KASUS
HAMBALANG : Sebuah Cerita Tentang Kacang Panjang Dan Kacang Pendek (Intermezzo)
Pada suatu
ketika, jauh sebelum proyek Hambalang mencuat ke permukaan menjadi sebuah kasus
yang demikian menghebohkan di masyarakat, saya pernah diundang dalam sebuah
diskusi terbatas (Focus Group Discussion). Kepada saya, yang diundang sebagai
nara sumber, khususnya, di bidang Hukum Keuangan Negara, para anggota diskusi
meminta pendapat tentang seputar kasus
yang menyangkut proyek Hambalang ditinjau dari perspektif Hukum Keuangan
Negara.
Dalam benak
saya, menganalisis sebuah proyek dari
perspektif Hukum Keuangan Negara adalah sebuah ‘cerita’ yang panjang, mengalir,
dan komprehensif tentunya. Bukan sekedar memberikan jawaban terhadap berbagai
pertanyaan yang terpotong-potong, baru kemudian disambung menjadi sebuah
cerita.
Di sisi
lain, sebagai seorang nara sumber, tentunya saya sangat ingin agar analisis
saya nantinya dapat dipahami secara utuh oleh semua peserta, dan tidak
ditafsirkan menurut logika mereka sendiri-sendiri. Maklumlah, paling tidak dari
informasi yang sempat saya peroleh, bahwa tidak satu pun di antara peserta
pernah mempelajari Ilmu Keuangan Negara. Apalagi tentang Hukum Keuangan Negara.
Oleh karena itu, saya ingin agar para peserta mampu menangkap aspek filosofi
yang terkandung dalam penjelasan saya, kemudian mampu menggunakannya dalam
menganalisis kasus yang sedang mereka hadapi.
Untuk itu,
sebelum menyampaikan analisis, sekedar menyamakan pola pikir, saya memulai
paparan saya dengan bercerita tentang kacang panjang dan kacang pendek.
BERJENJANG
Terjadinya
sebuah kegiatan atau proyek pada suatu kementerian/ lembaga pemerintah, pada
hakekatnya, merupakan hasil sebuah keputusan yang memerlukan proses yang panjang. Proses yang melibatkan
dua lembaga elit di republik ini, yaitu lembaga eksekutif dan lembaga
legislatif. Dimulai dari proses administratif di tingkat eksekutif, dan
berakhir setelah melalui sebuah proses politis yang relatif rumit.
Di lembaga
Eksekutif sendiri, sebuah kegiatan proyek --artinya bukan sebuah kegiatan
rutin—bukan terjadi bak sebuah mimpi yang dapat terjadi dalam sekejap.
Setiap
tahun, pemerintah mengumpulkan rencana kerja berbagai kementerian/ lembaga
dalam suatu dokumen yang dikenal dengan Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Ini
adalah suatu bentuk perencanaan fisik terkoordinasikan yang nantinya digunakan
untuk menyusun kebutuhan dana anggaran.
Itulah
sebabnya, setiap tahun, semua kementerian/ lembaga, tanpa kecuali, diwajibkan menyusun
Rencana Kerja dan Anggaran untuk disampaikan kepada pemerintah, cq. Menteri
Keuangan, selaku Pengelola Fiskal. Dokumen tersebut, pada saat ini, dikenal
dengan nama RKA-K/L. Ditinjau dari sudut substansi, dokumen RKA-K/L mengandung
dua unsur yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain yaitu, Rencana Kerja dan
Rencana Anggaran.
Sebagaimana
dikemukakan di atas, Rencana Kerja Kementerian/Lembaga tersebut kemudian
dihimpun oleh Pemerintah (dilakukan oleh Bappenas) dan disusun menjadi Rencana
Kerja Tahunan Pemerintah. Sementara itu, Rencana Anggarannya, dihimpun oleh
Menteri Keuangan, selaku Pengelola Fiskal, untuk kemudian disusun menjadi
dokumen Rancangan Undang-Undang APBN (RUU-APBN).
Di
tingkat Kementerian/ Lembaga sendiri,
terjadinya kegiatan proyek tersebut dilakukan melalui ‘jalan melingkar’ yang
sangat rumit dalam suatu proses perencanaan. Mengapa harus demikian ?
Bila
diperhatikan, proses tersebut bukan sekedar untuk memuaskan alur/ pola birokratis yang memang terkenal ‘mbulet’,
melainkan untuk mewujudkan suatu makna yang harus dijawab dengan baik dan
tuntas oleh Kementerian/ Lembaga itu sendiri. Dengan kegiatan yang disusunnya,
setiap Kementerian/ Lembaga mengekspresikan gagasan tentang apa yang harus
diwujudkan untuk menjawab tantangan tugas yang dibebankan kepadanya.
Untuk
itulah, kegiatan yang sangat banyak yang diusulkan oleh setiap unsurnya,
kemudian dipilah dan dipilih untuk
disusun menjadi suatu program kerja. Dipilih agar memenuhi berbagai kriteria
yang telah ditetapkan. Bukan sekedar asal-asalan. Program kerja yang disusun bukan hanya untuk
masa satu tahun, melainkan untuk masa beberapa tahun. Inilah yang kemudian
dikenal dengan Rencana Program Jangka Menengah (RPJM).
Dari
gambaran singkat tersebut, pertanyaan yang mungkin timbul adalah, kalau demikian halnya, apakah suatu kegiatan
proyek mesti dapat dilihat keberadaannya dalam Program Jangka Menengah
Kementerian/ Lembaga. Jawabannya sudah pasti: ‘ Ya, iyalah’ ! Karena semua
kegiatan pemerintah mesti didasarkan pada perencanaan. Tidak ada kegiatan yang
tiba-tiba datang dari langit kemudian dilaksanakan. Kecuali, untuk hal-hal yang
bersifat darurat, yang masalahnya benar-benar ‘datang dari langit’ alias tidak
terduga.
Bukan hanya
itu, Kementerian/ Lembaga pun diwajibkan untuk memilah kegiatan-kegiatan atau
proyek-proyek yang durasinya melebihi masa satu tahun anggaran (multi year). Artinya, suatu kegiatan
yang memerlukan pembiayaan dalam beberapa tahun anggaran. Hal ini penting
sekali artinya, karena dalam pola baru pengelolaan keuangan Negara dikenal
jargon ” let’s the manager manage “. Yang artinya kurang lebih, bahwa setiap
Kementerian/ Lembaga harus
bertanggungjawab terhadap pengelolaan keuangan yang ada di kemerterian/
lembaga masing-masing. Tanggungjawab ini, harus diartikan bukan saja merupakan
kewajiban Menterinya, melainkan tanggungjawab yang sesuai dengan jenjang dan
substansi masalahnya.
Sayangnya
slogan atau jargon tersebut sangat mudah diucapkan oleh orang awam sekedar
untuk menyatakan bahwa tanggungjawab pengelolaan keuangan Negara setiap
kementerian/ lembaga adalah mutlak di tangan mereka. Padahal, untuk dapat
menjelaskan pemaknaannya dengan benar harus dilihat kasusnya secara
kontekstual. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan jargon tersebut. Bukan dengan
jalan men-generalisir pengertian atau lebih-lebih dengan menggunakan penafsiran
secara suka-suka.
Jargon
“let’s the manager manage” dalam hal penyediaan dana kegiatan/ proyek
multi year harus diartikan bahwa Menteri yang bersangkutan harus mampu menjamin
ketersediaan pendanaan untuk kegiatan/ proyek tersebut untuk beberapa tahun
mendatang sesuai durasi yang telah ditetapkan. Dan, hal ini secara jelas (clear-cut) harus dituangkan dalam
sebuah dokumen perencanaan anggaran kementerian/ lembaga yang bersangkutan.
Di masa
lalu, sebelum berlakunya Undang-undang Bidang Keuangan Negara, dominasi Menteri
Keuangan, selaku Pengelola Fiskal, yang mewakili Pemerintah adalah suatu
kenyataan. Minister of Finance is the only and seul authority in Public Budgeting. Pola sentralistis tersebut memang mengharuskan Menteri Keuangan
untuk meneliti apakah suatu proyek dapat diijinkan dilakukan secara multi year atau tidak. Dan ini,
semata-mata hanya dilihat dari sisi rationing pendanaan setelah memperhatikan
detail teknis perencanaan suatu proyek.
Pada saat itu, Menteri Keuangan harus
benar-benar mampu melihat dengan penuh kecermatan rancangan anggaran suatu
kementerian/ lembaga yang diajukan kepadanya, dan menolak kegiatan/ proyek
tertentu, sekedar untuk memberikan alokasi pendanaan bagi proyek-proyek multi year yang on going. Intinya, kewajiban untuk menyediakan alokasi pendanaan
proyek multi year adalah di tangan Menteri Keuangan. Itulah sebabnya, setiap
proyek multi year mutlak memerlukan ijin Menteri Keuangan.
Kini pola
tersebut sudah ditinggalkan. Kewajiban tersebut kini telah beralih di tangan Menteri yang bersangkutan.
Namun, kewajiban Menteri yang bersangkutan untuk menjamin alokasi pendanaan ini, sebagaimana dikemukakan di atas, harus diartikan bahwa Menteri yang bersangkutan tidak boleh lalai dengan
menggunakan anggaran tahun berikutnya semau-maunya tanpa memperhatikan proyek multi year yang telah ada dan
disetujuinya dalam tahun sebelumnya.
Inilah inti perbedaan pola kewenangan
pengalokasian dana proyek multi year
pada saat ini dengan masa lalu. Dengan pola baru dimaksud, penyampaian rancangan anggaran untuk kegiatan/ proyek multi year kepada Menteri Keuangan, secara substansi tidak berbeda dengan kegiatan proyek pada umumnya, kecuali Menteri Keuangan harus menaruh perhatian (aware) terhadap alokasi bahwa kegiatan/ proyek tersebut merupakan sebuah seri yang mencakup beberapa tahun. Ini adalah sebuah alert yang harus diperhatikan oleh Menteri Keuangan.
Nah, apakah
makna perubahan seperti dimaksud di atas telah ditangkap dengan baik oleh
berbagai pihak ? Termasuk para pejabat di Kementerian Keuangan ? Inilah yang perlu dicari jawabannya.
Akan tetapi, menurut pengamatan saya
yang mungkin sangat subyektif, jawaban pertanyaan di atas adalah ‘belum’. Hal
ini terlihat, misalnya, dalam sebuah ketentuan –Peraturan Menteri Keuangan
(PMK)- tentang proyek multi year diperlukan
adanya kewajiban membuat pernyataan tanggungjawab mutlak (SPTJM) dari Kementerian/ Lembaga. Padahal, sebenarnya
kewajiban tersebut sudah ‘terkunci’ melalui sebuah sistem.
Perhatikan saja bagaimana saat ini
Kementerian/ Lembaga harus mengajukan usulan anggaran (Budget proposal). Kalau dulu pengajuan anggaran hanya dilakukan
untuk satu tahun ke depan, kini setiap kementerian/ Lembaga harus mengusulkan
anggaran tiga tahun ke depan berturut-turut. Walaupun, anggaran yang akan
ditetapkan tetap bersifat tahunan, alias hanya tahun depan.
Ini adalah sebuah adaptasi dari
system penganggaran baru yang menggunakan Medium
Term Expenditure Framework (MTEF) sebagai
model. Kita boleh mengatakan sebuah adaptasi atau pun modifikasi, karena konsep
dasarnya (basic concept), maupun tekniknya
memang sama sekali tidak berbeda. Yaitu, bahwa setiap pengajuan usulan anggaran
harus disertai dengan suatu prakiraan ke depan yang dikenal dengan nama prakiraan maju (forward estimate).
Yang membedakan adalah, bila MTEF
setiap pengajuan usulan harus terdiri dari empat tahun anggaran, yaitu rencana
anggaran yang akan dilaksanakan tahun depan, ditambah dengan prakiraan untuk
tiga tahun berikutnya. Dalam sistem yang diadopsi oleh Undang-undang Keuangan
Negara, prakiraan yang harus disertakan hanya menyangkut dua tahun berikutnya.
Jadi, dengan disertakannya forward estimate dalam pengajuan usulan anggaran
suatu tahun tertentu, sudah tergambar dengan jelas berbagai kegiatan atau proyek
yang memerlukan pendanaan beberapa tahun anggaran (multi year project).
Nah, bila demikian halnya, buat apa dong
adanya keharusan Kementerian/ Lembaga membuat
SPTJM ? Tambahan lagi, dilihat dari praktek
selama ini, maksudnya sejak zaman ICW, SPTJM tersebut hanya digunakan dalam pelaksanaan
anggaran, bukan dalam rangka penyusunan anggaran. Yaitu, ketika seorang pejabat pengelola anggaran mengambil keputusan pembayaran
yang kemungkinan dapat menimbulkan kerugian bagi Negara. Untuk itulah diperlukan
SPTJM sebagai suatu bentuk jaminan pertanggungjawaban.
Selamat Tahun Baru ! Semoga sukses
selalu !
(bersambung......)
*
* *
No comments:
Post a Comment