KERUGIAN PADA KEUANGAN NEGARA DAN KERUGIAN PADA PENDAPATAN NEGARA : suatu diskusi
(Tanggapan)
Saudara Frenda Nic, terima kasih atas kunjungan anda ke Blog saya. Sinyalemen saudara bahwa ‘ dalam Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan TIDAK menggunakan terminologi 'menimbulkan kerugian pada 'keuangan negara'..., melainkan 'menimbulkan kerugian pada pendapatan negara' bila terjadi sebuah tindak pidana perpajakan’ sangat menarik untuk didiskusikan.
Sebagaimana Saudara sampaikan, dalam konteks perpajakan uang setoran pajak yang diselewengkan dalam sebuah kasus tindak pidana perpajakan belumlah masuk ke kas Negara, melainkan masih berada di wajib pajak bersangkutan yang dengan kesengajaan/kealpaan tidak menyetorkannya ke kas negara. Bagaimana mungkin dapat timbul kerugian pada keuangan negara sementara tidak ada uang negara yang keluar sama sekali ? Jadi, tepat apabila redaksi yang digunakan adalah baru sebatas pada "merugikan pendapatan negara".
Terkait dengan situasi tersebut, rasanya kita semua dapat memahami bahwa dengan adanya istilah dalam undang-undang tersebut di atas, alur pikir masyarakat kemudian terkanalisasi dalam suatu logika yang bersifat ‘pembenaran’ (self justification). Oleh karena itu, sangat wajar bila masyarakat kemudian juga membuat kesimpulan bahwa, kerugian pada keuangan negara baru bisa terjadi jika secara nyata ada aliran uang keluar yang tidak semestinya dari kas Negara. Dan…, setoran yang belum masuk ke Kas Negara karena berbagai alasan dari wajib pajak atau wajib setor hanya akan merugikan pendapatan Negara.
KURANG KOMPREHENSIF
Oleh sebab itu, di awal kelahirannya, ketika masih berupa rancangan undang-undang, Undang-undang tentang Keuangan Negara ini diusulkan sebagai undang-undang pokok. Hal ini terutama didasarkan pada kandungan substantifnya. Namun karena system dan struktur perundang-undangan di Indonesia tidak lagi mengenal undang-undang pokok, Undang-undang tentang Keuangan Negara dilahirkan sebagai undang-undang pada umumnya. Kendati substansinya tetap dijadikan acuan semua undang-undang di bidang Keuangan Negara.
Sementara itu, bila kita melihat dari sisi lain, terasa ada sesuatu yang sangat janggal. Yaitu, bahwa pemahaman berbagai pihak terhadap konsep atau pemikiran tentang Ilmu Keuangan Negara terasa kurang memadai atau kurang komprehensif. Padahal, kalau diperhatikan dengan seksama konsep pengelolaan Keuangan Negara di Indonesia selama ini tidak banyak mengalami perubahan.
Terkait dengan itu, kalau boleh saya katakan dalam posisi saya selaku Ketua Tim Kecil Penyusunan RUU Bidang Keuangan Negara (tiga RUU), bahwa konsepsi tentang Keuangan Negara baik dari aspek politis maupun administratif tidaklah berbeda dengan konsepsi yang selama ini sudah dikenal dan dilaksanakan. Bahkan, dalam beberapa hal sudah berjalan sejak sebelum kemerdekaan.
Dalam kaitan ini, Tim Penyusun bahkan menyampaikan ‘we just put everything on the right track’. Artinya, hanya sekedar mengembalikan semuanya pada konsep lama yang sebenarnya hingga kini prinsipnya masih diikuti dan dikembangkan di berbagai Negara. Dan satu hal yang perlu kita garis bawahi bahwa Tim Penyusun juga membenahi atau meluruskan kembali praktek-praktek bias dalam pengelolaan Keuangan Negara yang telah berjalan selama ini dan mengembalikan pada track yang benar, seperti misalnya peran Menteri Teknis yang ‘dikerdilkan’, peran Menteri Keuangan yang sangat berlebihan, dan juga peran Bappenas yang tidak proporsional dibandingkan dengan yang seharusnya.
Namun demikian, yang memprihatinkan adalah bahwa pihak-pihak tertentu yang merasa berkompeten dan merasa mampu justru memberikan arti lebih terhadap tafsir yang sebenarnya kurang tepat pada saat sebelum lahirnya Undang-undang tentang Keuangan Negara. Berbagai contoh dapat dilihat lahirnya berbagai terminologi di bidang penerimaan Negara maupun di bidang pengeluaran Negara yang sebenarnya kurang sesuai dengan terminologi dalam konteks Keuangan Negara yang kemudian dibakukan dan dipahami sebagai suatu kebenaran oleh berbagai pihak. Padahal, istilah ataupun tafsir dimaksud sebenarnya tidak sesuai dengan konsep pemikiran dasar Ilmu Keuangan Negara.
Contoh kasus lain, misalnya, ketika pembahasan RUU Keuangan Negara pada tahun 2001 di Dewan Perwakilan Rakyat. Ketika itu, para wakil rakyat mempertahankan pendapat mereka bahwa dalam substansi Keuangan Negara tidak perlu memasukkan kekayaan Negara. Keuangan, menurut mereka, hanyalah terkait dengan uang. Keuangan dari sudut syntaxis merupakan kata jadian dari kata dasar ‘uang’. Demikian pula terminologi ‘perbendaharaan’ yang menurut mereka berasal dari kata dasar ‘bendahara’. Oleh karena itu, Perbendaharaan hanya terkait dengan semua kegiatan bendahara.
Pendapat awam yang dikemukakan para anggota Dewan tersebut, ternyata hingga kini masih banyak diacu oleh berbagai pihak. Padahal, bila kita benar-benar mempelajari Ilmu (Hukum) Keuangan Negara akan tampak bahwa semua itu tidak benar. Pengertian yang dikembangkan oleh para anggota Dewan tersebut hanya tafsir pribadi yang tidak memiliki dasar pijak sesuai kajian bidang keilmuan.
Namun, dari pengamatan saya selama ini, yang tidak kalah memprihatinkan adalah berkembangnya berbagai tafsir yang salah terhadap system pengelolaan keuangan Negara dan juga terhadap peran para pelaku pengelola keuangan negara itu sendiri.
NEGARA SEBAGAI SUBYEK
Kembali pada diskusi tentang konsep kerugian pada keuangan Negara atau kerugian pada Pendapatan Negara, menurut hemat saya, perlu ada suatu penjelasan kontekstual yang dapat dijadikan acuan.
Dalam berbagai kepustakaan terkait masalah Keuangan Negara, dengan jelas dinyatakan bahwa Negara adalah subyek, sedangkan Penerimaan dan Pengeluaran Negara beserta unsur-unsur di dalamnya merupakan obyek. Sementara itu, Tata kelola yang mengandung sistem maupun sub sistem, kalau boleh dikatakan, merupakan predikat.
Terkait dengan itu, suatu perbuatan yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu hanya dapat menguntungkan atau merugikan subyek, yaitu Negara. Oleh karena itu, terminologi merugikan Pendapatan Negara atau merugikan Keuangan Negara, dalam konteks Keuangan Negara, adalah salah.
Celakanya, terminologi yang terakhir ini --- merugikan Keuangan Negara --, telah digunakan dalam berbagai undang-undang di Republik ini, termasuk dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi.
Tak diragukan lagi, kerancuan terminologi ini kemudian membingungkan berbagai pihak, termasuk para hakim dalam berbagai sidang, khususnya dalam sidang perkara tindak pidana korupsi. Tidak jarang hakim menanyakan apa perbedaan kerugian keuangan Negara dan kerugian Negara.
Dalam kapasitas saya sebagai ahli Hukum Keuangan Negara yang dihadirkan dalam berbagai sidang Tipikor, saya selalu menyampaikan bahwa kerugian keuangan Negara, kendati termuat dalam berbagai undang-undang, adalah suatu terminologi yang salah. Yang benar adalah kerugian Negara.
Dari uraian di atas, tampak dengan jelas bahwa istilah merugikan pendapatan Negara dalam Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah istilah yang salah. Akibatnya ternyata cukup fatal. Masyarakat kemudian menyusun suatu persepsi bahwa penerimaan pajak yang karena alasan tertentu tidak disetorkan oleh wajib pajak tidak merupakan kerugian Negara. Sementara itu, kerugian Negara dipersepsikan bila nyata-nyata terjadi aliran uang keluar yang sudah berada di Kas Negara.
Padahal, dalam konsep Keuangan Negara, suatu kerugian dinyatakan terjadi bila sejumlah uang yang seharusnya masuk ke Kas Negara tidak masuk ke Kas Negara atau bilamana sejumlah uang yang seharusnya tidak keluar, ternyata keluar dari Kas Negara. Dan, yang tidak kalah pentingnya, sebagai unsur kerugian Negara adalah, bahwa kejadian tersebut merupakan akibat dari suatu perbuatan melawan hukum dari seseorang atau karena kelalaian.
*
* *
4 comments:
Yth. Bpk Siswo
Terima kasih telah memberikan tanggapan atas komentar saya yang terdahulu.
Dalam tulisan terbaru yang Bapak sampaikan, saya menaruh perhatian pada redaksi “Terkait dengan itu, suatu perbuatan yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu hanya dapat menguntungkan atau merugikan subyek, yaitu Negara. Oleh karena itu, terminologi merugikan Pendapatan Negara atau merugikan Keuangan Negara, dalam konteks Keuangan Negara, adalah salah”. Menurut saya, apa yang Bapak sampaikan dalam redaksi tersebut adalah benar, bahwa istilah yang paling tepat adalah ‘merugikan negara’, bukan ‘merugikan pendapatan/keuangan negara’.
Sejujurnya, latar belakang saya adalah perpajakan dan hanya memiliki sedikit pemahaman di bidang hukum terutama masalah penafsiran hokum dan juga keterbatasan pengetahuan tentang keuangan Negara. Tulisan-tulisan Bapak sebenarnya bagi saya adalah suatu pencerahan untuk dapat memahami konsep keuangan Negara secara pure dan legal.
Lalu kemudian saya tertarik pada tulisan Bapak tentang kasus Bank Century tersebut yang sejak dulu menyisakan pertanyaan pada diri saya dan juga ramai diperbincangkan khalayak bahwa: ‘Apakah suatu kebijakan yang baru diduga merugikan keuangan Negara layak untuk diangkat ke meja hukum? Dengan kata lain, apakah bisa dilakukan suatu pemidanaan atau pemerdataan kebijakan yang masih dalam taraf diduga merugikan keuangan Negara?”
Dalam pertanyaan di atas, saya masih menggunakan redaksi ‘merugikan keuangan negara’ sesuai dengan redaksi yang umum digunakan dalam berbagai undang-undang, termasuk dalam UU TIPIKOR sebagaimana yang Bapak sebutkan. Entah dari mana redaksi tersebut muncul sementara UU Perbendaharaan Negara menyebut ‘kerugian Negara’. Maka, adalah benar yang Bapak sampaikan bahwa seharusnya parangkat peraturan yang di dalamnya ada unsur terkait keuangan Negara, haruslah berpijak pada terminologi-terminologi yang digunakan dalam UU yang mengatur tentang keuangan Negara. Sayangnya, undang-undang tersebut baru disahkan mulai tahun 2003 sementara undang-undang lainnya sudah lebih dulu keluar.
Lanjutan...
Demikian halnya dalam ketentuan perpajakan. Redaksi yang digunakan dalam UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah ‘dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara’. Penggunaan redaksi ‘dapat’ ini dimaksudkan bahwa perbuatan bersangkutan ‘belum tentu merugikan pendapatan negara’ atau ‘akan menimbulkan kerugian pada pendapatan negara’ atau bisa juga ternyata ‘tidak menimbulkan kerugian pada pendapatan negara’ nantinya. Secara lebih tepat, mungkin dapat digunakan redaksi ‘dapat menimbulkan kerugian negara’.
Kembali pada tulisan Bapak yang saya kutip di awal, saya sependapat bahwa kedudukan negara itu adalah sebagai subjek. Dan, perbuatan-perbuatan yang diarahkan ke subjek pastilah hanya berakibat 3 hal: keuntungan (bagi) subjek, kerugian (bagi) subjek, atau tidak menimbulkan dampak apa pun bagi subjek. Artinya adalah, terminology yang tepat adalah keuntungan (bagi) Negara atau kerugian (bagi) Negara atas suatu perbuatan yang dilakukan di bidang keuangan Negara.
Saya yakin, jika BUMN memperoleh laba maka akan selalu disebut ‘laba BUMN’ dan BUKAN ‘laba keuangan BUMN’. Demikian juga jika BUMN rugi, maka akan disebut ‘kerugian BUMN’ dan BUKAN ‘kerugian keuangan BUMN’. Begitu pun dalam konteks keuangan Negara.
Terima kasih.
Sdr Frenda, terima kasih atas komentar anda. Saya gembira sekali atas berbagai pertanyaan yang anda sampaikan, karena berbagai hal yang Saudara ungkapkan merupakan ekspresi keingintahuan masyarakat tentang konsep dalam disiplin Ilmu Keuangan Negara yang kebetulan di negara kita 'terabaikan'.
Keingintahuan masyarakat, pada hakekatnya, merupakan 'clue' yang baik bagi saya untuk dapat menulis dalam BLOG sesuai dengan misi BLOG itu sendiri.
Tentang kasus Bank Century, saya akan menyampaikan tulisan secara gradual, dan tetap fokus dari sudut pandang Hukum Keuangan Negara--(tentunya dengan singgungannya dengan disiplin Hukum Tata Negara, Hukum administrasi Negara, ilmu politik, ekonomi, dan lain sebagainya secara proporsional).
Hari ini akan saya up-load tulisan yang sudah saya siapkan beberapa waktu lalu. Oleh karena agak panjang, mungkin tulisan tersebut akan saya up load berseri.
Sekali lagi terima kasih atas komentar-komentar anda.
Salam,
SS
Great blog you havve
Post a Comment