( Rubrik )
Gagasan tentang konsep Badan Layanan Umum (BLU) sebagaimana dikemukakan dalam artikel terdahulu kiranya agak sulit dipahami oleh berbagai pihak tanpa terlebih dahulu memahami konsep pemikiran tentang penerimaan yang dijadikan dasar pembiayaan institusi BLU tersebut.
Oleh sebab itu, sebelum uraian masalah BLU dilanjutkan secara mendalam, ada baiknya terlebih dahulu dibahas penerimaan negara bukan pajak yang merupakan dasar utama pembiayaan BLU.
Luasnya penerapan lingkup penerimaan bukan pajak pada saat ini di Indonesia serta pola penggunaannya yang tampaknya sangat bervariasi telah menimbulkan pertanyaan pada setiap orang tentang apa sebenarnya yang dimaksudkan dengan penerimaan negara bukan pajak. Mengapa penerimaan negara jenis itu diadakan ? Dan bagaimana pengelolaannya ?
Untuk dapat menjawab beberapa pertanyaan mendasar dimaksud, tampaknya kita harus kembali mencermati pemikiran yang terkandung dalam teori Ilmu Keuangan Negara.
Bila kita mengamati teori keuangan negara, akan terlihat beberapa pola klasifikasi, baik di sisi pengeluaran maupun di sisi penerimaan negara. Khusus di sisi penerimaan negara dapat dilihat antara lain pengklasifikasian dalam penerimaan negara dari sektor perpajakan dan dari sektor bukan perpajakan.
Secara historis, klasifikasi penerimaan negara dimaksud merupakan klasifikasi yang paling awal ketika gagasan tentang pengelolaan keuangan negara mulai dikembangkan. Klasifikasi ini semula diilhami oleh perdebatan di dalam lembaga perwakilan rakyat tentang besaran kewajiban yang harus ditanggung oleh masyarakat, dalam bentuk kewajiban perpajakan dan kewajiban lainnya yang terkait dengan layanan masyarakat tertentu dalam rangka pelaksanaan pembiayaan kegiatan pemerintahan negara.
Sektor penerimaan negara yang terkait dengan layanan masyarakat tertentu yang menjadi tanggungjawab pemerintah, menurut kepustakaan, semula dikenal dengan istilah revenue domanial, yaitu merupakan pendapatan negara yang pada hakekatnya bersumber dari semua milik negara, termasuk di dalamnya kekuasaan atau kewenangan tertentu yang dalam pelaksanaannya dapat menghasilkan penerimaan negara. Secara konkrit, penerimaan dimaksud berasal dari penjualan hasil kekayaan alam dan kekayaan yang menjadi milik negara. Disamping itu, penerimaan ini juga berasal dari hasil pemberian fasilitas atau ijin kepada kelompok masyarakat tertentu untuk melakukan kegiatan tertentu. Oleh karena itu, bila diperhatikan, penerimaan jenis ini terserak di berbagai kementrian tergantung pada tugas dan fungsi kementrian yang bersangkutan.
Dari segi gagasan, munculnya penerimaan negara bukan pajak jenis ini ditopang oleh tiga pertimbangan, yaitu : pertama, pertimbangan keadilan; kedua, pertimbangan bahwa dalam pemungutan tersebut terkandung hak dan kewajiban pemerintah yang terkait secara langsung; dan ketiga, pertimbangan bahwa pengeluaran yang dilakukan pemerintah merupakan fungsi dari penerimaannya.
Prinsip keadilan
Penyediaan layanan dasar yang dibutuhkan oleh masyarakat pada umumnya , yang dikenal dengan istilah public goods, pada prinsipnya merupakan kewajiban Pemerintah yang harus disediakan secara cuma-cuma (free of charge). Layanan dasar tersebut, menurut berbagai kepustakaan, berupa keamanan dan ketertiban, kesehatan, pendidikan, keadilan, dan semua layanan yang tergabung dalam kelompok pekerjaan umum pemerintah.
Kewajiban inilah yang kemudian menimbulkan pertanyaan darimana pendanaan untuk pembiayaan penyediaan layanan tersebut dapat diperoleh. Respon yang kemudian lahir adalah diciptakannya berbagai pungutan pemerintah yang bersifat memaksa dan tanpa diberikan imbalan, yang selanjutnya kita kenal dengan pungutan pajak. Pungutan yang bersifat memaksa tersebut dirasakan wajar. Hal ini mengingat public goods memiliki ciri utama yang berupa non-excludability, yang artinya tidak seorangpun dapat dikecualikan untuk menikmati layanan tersebut. Oleh sebab itulah pungutan pajak itupun secara prinsip bersifat non excludable, artinya tidak seorang pun dapat dikecualikan dari pungutan pajak.
Disamping layanan dasar yang dibutuhkan masyarakat pada umumnya, terdapat pula layanan semi dasar yang hanya dibutuhkan oleh sekelompok masyarakat tertentu. Sebagaimana halnya layanan dasar, penyediaan layanan semi dasar ini pun pada hakekatnya merupakan kewajiban pemerintah. Hanya karena sifatnya yang agak eksklusif, sehingga tidak semua masyarakat membutuhkannya, secara teori, dipandang tidak adil bila layanan semi dasar ini harus dibiayai melalui penerimaan perpajakan yang ditanggung oleh seluruh masyarakat.
Atas dasar pemikiran di atas, penyediaan layanan semi dasar tersebut kemudian dilakukan melalui pola cost sharing. Artinya, masyarakat pengguna layanan semi dasar pemerintah tersebut diwajibkan membiayai sebagian dana yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk penyediaan layanan dimaksud.
Dalam beberapa jenis layanan tertentu yang sifatnya lebih eksklusif, masyarakat diwajibkan membayar sebagian besar biaya layanan diterimanya. Dalam hal yang demikian, pungutan terhadap masyarakat atas layanan tersebut bukan hanya untuk membiayai proses produksi jasa dalam penyediaan layanan itu sendiri, tetapi juga merupakan penerimaan Negara dalam arti sebenarnya yang dalam berbagai kepustakaan tentang Keuangan Negara dikenal sebagai administrative tax. Namun demikian, yang harus diperhatikan adalah bahwa penerimaan dimaksud tetap merupakan earmarked revenue, yaitu sejenis penerimaan yang dikaitkan dengan suatu pengeluaran tertentu.
Mengandung hak dan kewajiban Negara
Bila dicermati konsep pemikiran tersebut di atas, kendati tidak harus menanggung pembiayaan secara keseluruhan, pada hakekatnya, kewajiban menjamin tersedianya layanan tertentu kepada masyarakat tertentu tersebut ada di tangan Pemerintah. Hal ini tidak dapat dipisahkan dengan peran pemerintah sebagai otoritas. Oleh karena itu, dengan mengacu pada prinsip cost sharing dalam penyediaan layanan tertentu kepada masyarakat tertentu tersebut hak Pemerintah untuk memungut penerimaan dari masyarakat tersebut, di satu sisi, diikuti oleh kewajiban, di sisi lainnya. Kewajiban dimaksud dapat dibedakan dalam dua hal, yaitu kewajiban substantif dan kewajiban teknis atau kewajiban operasional.
Kewajiban substantif adalah kewajiban pemerintah terkait dengan kompetensinya selaku pemegang otoritas dalam pemerintahan. Kewajiban ini melekat pada pemerintah dan tidak dapat didelegasikan kepada siapa pun. Secara konkrit, kewajiban substantif ini dilaksanakan oleh kementrian/ lembaga beserta jajarannya dalam bentuk pelaksanaan tugas dan fungsinya.
Sementara itu, kewajiban teknis merupakan kewajiban pemerintah untuk mendukung terwujudnya layanan yang dibutuhkan oleh sekelompok masyarakat tersebut. Kewajiban ini dapat berupa kegiatan, penyediaan sarana maupun prasarana yang memungkinkan proses penyediaan layanan pemerintah dimaksud menjadi lebih mudah. Kewajiban ini, karena sifatnya merupakan pemberian dukungan (supportive activity), dapat dilakukan oleh pemerintah sendiri atau dilakukan oleh pihak-pihak lain, sepanjang pemerintah, karena alasan tertentu, misalnya : ketersediaan alokasi anggaran, teknologi, ataupun alasan efisiensi, belum dapat melaksanakan sendiri. Dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah, bahwa produk yang mendukung jasa layanan pemerintah tersebut harus sesuai dengan standard, norma, maupun kebutuhan pemerintah dalam pemberian layanan, dan juga yang lebih penting harus mampu mendukung peningkatan kualitas layanan itu sendiri.
Pengeluaran merupakan fungsi penerimaan
Sebagai earmarked revenue penerimaan negara ini memiliki ciri khusus dibandingkan dengan penerimaan dari sektor perpajakan. Terkaitnya penerimaan jenis ini dengan pengeluarannya membawa konsekuensi bahwa setiap terjadi peningkatan dalam penerimaan akan sekaligus mempengaruhi besaran pengeluaran yang bersangkutan. Hal ini tentunya dapat dipahami, karena semakin tinggi penerimaan menunjukkan telah terjadi peningkatan kebutuhan masyarakat terhadap layanan tertentu dimaksud. Hal ini membawa konsekuensi bahwa pemerintah harus menambah produksi layanan yang dibutuhkan. Dan konsekuensinya, kebutuhan anggaran untuk kegiatan tersebut secara otomatis akan meningkat.
Hal ini berbeda dengan penerimaan dari sektor perpajakan. Meningkatnya penerimaan negara dari sektor perpajakan belum pasti disebabkan karena adanya peningkatan kegiatan pemerintah yang dibiayai dari sektor ini, karena penerimaan dari sektor perpajakan tidak dikaitkan secara langsung dengan pengeluaran tertentu. Oleh karena itu, peningkatan penerimaan di sektor perpajakan mungkin saja akan meningkatkan pengeluaran pemerintah pada umumnya, atau kemungkinan akan meningkatkan saldo lebih pada akhir tahun anggaran.
B. PENDEKATAN PRAKTIS
Penerapan konsep tersebut di atas dalam pelaksanaan dapat dilihat melalui dua aspek, yaitu aspek yuridis-administratif dan aspek implementatif.
Aspek yuridis-administratif
Seperti pula halnya semua penerimaan dan pengeluaran negara pada umumnya, penerimaan negara bukan pajak dan juga pengeluaran yang dibiayai dari penerimaan tersebut, pada prinsipnya, harus dicatat secara teratur dalam tata pembukuan pemerintah yang dilakukan di masing-masing kementrian. Disamping itu, penerimaan ini pun harus tunduk pada aturan baku tentang pengelolaan Keuangan Negara.
Oleh karena itu, walaupun penerimaan negara bukan pajak dikecualikan dari prinsip non-affectation, sesuai dengan sifat penerimaan dan pengeluarannya, berbagai prinsip utama dalam pengelolaan keuangan negara seperti prinsip-prinsip periodisitas, spesialitas, universalitas, dan prinsip pencatatan secara bruto harus tetap dipertahankan.
Dengan mengacu pada prinsip-prinsip di atas, penerimaan negara bukan pajak wajib disetorkan ke Kas Negara tepat pada waktunya sesuai dengan jumlah yang diterima, dan hanya dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran yang telah ditentukan dalam periode tahun anggaran yang sama.
Aspek implementatif
Beberapa kritik yang muncul dalam pelaksanaan penerimaan negara bukan pajak ini antara lain adalah bahwa penggunaan dana yang diterima dari masyarakat pengguna layanan tertentu tersebut sering terkendala aturan birokratis. Hal ini pada gilirannya menyebabkan kualitas layanan tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh masyarakat. Rendahnya kualitas layanan pemerintah tersebut bukan saja diwujudkan dalam norma waktu yang relatif lama, tetapi juga dalam kualitas layanan dalam arti yang sebenarnya.
Hal yang demikian dapat dipahami, mengingat penggunaan penerimaan negara bukan pajak tetap terikat pada sistem dan prosedur umum yang berlaku dalam pengelolaan keuangan negara. Ketentuan yang mengharuskan bahwa semua penerimaan dan pengeluaran Negara tercatat dalam anggaran pendapatan dan belanja negara, dan baru dapat dipergunakan setelah diotorisasikan oleh lembaga legislatif membuat penerimaan maupun pengeluaran jenis ini tidak memiliki perbedaan maupun fleksibilitas sebagaimana diharapkan. Hal tersebut masih ditambah lagi dengan prosedur pengeluaran negara yang seringkali cukup berbelit.
2 comments:
Pak Siswo Yth,
Saya adalah seorang praktisi di bidang pengelolaan keuangan di suatu kementrian/ lembaga. Saya selalu mengikuti penjelasan/ pencerahan Bapak tentang masalah-masalah keuangan Negara di blog Bapak. Terima kasih pak, saya dapat memperoleh penjelasan yang sangat komprehensif khususnya tentang pemikiran/ filosofi berbagai keputusan pemerintah di bidang pengelolaan keuangan Negara.
Pak Siswo
Saya sangat tertarik dengan tulisan Bapak yang terakhir ini, yaitu tentang Penerimaan Bukan Pajak (PNBP). Berbagai kasus muncul di kementrian2/ lembaga terkait dengan masalah PNBP ini. Satu kasus yang sangat sering muncul di koran2 antara lain adalah kasus di berbagai universitas negeri. Di Universitas negeri banyak pungutan ‘resmi’ yang dikaitkan dengan kegiatan pendidikan yang tidak disetorkan ke kas negara, kemudian di gunakan langsung oleh rektor ataupun pejabat lain seijin rektor yang katanya untk menutup biaya penyelenggaraan perkuliahan. Disamping itu, ada juga pungutan ‘resmi’ kepada orang tua mahasiswa yang bersifat sukarela yang katanya juga untuk menunjang kegiatan pendidikan, spt mis: biaya promosi/ pelantikan dosen, bantuan bea siswa dosen, biaya perjalanan dinas para pejabat universitas. Bagaimana praktek tersebut menurut Bapak, dilihat dari teori sebagaimana Bapak jelaskan ? Apakah pungutan2 tersebut juga merupakan PNBP yang harus disetorkan ke Kas Negara ?
Satu lagi pak, kasus heboh yang melibatkan bekas Menhukham (Yusril) tentang Misbakhum yang konon jumlahnya miliaran rupiah. Mengingat pungutan tersebut dilakukan oleh departemen hukham, apakah menurut Bapak pungutan Misbakhum tersebut merupakan PNBP ?
Terima kasih pak atas pencerahannya. Saya yakin penjelasan Bapak banyak diharapkan oleh berbagai pihak terutama para praktisi di universitas2 agar mereka tidak salah melangkah.
Wassalam,
Joko Wahono
Yth Pak Siswo
Saya seorang pegawai yang mengelola PNBP pada satu kementerian. Saya ingin bertanya, dalam UU no. 20 tahun 1997 tentang PNBP Pasal 4 antara lain diatur bawah PNBP wajib disetor SECEPATNYA ke kas negara. Yang ingin saya tanya, pengertian SECEPATNYA ini seperti apa dalam pandangan Bpk. Saya coba cari referensi lain, tp tidak diatur secara tegas berapa lama uang PNBP harus disimpan ke kas negara. Kalau harus disetor 1 x 24 jam segera setelah uang diterima, mungkin pada beberapa jenis PNBP bisa dilaksanakan. Tp bagi sebagaian jenis PNBP yg lain, hal ini sangat susah. Contoh kalo PNBP itu sangat kecil, buat setor ke bank aja sangat jauh dan memakan ongkos lebih besar dari PNBP yang akan disetor. Kalau dikumpulkan dulu baru disetor, nanti dianggap salah... Karena ini yang sering menjadi temuan pemeriksa (BPK, BPKP) dan membingungkan sebagian besar K/L pengelola PNBP. Mohon arahan Bpk tentang bagaimana filosofi "SECEPATNYA" ini idealnya diterapkan sehingga tidak mengganggu mekanisme dalam pengelolaan keuangan negara. Berapa hari sebaiknya PNBP ini mulai diterima sampai disetor ke kas negara. Terima kasih dan mohon penjelasannnya secepatnya.
Wassalam
agusm4p@yahoo.com
Post a Comment