(Tanggapan)
Pak Siswo Yth,
Saya adalah seorang praktisi di bidang pengelolaan keuangan di suatu kementrian/ lembaga. Saya selalu mengikuti penjelasan/ pencerahan Bapak tentang masalah-masalah keuangan Negara di blog Bapak. Terima kasih pak, saya dapat memperoleh penjelasan yang sangat komprehensif khususnya tentang pemikiran/ filosofi berbagai keputusan pemerintah di bidang pengelolaan keuangan Negara.
Pak Siswo
Saya sangat tertarik dengan tulisan Bapak yang terakhir ini, yaitu tentang Penerimaan Bukan Pajak (PNBP). Berbagai kasus muncul di kementrian2/ lembaga terkait dengan masalah PNBP ini. Satu kasus yang sangat sering muncul di koran2 antara lain adalah kasus di berbagai universitas negeri. Di Universitas negeri banyak pungutan ‘resmi’ yang dikaitkan dengan kegiatan pendidikan yang tidak disetorkan ke kas negara, kemudian di gunakan langsung oleh rektor ataupun pejabat lain seijin rektor yang katanya untk menutup biaya penyelenggaraan perkuliahan. Disamping itu, ada juga pungutan ‘resmi’ kepada orang tua mahasiswa yang bersifat sukarela yang katanya juga untuk menunjang kegiatan pendidikan, spt mis: biaya promosi/ pelantikan dosen, bantuan bea siswa dosen, biaya perjalanan dinas para pejabat universitas. Bagaimana praktek tersebut menurut Bapak, dilihat dari teori sebagaimana Bapak jelaskan ? Apakah pungutan2 tersebut juga merupakan PNBP yang harus disetorkan ke Kas Negara ?
Satu lagi pak, kasus heboh yang melibatkan bekas Menhukham (Yusril) tentang Misbakhum yang konon jumlahnya miliaran rupiah. Mengingat pungutan tersebut dilakukan oleh departemen hukham, apakah menurut Bapak pungutan Misbakhum tersebut merupakan PNBP ?
Terima kasih pak atas pencerahannya. Saya yakin penjelasan Bapak banyak diharapkan oleh berbagai pihak terutama para praktisi di universitas2 agar mereka tidak salah melangkah.
Wassalam,
Joko Wahono
Saudara Joko yth,
Terima kasih atas kunjungannya ke Blog saya. Mulai tulisan yang lalu, saya mencoba untuk dapat lebih akrab dengan rekan-rekan yang mengunjungi Blog saya. Saya ingin agar diskusi yang terjadi seolah interaksi langsung antara kita. Oleh sebab itu, saya memasukkan pertanyaan dalam artikel yang merupakan jawaban, bila ternyata jawaban yang saya berikan perlu diketahui banyak pihak, dan juga cukup panjang yang memerlukan kolom lebih leluasa. Untuk menjawab pertanyaan Saudara dapat saya sampaikan penjelasan seperti di bawah ini.
DUA KUNCI POKOK
Dengan mencermati apa yang telah saya tulis dalam artikel saya beberapa waktu yang lalu, sebenarnya sudah dapat diperoleh suatu jawaban yang jelas. Namun, seringkali banyak pihak terkecoh oleh keraguan diri sendiri sebagai akibat penafsiran yang kurang tepat. Pertimbangan antara pungutan resmi dan pungutan tidak resmi; atau, sering memperhatikan ketentuan yang selama ini selalu dijadikan momok para pengelola keuangan Negara, yaitu antara disetorkan ke Kas Negara atau dipakai langsung tanpa disetorkan ke Kas Negara.
Pertimbangan pungutan resmi dan tidak resmi, pada hakekatnya, terkait dengan formalitas ketentuan perundang-undangan yang mempermasalahkan hak negara. Sementara, setor dan tidak setor ke Kas Negara merupakan tata kelola administratif. Namun, keduanya bukan merupakan kunci yang dapat mengungkapkan apakah pungutan tersebut merupakan penerimaan negara bukan pajak ataukah merupakan pungutan lainnya.
Untuk dapat mencandra dengan jelas apakah suatu pungutan merupakan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dua pertanyaan harus dapat dijawab dengan positip tanpa ada keraguan.
Mengacu pada penjelasan teoritik yang sudah diuraikan dalam artikel terdahulu, pertanyaan pertama adalah, apakah layanan yang dibutuhkan oleh masyarakat merupakan kewajiban pemerintah ? Pertanyaan berikutnya adalah, apakah sebagian penerimaan yang dipungut tersebut digunakan untuk memproduksi layanan yang diberikan kepada masyarakat pengguna dan sebagian lagi disetorkan ke Kas Negara ?
Bila jawaban keduanya adalah ‘ya’, pungutan yang dilakukan oleh instansi pemerintah tersebut merupakan PNBP. Konsekuensinya, penerimaan tersebut harus mengikuti prosedur baku, yaitu disetorkan terlebih dahulu ke Kas Negara, baru sebagian dana yang digunakan untuk proses produksi dapat diajukan ke Kas Negara sesuai koefisien yang telah ditetapkan untuk dapat digunakan oleh instansi pengguna. Dalam hal tertentu, karena penyetoran ke Kas Negara sebelum digunakan oleh instansi pengguna secara esensi hanya merupakan kiat agar terjamin ketertiban administratif, tidak jarang pelaksanaannya sangat longgar. Yang penting bagi pemerintah, dalam hal ini Bendahara Umum Negara, adalah bahwa seluruh penerimaan tersebut wajib dilaporkan, dicatat, dan dipergunakan secara bertanggungjawab.
Mencermati kasus yang Saudara sampaikan saya cenderung berpendapat bahwa pungutan resmi yang digunakan langsung untuk membiayai perkuliahan merupakan PNBP. Dengan berasumsi bahwa penggunaan dana/ pungutan tersebut dapat dipertanggunjawabkan dengan benar sesuai ketentuan yang ada, permasalahan yang muncul dalam kasus tersebut, menurut hemat saya, lebih bersifat tidak mematuhi ketentuan administratif.
Sedangkan pada pungutan jenis kedua, saya merasakan ada kejanggalan. Bukan karena pungutan tersebut bersifat sukarela, melainkan penggunaan pungutan tersebut bukan untuk proses memproduksi layanan yang dibutuhkan oleh pengguna. Kalau boleh saya berpendapat, sesuai teori yang saya sajikan dalam artikel yang lalu, saya cenderung menyatakan bahwa pungutan tersebut tidak memiliki landasan konsepsi yang benar, sehingga dapat dikelompokkan pada pungutan yang tidak syah. Kendati, mungkin ditetapkan oleh pejabat yang berwenang.
Lantas pertanyaan selanjutnya yang menanyakan apakah penerimaan dimaksud harus disetorkan ke Kas Negara ? Untuk penerimaan yang pertama, jawabannya adalah jelas: ya, harus disetorkan ke Kas Negara sesuai ketentuan.
Sedangkan untuk jenis pungutan yang kedua, saya memerlukan informasi yang lebih rinci, yaitu : apakah ada ketetapan yang diputuskan oleh pejabat universitas, apakah terdapat jumlah minimum yang harus diserahkan oleh orang tua mahasiswa sebagai sumbangan sukarela, apakah bagi orang tua yang tidak menyumbang, mahasiswa yang bersangkutan tidak dikenakan sanksi dalam bentuk apa pun ?
Tiga pertanyaan tersebut sangat penting artinya. Bila kita kembali mencermati artikel beberapa waktu lalu dalam blog ini, pernah saya sampaikan bahwa untuk menandai suatu pungutan merupakan penerimaan negara adalah, pertama, pungutan tersebut ditetapkan oleh pejabat yang berwenang; kedua, dideklarasikan/ diumumkan pemungutannya kepada masyarakat; dan ketiga, dipaksakan—artinya mengandung sanksi.
Bila ke tiga unsur tersebut terpenuhi, setoran tersebut merupakan penerimaan Negara. Oleh karena itu harus disetorkan ke Kas Negara. Sedangkan, bilamana unsur-unsur tersebut tidak terpenuhi, seyogyanya pungutan tersebut segera dihentikan untuk menghindarkan ekses negatif yang mungkin timbul. Dalam pada itu, pungutan yang tergolong tidak syah tersebut juga harus disetorkan ke Kas Negara, karena dipungut oleh pejabat pemerintah, dan dengan menggunakan fasilitas pemerintah.
MISBAKHUM BUKAN SISMINBAKUM
Sebenarnya saya kurang jelas terhadap pertanyaan Saudara yang kedua ini. Kasus Misbakhum yang anggota DPR itu rasanya bukan terkait dengan kasus pak Yusril di Menkumham, yaitu Sisminbakum.
Kalau boleh saya berandai-andai bahwa pertanyaan saudara adalah kasus Sisminbakum, jujur saja, sebenarnya tidak ingin saya memberikan jawaban tentang masalah ini, karena kasus itu sendiri masih dalam proses diskusi panjang yang memerlukan pembuktian berbagai pihak.
Namun demikian, karena diskusi ini bersifat terbuka, ilmiah karena didasarkan pada konsepsi teoritik, penjelasannya tentunya tidak berbeda dengan konsep teoritik yang telah saya uraikan di atas ataupun pada artikel sebelumnya.
Kalau saja pungutan tersebut memang dilakukan oleh Pemerintah, dalam hal ini Kementrian Hukham, sebagaimana Saudara sampaikan, dan digunakan oleh instansi yang bersangkutan untuk memproses produk layanan yang dibutuhkan oleh masyarakat dengan menggunakan peralatan milik pemerintah, pungutan Sisminbakum yang dilakukan merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Untuk itu, Kementrian Hukham memiliki kewajiban untuk menyetorkan pungutan tersebut ke Kas Negara.
Namun demikian sebaliknya, bila pemerintah (dalam hal ini Kemen Hukham) tidak melakukan kegiatan memproses produk layanan yang dibutuhkan oleh masyarakat pengguna, pemerintah tidak berhak memungut biaya produksi yang seharusnya dilakukannya. Bila demikian halnya, pungutan Sisminbakum bukan merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), sehingga tidak harus disetorkan ke Kas Negara.
Hal yang demikian merupakan kewajaran sebagaimana disampaikan dalam penjelasan pada artikel sebelumnya, bila pemerintah tidak melakukan kewajiban teknisnya, pemerintah tidak akan memungut biaya atas layanan tersebut.
Demikian yang dapat saya sampaikan. Semoga bermanfaat.