Dari beberapa komentar yang masuk, baik yang langsung melalui Blog ataupun melalui e-mail, terasa adanya keinginan masyarakat untuk memperoleh penjelasan yang dipandang obyektif, dalam arti bahwa ulasan yang disampaikan tidak mengandung keberpihakan terhadap siapa pun, tapi murni dianalisis atas dasar fakta, ketentuan perundang-undangan, dan konsep teoritik.
Semoga bermanfaat.
Biasalah, seperti kalau sekelompok kawan akrab saling ketemu dan ngobrol, topik bisa berganti tanpa arah dan tujuan, hingga sampailah pada analisis tingkat warung kopi tentang masalah-masalah yang serius. Tetapi, satu hal yang sangat menarik perhatian saya, dan saya juga tidak pernah mengira bahwa ternyata mereka-mereka yang tinggal jauh dari tanah air, selalu mengikuti perkembangan hingga tataran yang relatif cukup detil.
Satu topik yang tampaknya cukup menarik untuk disimak adalah tentang kasus Bank Century yang menurut mereka tampak sebagai lelucon. Betapa tidak ? Sampai hari ini, kasus yang posisinya sudah sangat jelas tersebut justru diambangkan dan dibuatkan penafsiran menurut versinya sendiri-sendiri, seolah ingin membuat masyarakat lelah, dan akhirnya memahami bahwa kasus Bank Century tidak perlu dipermasalahkan. Karena memang tidak ada masalah.
KONTOVERSI SISTEMIK-NON SISTEMIK
Semua pihak sebenarnya sudah menyadari, bahwa masyarakat sudah sangat lelah mendengarkan perdebatan para ahli ekonomi terkait masalah Bank Century. Sebagian karena tidak paham, dan sebagian lagi merasa dibuat tidak paham. Betapa tidak, perdebatan yang menampilkan argumen teori yang indah-indah itu ujung-ujungnya ternyata tidak mampu menyajikan kesimpulan yang rasional untuk dicerna masyarakat. Bahkan, beberapa kalangan masyarakat mulai memahami bahwa pihak-pihak tertentu tidak lebih sekedar berdebat kusir.
Terlepas dari apa yang menjadi kesimpulan dari perdebatan para ahli tentang kemungkinan akibat yang dapat ditimbulkan oleh Bank Century terhadap perekonomian nasional saat itu, yang jelas pemerintah telah memutuskan bahwa pengucuran dana talangan kepada bank tersebut perlu dilakukan.
Sementara itu, yang paling mengecewakan banyak pihak adalah bahwa ternyata keputusan tersebut bukan didasarkan pada pertimbangan ekonomis, melainkan pada faktor psikologis yang mungkin akan berdampak sistemik terhadap perekonomian nasional. Yaitu kemungkinan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap system perbankan yang bisa membuat masyarakat beramai-ramai menarik uangnya (rush). Padahal, menurut penjelasan seorang pejabat Bank Indonesia dalam rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) di Kementrian Keuangan pada saat itu, bahwa rush yang dikhawatirkan banyak pihak, khususnya di pemerintahan, sebenarnya tidak terjadi. Situasi tenang bukan hanya tampak di bank-bank pada umumnya, tetapi juga di Bank Century. Satu-satunya kejadian yang mirip rush hanya terjadi di satu cabang Bank Century, yaitu di Pangkal Pinang.
Oleh sebab itu, tidak salah kalau seorang politisi partai oposisi berpendapat bahwa sebenarnya Bank Century tidak perlu ditolong. Pendapat ini tampaknya senada dengan kesimpulan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menyatakan bahwa KSSK tidak mempunyai suatu kriteria terukur untuk menetapkan dampak sistemik Bank Century. Menurut lembaga tersebut, penetapan bail-out Bank Century semata-mata hanya didasarkan pada judgement.
Lucunya, ketika masyarakat masih disibukkan dengan pemikiran apakah keputusan bail-out Bank Century memang perlu atau tidak perlu, serta wacana sistemik atau tidak sistemik sedang hangat diperdebatkan, Jusuf Kalla (JK) bahkan dengan yakinnya memastikan bahwa masalah Bank Century bukan masalah krisis ekonomi.
Kita semua hampir yakin, bahwa pernyataan JK tersebut pasti bukan didasarkan pada konsep teoritis. Ini adalah pertimbangan praktis yang didasarkan pada kenyataan. Sebagai seorang praktisi ekonomi (baca : pedagang) kemampuan intuisi JK harus diakui sangat tajam. Tanpa banyak berteori, JK memastikan bahwa masalah Bank Century adalah masalah kriminal. Dengan entengnya JK membeberkan bukti tindakan kriminal para pemiliknya mulai dari penggerogotan uang nasabah hingga penerbitan obligasi bodong. Oleh karena itu, dengan tegas JK menampik cara penyelesaian yang dilakukan pemerintah (cq. Menteri Keuangan) pada saat itu, yaitu dengan menyuntikkan dana alias bail-out.
Bagi JK adalah tidak masuk akal jika dikatakan bahwa masalah Bank Century merupakan akibat krisis keuangan global. Nyatanya, saat itu cuma Bank Century yang bermasalah, sementara bank-bank lain pada umumnya tetap sehat. Oleh karena itu, bagi JK penyelesaian yang paling tepat adalah melaporkan kepada polisi dan menangkap pemilik bank tersebut. Dan itu ternyata dilaksanakan.
KONTROVERSI KERUGIAN NEGARA
Dalam kasus Bank Century, analisis tentang kerugian Negara seharusnya dilihat secara proporsional. Yaitu, dengan menempatkan pemerintah (Negara) sebagai otoritas. Bukan sebagai pelaku ekonomi. Menurut konteks ini, penempatan pemerintah sebagai otoritas akan mendudukkan pemerintah selaku pemegang kebijakan, dalam hal ini, kebijakan fiskal, kebijakan moneter, dan kebijakan ekonomi makro. Sebagai otoritas, pemerintah berkewajiban mengambil langkah penyelamatan seandainya ditengarai akan terjadi ancaman yang serius di bidang perekonomian Negara. Dengan demikian masyarakat harus memahami bahwa tindakan pemerintah seperti itu mutlak diperlukan.
Yang lucu, entah ini by design atau hanya kebetulan, masyarakat dari hari ke hari didorong untuk memahami bahwa dalam kasus Bank Century kedudukan pemerintah seolah adalah pelaku ekonomi. Dan pemahaman ini secara konsisten dipompakan ke dalam benak masyarakat melalui para ahli ekonomi.
Apa sebenarnya yang ingin dicapai di balik skenario ini ?
Dengan menempatkan Negara sebagai pelaku ekonomi yang tidak ada bedanya dengan pelaku ekonomi lainnya, masyarakat diberi kesan bahwa tentunya wajar bila Negara menderita kerugian sebagai akibat tindakannya pada saat melakukan interaksi dengan pelaku ekonomi lainnya. Disamping itu, terdapat alternatif penghitungan kerugian yang dapat dilakukan pada saat terjadinya interaksi ataupun baru akan dinyatakan pada suatu saat di masa yang akan datang, tergantung bentuk interaksi yang dilakukan dan teknik pencatatan yang diselenggarakan.
Dalam konteks Bank Century, kerugian itu sendiri baru akan dapat dibuktikan dalam suatu periode yang lumayan panjang. Menurut para ahli tersebut, akan berada dalam kisaran 10 sampai 15 tahun yang akan datang. Itu pun besarannya belum pasti. Sangat tergantung pada berapa nilai asset bank Century pada saat penjualan.
Sementara itu, dari hari ke hari masyarakat disuguhi informasi oleh para pejabat LPS--sebagai pengampu--, jajaran direksi, dan para analis keuangan/ perbankan yang menyatakan bahwa Bank Mutiara, nama baru Bank Century, telah meraih prestasi yang sangat mengesankan. Prestasi ini ditunjukkan dengan kondisinya yang semakin hari semakin sehat dan mampu meraih keuntungan.
Nah inilah inti dari skenario di atas. Berbagai usaha yang dilakukan para ahli ekonomi tersebut ingin mengesankan bahwa kerugian Negara merupakan suatu peristiwa ekonomi. Bahwa tindakan pemerintah mem-bailout Bank Century adalah tidak salah. Tindakan pemerintah, kalaupun menyebabkan kerugian Negara, merupakan risiko ekonomis jangka panjang. Sebaliknya, kalau tindakan tersebut berhasil, bisa-bisa yang akan terjadi bukan kerugian Negara, melainkan keuntungan Negara. Dan hal itu biasa terjadi pada pelaku ekonomi lainnya.
Padahal, penyelamatan Bank Century, kalau boleh dikatakan demikian, adalah tindakan penyelamatan perekonomian nasional. Dan ini merupakan tanggungjawab Negara selaku otoritas. Selaku penanggungjawab perekonomian nasional yang mengelola kebijakan fiskal, kebijakan moneter, dan kebijakan makro ekonomi.
Dalam konteks ini, kedudukan Negara harus dipahami secara berbeda. Kedudukan Negara bukanlah sebagai pelaku ekonomi. Negara bukanlah sebagai anggota komunitas ekonomi (sosio ekonomi). Oleh karena itu, tindakan pemerintah (Negara) mem-bailout Bank Century bukanlah seperti halnya tindakan suatu perusahaan yang membeli atau menyelamatkan sebuah bank yang sedang collaps.
Dalam kedudukannya seperti itu, keberhasilan tindakan pemerintah tidaklah dapat sekedar diukur in money term, yaitu berapa jumlah uang yang telah dikeluarkan dan berapa yang mungkin akan dapat diterima kembali.
Kalau saja tindakan pemerintah mem-bailout Bank Century benar-benar didasarkan pada suatu keharusan karena situasi dan kondisi ekonomi yang mengharuskan demikian, keuntungan yang diharapkan pemerintah adalah terhindarnya perekonomian nasional dari kehancuran. Dan ini tentunya tidak sebanding, dan akan jauh lebih besar dari sekedar dana yang telah dikeluarkan, karena akan mencakup berbagai aspek kehidupan ekonomi nasional. Oleh karena itu, tindakan mem-bailout itu sendiri tidak dapat dihitung untung-ruginya dengan penjualan asset bank Century di masa datang. Tindakan pemerintah dalam melakukan penyelamatan Negara, dalam hal ini di bidang perekonomian nasional, adalah suatu kewajiban mutlak.
Ini adalah sudut pandang Hukum Keuangan Negara. Konsekuensinya adalah, bahwa kerugian Negara bukanlah dianggap sebagai suatu peristiwa ekonomi. Kerugian Negara adalah suatu peristiwa hukum. Kerugian negara adalah akibat dari suatu perbuatan melawan hukum (onrechtmatig daad). Artinya, tidak akan pernah terjadi kerugian Negara sepanjang tidak terjadi perbuatan melawan hukum. Ini terutama bila dikaitkan dengan tindakan penanganan korupsi.
Sementara itu, kerugian Negara itu sendiri diartikan sebagai sesuatu yang nyata. Yaitu, bila penerimaan yang seharusnya diterima Negara ternyata tidak diterima, atau pengeluaran yang seharusnya tidak dilakukan, tetapi tetap dilakukan, sehingga secara nyata mengakibatkan berkurangnya kekayaan milik Negara. Dan kerugian Negara ini dengan jelas dinyatakan pada suatu suatu saat tertentu dalam suatu tahun anggaran. Bukan dalam 10 atau 15 tahun yang akan datang. Karena konsep seperti itu tidak dikenal dalam Ilmu Hukum Keuangan Negara.
( bersambung . . . . . . . .)