KASUS
HAMBALANG : Sebuah Cerita Tentang Kacang Panjang Dan Kacang Pendek (Intermezzo)
( lanjutan ……)
KESEPAKATAN POLITIS
Praktek ketatanegaraan di Indonesia,
khususnya di bidang penyusunan anggaran Negara, boleh dikatakan cukup unik.
Praktek ini tidak terlepas dari historis filosofis bangsa Indonesia yang
menginginkan cara hidup berdemokrasi dengan
cara yang berbeda dibandingkan dengan Negara demokrasi di belahan Barat sana.
Kendala waktu (time constraint), yang secara
teori merupakan hambatan yang tidak
terhindarkan dalam pembahasan usulan anggaran di lembaga legislatif, disikapi
dengan cara yang sederhana dan penuh kekeluargaan. Yaitu dengan menciptakan
suatu ‘ tahapan antara’ (inter medium) yang
dikenal sebagai tahapan pembahasan pendahuluan.
Dalam tahapan inilah Kementerian/
Lembaga berinteraksi secara langsung dengan mitra mereka di lembaga legislatif.
Yaitu, komisi sektoral yang diharapkan mampu menyelaraskan rencana kegiatan
atau proyek yang digagas Kementerian/ Lembaga dengan aspirasi yang berkembang
di masyarakat. Bukan hanya itu, dalam tahapan inilah sebenarnya dibahas rencana
kegiatan dan sekaligus rencana anggaran Kementerian/ Lembaga untuk tahun depan,
dan beberapa tahun berikutnya.
Bila berpijak dari konsep teori, sulit
kiranya kita menentukan apakah tahapan ini merupakan tahapan resmi yang harus
dilalui dalam siklus penyusunan anggaran Negara ataukah tahapan tidak
resmi. Pertanyaan lain yang kiranya mungkin
cukup mendasar adalah, apakah tahapan
ini merupakan tahapan administratif ataukah tahapan politis. Inilah yang tidak
jelas !
Menurut kenyataan, hal tersebut
merupakan suatu praktek yang dikembangkan dalam sistem ketatanegaraan di
Indonesia yang telah berjalan demikian lama. Konon, praktek-praktek seperti ini
kemudian dinyatakan sebagai suatu bentuk
konvensi kenegaraan yang memiliki kekuatan hukum.
Terkait dengan itu, kalau para ahli
hukum –-khususnya Hukum Tata Negara—sudah menyatakan bahwa praktek tersebut sah
dan tidak perlu lagi dipermasalahkan, tentu orang awam akan serta merta meng-amini.
Namun, ditinjau dari aspek Hukum
Keuangan Negara, konvensi tersebut akan menimbulkan ganjalan dan akan tetap menyisakan
beberapa pertanyaan. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, yaitu : apakah
tahapan pembicaraan pendahuluan dimaksud merupakan tahapan administratif
ataukah tahapan politik ? Selanjutnya, apakah keputusan yang dibuat dalam
pembicaraan pendahuluan tersebut mengikat kedua belah pihak ?
Berbagai pertanyaan tersebut perlu
dikemukakan, mengingat setelah selesai proses interaksi dimaksud, Kementerian/ Lembaga
baru akan melaksanakan pembahasan anggaran dengan Kementerian Keuangan, selaku Penguasa
Anggaran Negara (Budget Authority).
Dus, hal ini menunjukkan bahwa hingga tahapan ini mestinya masih merupakan
tahapan administratif. Dan tentunya, dalam tahapan ini Menteri Keuangan selaku
Pengelola Fiskal (Budget/ Fiscal
Authority) memiliki kewenangan untuk tidak sependapat dengan usulan
anggaran suatu Kementerian/ Lembaga.
Kendati usulan tersebut sudah melalui proses pembicaraan pendahuluan dengan
Komisi Sektoral.
Pemikiran semacam itu, tentunya
sangat berdasar. Oleh karena, bila dilihat dari segi teori, tahapan politis
penyusunan anggaran Negara baru
benar-benar dimulai ketika pemerintah menyampaikan rancangan undang-undang APBN,
yang di Indonesia dilakukan pada pertengahan bulan Agustus, dan berakhir pada
bulan Oktober setiap tahun.
Dalam periode dua setengah bulan
inilah sebenarnya interaksi antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif
terjadi. Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Keuangan, sebagai Pengelola
Fiskal, berhadapan dengan Badan Anggaran (Budget
Committee) yang mewakili Lembaga legislative untuk membahas dan mengambil
keputusan penting tentang kegiatan apa yang akan dan seharusnya dilakukan oleh
eksekutif di masa setahun mendatang, dan beberapa tahun berikutnya.
Rentang waktu yang relative pendek yang
tersedia, khususnya bagi lembaga legislatif tersebut, ‘memaksa’ para anggota
lembaga (Badan Anggaran) untuk melakukan pembahasan dari sudut makro strategis
terhadap usulan lembaga eksekutif. Artinya, pembahasan di lembaga legislatif
tersebut tidak mungkin menukik hingga detil teknis kegiatan atau proyek yang
bersifat mikro teknis dari setiap unsur lembaga eksekutif . Tidak mungkin dengan
waktu yang demikian singkat menelaah RKA-KL.
Namun demikian, waktu yang relative
sempit dimaksud tidaklah harus menyebabkan hilangnya perhatian para anggota
legislatif terhadap kegiatan-kegiatan strategis nasional yang akan dilaksanakan
oleh suatu kementerian/ lembaga. Artinya, semua kegiatan yang bersifat
strategis, dan oleh karena itu merupakan prioritas nasional, sudah barang tentu
menjadi topik yang hangat dalam pembahasan antara Lembaga Legislatif dan
Lembaga Eksekutif.
Ujung dari pembahasan kedua lembaga
politik tersebut adalah pemberian persetujuan lembaga legislatif yang kemudian
diformalisasikan dalam bentuk pengesahan terhadap rancangan undang-undang yang
diajukan oleh lembaga eksekutif. Dalam Hukum Keuangan Negara pengesahan lembaga
legislatif ini lebih umum dikenal sebagai otorisasi parlemen (authorization parlementaire).
BINTANG PADA ALOKASI ANGGARAN.
Pemberian alokasi dana oleh lembaga legislatif
untuk suatu kegiatan yang diusulkan oleh lembaga eksekutif, pada prinsipnya,
bersifat definitif. Hal ini untuk menjamin kepastian tindakan/ kegiatan
pemerintah dalam menyediakan layanan publik untuk menjamin hak-hak azasi
masyarakat.
Namun demikian, pada saat penyusunan Undang-undang APBN, karena alasan yang bersifat teknis,
terutama lemahnya informasi dan perencanaan, seringkali pemerintah baru dapat
menyampaikan rencana kegiatan dalam bentuk global, tanpa mampu memberikan
rincian kegiatan yang lebih detil. Padahal, penetapan anggaran dan penuangannya
dalam undang-undang harus segera dilakukan.
Dalam situasi seperti itu, sebenarnya eksekutif
telah menempatkan lembaga legislatif dalam situasi yang sangat sulit. Untuk
mengatasi situasi tersebut kemudian ditempuhlah suatu langkah yaitu pemberian
otorisasi anggaran dalam bentuk alokasi yang bersifat conditional. Artinya,
alokasi dimaksud baru dapat dilaksanakan pihak eksekutif bilamana kondisi yang
dipersyaratkan terpenuhi.
Bila diperhatikan, pemberian alokasi semacam ini
dapat dipertanggungjawabkan karena, :
· ditinjau dari sisi legislatif, pemberian alokasi
anggaran ini mengandung sifat restriktif, sehingga tidak mengurangi kewenangan
legislatif untuk melakukan pengawasan;
· di sisi eksekutif, penyediaan alokasi anggaran ini
telah memberikan jaminan pendanaan sehingga tidak menghambat rencana kegiatan pemerintah, namun
juga memberikan kendali agar setiap kementrian melaksanakan anggaran sesuai
rencana sebagaimana diusulkan oleh kementrian yang bersangkutan kepada Pemerintah (cq. Menteri Keuangan).
Di Indonesia, pemberian alokasi conditional ini
dilakukan dengan membubuhkan tanda bintang pada alokasi anggaran yang
bersangkutan untuk memberi perhatian kepada kementrian/lembaga yang
bersangkutan bahwa alokasi anggaran tersebut tidak dapat direalisasikan,
kecuali terpenuhi syarat yang telah ditetapkan pada saat penetapan Undang-undang
APBN oleh lembaga legislatif.
Terkait
dengan itu, bila revisi terhadap alokasi anggaran yang dilakukan tidak sesuai
dengan tujuan semula, perlu kiranya dipertanyakan kepada Menteri Keuangan
tentang perubahan/ pergeseran dimaksud. Mengapa pergeseran tersebut dilakukan ?
Apakah menurut ketentuan, pergeseran dimaksud secara substansi merupakan
kewenangan Pemerintah (cq. Menteri Keuangan), dengan memperhatikan maksud
pemberian otorisasi conditional dari pihak legislatif ? Pertanyaan ini tentunya bukan menyangkut
besaran nominalnya, melainkan menyangkut kewenangannya.
(bersambung ……….)
No comments:
Post a Comment