HUBUNGAN KELEMBAGAAN ANTARA DPR DENGAN BPK DALAM PENGAWASAN PARLEMENTER DI BIDANG KEUANGAN NEGARA : sebuah analisis kritik *)
Pengawasan lembaga legislatif di bidang keuangan Negara merupakan pengawasan yang cenderung kurang efektif. Ini adalah pernyataan dari para ahli Hukum Keuangan Negara, ketika mengamati pola pelaksanaan pengawasan yang selama ini dilaksanakan lembaga legislatif di berbagai Negara. Termasuk di beberapa negara Eropa yang merupakan tempat lahir dan berkembangnya Ilmu HUkum Keuangan Negara.
Betapa tidak, kendati pengawasan tersebut dapat dilaksanakan pada dua fase dalam siklus anggaran, berbagai keterbatasan lembaga tersebut, baik berupa teknis-operasional maupun system pengawasan, telah membuat lembaga tersebut tidak berdaya.
Double surveyance parlementaire.Kewenangan lembaga legislative untuk melakukan pengawasan pengelolaan keuangan Negara (baca: APBN), bila diperhatikan, merupakan konsekuensi logis diberikannya otorisasi parlementer kepada pemerintah. Dengan kewenangan tersebut lembaga legislatif dapat melakukan verifikasi apakah pemerintah benar-benar telah melakukan amanah rakyat yang diberikan melalui para wakilnya di lembaga legislatif.
Sebagaimana dikemukakan oleh para Ahli, dan tentunya sesuai dengan alur pemikiran dan siklus anggaran Negara, pengawasan lembaga legislatif dilakukan setelah anggaran dilaksanakan oleh pihak eksekutive. Jelasnya, pengawasan yang dilakukan oleh legislative lebih ditujukan pada pengawasan yang bersifat a posteriori (post audit). Pengawasan yang dilakukan tersebut termasuk juga dalam bentuk permintaan penjelasan atau alasan bilamana suatu program yang telah disediakan dananya dalam APBN tidak dapat dilaksanakan.
Pengawasan a posteriori legislative dilakukan dalam bentuk pembahasan dalam rangka penetapan laporan anggaran Negara yang disajikan oleh Pemerintah ke dalam undang-undang. Namun, seperti pada umumnya pengawasan yang bersifat post audit, pengawasan lembaga legislative ini pun mengandung banyak kelemahan.
Dua kelemahan pengawasan jenis post audit, khususnya terkait dengan pelaksanaan hak budget lembaga legislative, yang dapat dikemukakan di sini adalah: pertama, pengawasan tersebut tidak memiliki kemampuan tindakan yang bersifat korektif; kedua, seringkali diskusi dan pembahasan yang dilakukan oleh lembaga legislative dilakukan bersama dengan pihak eksekutif yang diperankan oleh pejabat-pejabat yang berbeda pada saat otorisasi diberikan.
Untuk menutup kelemahan dan alasan kurangnya efisiensi dalam pengawasan terhadap pelaksanaan otorisasi parlementer (hak budget legislatif), pengawasan lembaga legislative kemudian dilakukan juga pada tahun berjalan. Yaitu, pada saat anggaran negara sedang dilaksanakan oleh pemerintah.
Namun demikian, berbagai pihak harus berhati-hati dalam memahami pemikiran tersebut, karena, sesuai tugas dan peran lembaga legislative, pengawasan ini bukan merupakan pengawasan yang bersifat a priori (pre audit). Walaupun pengawasan tersebut dilaksanakan pada saat pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja Negara.
Perlu bantuan lembaga lainSeperti halnya lembaga pengambil keputusan kebijakan (organe deliberante) dalam suatu konstelasi kelembagaan di suatu negara demokrasi, lembaga legislatif bukan merupakan lembaga teknis. Lembaga legislatif tidak memiliki kompetensi mengambil langkah atau tindakan yang bersifat mikro-teknis dalam masalah pengelolaan keuangan negara.
Lembaga legislatif merupakan lembaga yang harus berpikir secara makro strategis.
Hal ini dapat dilihat bahwa apa yang dilakukan oleh lembaga legislatif dalam mengawasi kebijakan pengelolaan keuangan Negara dilaksanakan hanya dengan cara pembahasan melalui diskusi di dalam sidang-sidang yang diselenggarakan oleh lembaga tersebut. Baik terkait dengan pengawasan dalam tahun berjalan maupun pengawasan yang bersifat a posteriori.
Pembahasan dalam tahun berjalan akan menghasilkan perubahan atau penyesuaian terhadap program maupun alokasi anggaran yang selama ini diperlukan. Sedangkan pembahasan dalam rangka pengawasan a posteriori, pada hakekatnya, lebih diarahkan untuk meminta pertanggungjawaban pemerintah atas pelaksanaan kebijakan yang telah ditetapkan. Hal ini dilakukan dalam rangka memberikan pengesahan dan penetapan pelaksanaan anggaran (Budget rectificatif).
Keharusan berfikir dan bersikap secara makro-strategis ini semata-mata bukan karena adanya keterbatasan (constraint) yang melekat pada para anggota lembaga tersebut, tetapi lebih disebabkan karena peran lembaga itu sendiri sebagai lembaga pengambil keputusan kebijakan.
Oleh karena itu, keterbatasan ini tidak dapat ditutup dengan kehadiran suatu institusi pendukung (supporting agency) yang diharapkan akan mampu melakukan langkah-langkah yang bersifat teknis-operasional dalam melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran Negara.
Kehadiran institusi semacam itu dalam lembaga legislatif, yang didukung oleh para ahli, lebih diharapkan untuk memberikan dukungan agar lembaga legislatif mampu secara lebih rinci melihat implementasi kebijakan yang telah diputuskan. Disamping itu, institusi tersebut juga diharapkan mampu memberikan saran dan solusi kepada lembaga legislatif, bila ternyata terdapat hambatan dalam pelaksanaan kebijakan tersebut di lapangan oleh pihak eksekutif.
Terkait dengan itu, dalam melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan hak budgetnya, lembaga legislatif memerlukan dukungan instansi lain yang memiliki kewenangan dan kompentensi teknis-operasional di bidang pengawasan keuangan Negara melalui kegiatan auditnya. Sebut saja Government Accountability Office di Amerika Serikat, Cour des Comptes di Perancis, atau Algemene Rekenkammer di Negeri Belanda.
Instansi-instansi pengawasan tersebut merupakan lembaga yang memiliki independensi yang relatif tinggi, dalam arti tidak terlibat dalam pengambilan keputusan, dan juga tidak terlibat dalam pelaksanaan. Sehingga akan memberikan jaminan terhadap akuntabilitas dan transparansi pengawasan yang diperlukan. Ini sesuai dengan konsep fiscal transparency yang selama ini dikembangkan.
Hubungan yang berkualitas.Dari uraian di atas tergambar dengan jelas betapa lembaga legislatif memiliki ketergantungan yang relatif besar terhadap lembaga audit independen. Sejalan dengan itu, lembaga audit tersebut harus mampu menyajikan informasi sesuai kebutuhan lembaga legislatif agar lembaga tersebut mampu melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai yang diharapkan.
Bagaimana dengan praktek di Indonesia ?
Dengan dianutnya paham Panca Praja dalam sistem politik di Negara kita, telah menempatkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang merupakan lembaga audit, sebagai lembaga politik. Tanpa harus melakukan analisis tersendiri yang lebih mendalam terhadap situasi tersebut, tampak secara kasat mata bahwa kedudukan politik BPK yang setara dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), telah memberikan pengaruh yang agak kurang positif dalam kaitan dengan pengawasan lembaga legislatif di bidang pengelolaan keuangan negara pada umumnya.
Diakui atau tidak, kesetaraan kedudukan antara keduanya, secara psikologis, menghambat keluwesan (flexibility) hubungan antara kedua lembaga tersebut. Sebagai lembaga politik, yang merupakan salah satu lembaga tinggi Negara, BPK memiliki kebijakan sendiri dalam melaksanakan tugas-tugas konstitusionalnya. Tidak tergantung pada siapa pun. Dan tidak harus patuh kepada siapa pun.
Masih tergambar tentunya dalam ingatan kita semua, ketika BPK menolak permintaan DPR untuk menyerahkan data hasil audit dalam suatu kasus besar yang menghebohkan Negara kita. Alih-alih menyerahkan kepada DPR, BPK justru menyerahkan data tersebut kepada penegak hukum untuk ditindaklanjuti.
Padahal, harusnya semua pihak memahami bahwa masalah keuangan Negara adalah masalah otorisasi parlementer. Masalah keuangan Negara adalah masalah politik. Oleh karena itu, penyimpangan dalam pelaksanaan otorisasi parlementer merupakan domain politik. Bukan domain penegakan hukum. Namun, akibat lanjutan dari penyimpangan itu sendiri merupakan wilayah penegakan hukum.
Disamping itu, kita juga sering mendengar betapa laporan BPK kurang memberikan manfaat bagi pelaksanaan kewenangan pengawasan DPR, khususnya di bidang pengelolaan keuangan Negara. Baik laporan yang bersifat periodik, maupun laporan akhir tahun.
Laporan hasil pemeriksaan semesteran (Hapsem) yang dihimpun oleh BPK dan disampaikan kepada DPR, misalnya, pada hakekatnya, merupakan himpunan hasil kerja BPK dalam suatu semester sesuai dengan program kerja BPK. Bukan laporan semester tahun anggaran berjalan yang diharapkan oleh DPR yang dapat digunakan untuk melakukan koreksi dalam rangka pengawasan legislatif, antara lain, untuk penyusunan anggaran perubahan bersama pemerintah. Walaupun, kini dengan lahirnya Undang-undang Keuangan Negara telah dilakukan perubahan terhadap laporan jenis ini, baik dari materi maupun bentuknya.
Sementara itu, laporan pemeriksaan terhadap pertanggungjawaban keuangan pemerintah, lebih terfokus pada sisi analisis keuangan mengikuti sistem akuntansi (to satisfy the accounting analysis). Padahal, harapan DPR, laporan BPK yang disampaikan kepada DPR akan mampu menggambarkan bagaimana hasil kerja pemerintah dalam melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan oleh lembaga legislatif.
Dalam situasi seperti tersebut di atas, lahirnya Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) sebagai institusi kelengkapan DPR dirasakan sangat penting artinya. Namun demikian, harus dihindarkan adanya pemikiran bahwa lahirnya BAKN akan diarahkan sebagai alat untuk memuaskan DPR memenuhi keinginannya untuk memperoleh informasi yang selama ini dibutuhkan. Artinya, BAKN akan diarahkan untuk melakukan langkah-langkah teknis-operasional dalam rangka mendukung peran pengawasan DPR. Atau lebih konkritnya, BAKN yang didukung oleh tenaga-tenaga ahli, khususnya dalam bidang akuntansi, akan diharapkan melakukan audit terhadap pelaksanaan kegiatan keuangan Negara.
Lembaga BAKN harus diposisikan sebagai ujung tombak (focal point) DPR dalam usaha memahami masalah-masalah keuangan Negara yang diinformasikan oleh BPK ataupun berbagai pihak lainnya. BAKN diharapkan mampu menjadi interface dalam hubungan antara DPR dan BPK.
Dalam kedudukannya yang demikian BAKN diharapkan mampu melakukan pendekatan dan mendorong BPK untuk menyajikan informasi sesuai kebutuhan DPR. Bukan sekedar memenuhi kaidah-kaidah atau sesuai analisis akuntansi pemerintah. Hal ini penting artinya agar informasi/ laporan BPK benar-benar bermanfaat untuk digunakan sebagai sarana pengawasan DPR sesuai keinginan Undang-undang Dasar 45.
K E S I M P U L A N1. Lembaga legislatif merupakan lembaga penetap kebijakan (organe deliberante).
2. Terkait dengan itu, lembaga tersebut harus memiliki sikap pikir yang berorientasi makro-strategis, bukan berorientasi pada mikro-teknis.
3. Oleh karena itu, dalam melaksanakan pengawasan terhadap pengelolaan keuangan Negara, lembaga legislatif memerlukan bantuan lembaga audit independen.
4. Informasi/ laporan yang disajikan oleh BPK hingga saat ini masih belum memenuhi kebutuhan DPR untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan yang tercermin dalam pelaksanaan Keuangan Negara.
5. Lahirnya BAKN sangat penting artinya dalam rangka menjembatani atau sebagai interface dalam hubungan antara DPR dan BPK sebagai lembaga politik.
*
* *
___________
*) Disampaikan dalam Workshop yang diselenggarakan oleh BAKN-DPR bersama ProRep dengan tema " Optimalisasi Peran dan Fungsi BAKN dalam Pengawasan Parlementer di Bidang Keuangan Negara ", tanggal 25 Oktober 2011 di Century Hotel, Senayan-Jakarta.