkan pada prinsip-prinsip anterioritas, anualitas, dan spesialitas, alokasi anggaran yang dipersiapkan untuk tujuan sebagaimana dituangkan dalam APBD, jelas telah kehilangan manfaat yang sudah ditetapkan. Dari sudut pandang Hukum Keuangan Negara, hilangnya aset (dalam hal ini, uang) Daerah tersebut, secara nyata dapat dilihat dari ketidakmampuan Pemerintah merealisasikan/ membiayai kegiatan yang telah direncanakan dan dituangkan dalam APBD, karena ketidaktersediaan pendanaan.
KEUANGAN NEGARA SEBAGAI PERSPEKTIF
Sebagai sebuah perspektif, Keuangan Negara mendasarkan dirinya pada suatu pernyataan yang kemudian dijadikan kata kunci (key word), yaitu bahwa yang dimaksud dengan Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinyatakan dalam bentuk uang.
Pernyataan dimaksud, bila dicermati, mengandung empat unsur, yaitu: subyek (SIAPA), obyek (APA), tujuan (UNTUK APA), dan tata kelola (BAGAIMANA). Artinya, bila Keuangan Negara akan digunakan sebagai suatu perspektif dalam melakukan analisis terhadap suatu kasus tindak pidana korupsi, empat unsur dimaksud harus dijadikan acuan secara keseluruhan.
Sebagaimana dituangkan dalam Undang-undang No. 17 Tahun 2004 Tentang Keuangan Negara, subyek yang melakukan pengelolaan keuangan negara adalah Pemerintah. Namun demikian, siapa sebenarnya yang dimaksud dengan Pemerintah ? Apakah Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, atau semua instansi dengan karakter pemerintah ? Bagaimana dengan BUMN, BUMD, BHMN, atau yang sejenisnya. Semua itu harus mampu dijawab dengan jelas sebelum suatu keputusan benar-benar diambil.
Undang-undang Keuangan Negara membedakan Pemerintah sebagai Otoritas dan Pemerintah sebagai Individu. Peran Pemerintah sebagai Otoritas direpresentasikan oleh Kementerian/ Lembaga. Sedangkan peran Pemerintah sebagai Individu direpresentasikan oleh BUMN.
Dari pemikiran inilah kemudian lahir terminologi Kekayaan Negara Yang Tidak Dipisahkan, yang artinya dikelola oleh Kementerian/ Lembaga, dan Kekayaan Negara Yang Dipisahkan yang berarti kekayaan yang dikelola oleh BUMN atau lembaga sejenisnya.
Unsur yang mempertanyakan tentang APA, yang merupakan obyek Keuangan Negara yang dikelola oleh subyek (Pemerintah) baik dalam perannya selaku Otoritas maupun sebagai Individu pada hakekatnya tidak berbeda. Yaitu: semua hak (aset) dan kewajiban (liability) yang merupakan semua unsur yang ada dalam Neraca.
Sedangkan motif atau tujuan kegiatan Pemerintah terlihat dengan jelas terkait dengan perannya. Artinya, ketika Pemerintah merupakan Otoritas fokus kegiatannya terarah pada penyediaan layanan yang dibutuhkan oleh masyarakat luas (public service). Oleh sebab itu, semua kegiatan kementerian/ lembaga bila dicermati merupakan cerminan usaha pemerintah dalam menyediakan layanan kepada masyarakat. Dan yang perlu diperhatikan adalah bahwa penyediaan layanan tersebut, pada prinsipnya tidak dipungut bayaran, karena dibiayai melalui sektor perpajakan.
Hal tersebut berbeda ketika Pemerintah berperan sebagai Individu. Sebagaimana layaknya individu, Pemerintah, yang dalam hal ini direpresentasikan oleh BUMN, lebih memfokuskan dirinya untuk mencari keuntungan (profit oriented).
Unsur yang terakhir terkait dengan tata kelola. Dalam hal ini ketika Pemerintah berperan sebagai Otoritas, pengelolaan obyek untuk mencapai tujuan yang telah ditetpkan dilakukan melalui sistem APBN. Sedangkan dalam perannya selaku Individu, pengelolaan obyeknya tidak dilakukan melalui sistem APBN, melainkan melalui suatu sistem sebagaimana layaknya individu/ korporasi pada umumnya.
Dalam kaitan ini, yang perlu diperhatikan adalah bahwa pengertian dikelola melalui sistem APBN adalah dikelola dengan melibatkan dua lembaga politik negara (eksekutif dan legislatif), dituangkan dalam dokumen politik (UU APBN), serta dilaksanakan menurut kaidah baku dalam pengelolaan keuangan negara.
Pengujian dengan menggunakan unsur dimaksud, akan dapat diperoleh kepastian apakah suatu kasus merupakan kasus yang merugikan negara, dus merupakan kasus korupsi, ataukah merupakan kasus pidana biasa.
Kerugian yang diderita oleh Negara dalam perannya selaku otoritas akan memiliki dampak langsung yang sangat luas, yaitu kepada rakyat. Misalnya, tindakan dalam menggelapkan dana-dana yang ditujukan untuk kepentingan pertahanan dan keamanan, pendidikan, kesehatan, dlsb yang pada hakekatnya dikelola oleh kementrian/ lembaga akan menurunkan kemampuan pemerintah dalam memberikan layanan kepada masyarakat yang secara langsung akan berakibat terhadap penderitaan masyarakat. Pemikiran inilah yang kemudian dijadikan alas dalam penindakan kasus penggelapan atas asset Negara yang kemudian lebih dikenal sebagai kasus korupsi.
Yang menarik adalah bila kasus kerugian terjadi dalam pengelolaan kekayaan Negara yang dipisahkan (BUMN). Kerugian Pemerintah dalam perannya selaku Individu tersebut tidak selalu merupakan kerugian Negara sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-undang Keuangan Negara. Kerugian dalam pengelolaan kekayaan Negara yang dipisahkan harus dipandang sebagai suatu akibat tindakan professional dalam mencapai tujuan, yaitu mencari keuntungan.
Oleh karena itu, kerugian yang terjadi dalam pengelolaan kekayaan Negara yang dipisahkan akan merugikan individu, yaitu perusahaan yang kebetulan pemiliknya adalah Negara. Kerugian dimaksud akan menurunkan kemampuan usahanya dalam mencari keuntungan. Penilaian terhadap tindakan yang merugikan dimaksud harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip profesionalitas yang berlaku.
Namun demikian, kerugian yang terjadi dalam pengelolaan kekayaan Negara yang dipisahkan dapat merupakan kerugian Negara sebagaimana dimaksudkan oleh Undang-undang Keuangan Negara. Yaitu, bilamana kerugian dimaksud terjadi bukan karena keputusan atau kebijakan dalam pelaksanakan tujuan, melainkan karena tindakan melawan hukum lain, misalnya karena kecurangan dan kelalaian dalam pengelolaan keuangan (financial fraude), termasuk pengelolaan asset yang dapat dinilai dengan uang.
BAGAIMANA MENGHITUNG KERUGIAN NEGARA ?
Dari perspektif Keuangan Negara, penghitungan kerugian dilakukan dengan cara yang sangat sederhana. Beranjak dari sifat kerugian negara yang nyata dan pasti, perhitungan kerugian negara dibuat atas dasar berkurangnya aset negara.
Berkurangnya aset tersebut dapat terjadi antara lain karena uang yang seharusnya disetor, tidak disetor; kekayaan yang seharusnya menjadi milik Negara, tidak menjadi milik Negara; atau dapat juga antara lain, karena uang yang berada di kas Negara berkurang secara melanggar/ melawan hukum; atau aset yang menjadi milik Negara terlepas dari kepemilikan Negara secara melanggar/ melawan hukum.
Sifat nyata dan pasti dari kerugian negara dimaksud mengharuskan perhitungan dilakukan dengan menggunakan real cost based. Oleh karena itu, perhitungan kerugian negara tidak dilakukan dengan menggunakan asumsi yang berujung pada diperolehnya jumlah kerugian atas dasar opportunity.
Satu hal lain yang juga sngat penting dalam masalah penghitungan kerugian negara adalah penerapan azas manfaat. Seringkali azas tersebut tidak digunakan sebagaimana mestinya, sehingga menghasilkan perhitungan yang bias. Dalam konteks keuangan negara, penggunaan azas manfaat selalu dikaitkan dengan tujuan yang hendak dicapai ketika suatu alokasi ditetapkan dalam UU APBN. Jadi bukan karena pertimbangan bahwa pada kenyataannya barang atau jasa telah diberikan oleh rekanan, walaupun tidak sesuai dengan tujuan pengalokasian dana dalam APBN.
Lampung, 20 Maret 2013.
*
* *
[1] Disampaikan dalam diskusi panel bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Mahkamah Agung (MA) dalam Seminar yang bertajuk ‘TIPIKOR DAN KERUGIAN NEGARA DALAM PERSPEKTIF KEUANGAN NEGARA’ yang diselenggarakan oleh Kementerian Keuangan, Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Kanwil Propinsi Lampung pada tanggal 20 Maret 2013 di Sheraton Hotel, Bandar Lampung.
No comments:
Post a Comment