(Tanggapan)
INTRODUKSI
Seorang pengunjung blog saya menyampaikan keprihatinannya bahwa sudah menjadi rahasia umum bila pejabat di negara ini selalu menerima honor tertentu baik dari kementrian lain maupun yang diperoleh secara internal dari institusinya. Dari hasil pengamatannya, gejala seperti ini bahkan sudah marak sampai ke tingkat pegawai pada umumnya. Sementara itu, sebagaimana sering kita dengarkan, bahwa para pejabat itu sendiri justru berpendapat setiap honor yang mereka terima adalah syah, asalkan arah tujuan kegiatannya jelas dan semua yang berkontribusi dalam kegiatan dimaksud ditetapkan dalam suatu surat keputusan.
Dia sendiri pun mengatakan bahwa dia bukanlah orang yang munafik. Dia pun pernah menerima honor semacam itu. Hanya saja nuraninya menjadi sangat terusik, ketika berbagai pihak mulai mempertanyakan keabsahan pendapatan seperti itu. Padahal, dia benar-benar berkontribusi dan berperan-serta dalam pengurusan administrasi dan pencairan dana di suatu instansi di kementrian keuangan.
Apakah dia masuk kelompok orang-orang yang melakukan tindakan korupsi ? Ataukah dia merupakan korban pandangan masyarakat yang dengan mudahnya memberikan ‘ vonis ‘ bahwa suatu kejadian/ tindakan merupakan tindakan yang bersifat koruptif ?
PERBUATAN KORUPSI MERUPAKAN TINDAKAN MELAWAN HUKUM
Setelah berpikir cukup lama dan mempertimbangkan berbagai aspek, akhirnya saya berpendapat bahwa masalah tersebut di atas cukup bermanfaat untuk didiskusikan lebih lanjut.
Dalam kaitan ini, dua hal paling tidak yang saya pikirkan. Pertama, akan memberikan kejelasan kepada berbagai pihak yang kebetulan bergerak di lingkungan penegakan hukum, agar tidak dengan mudahnya mem’vonis’ suatu tindakan masuk dalam tindakan yang dapat dikategorikan sebagai tindakan koruptif; kedua, akan memberikan kejelasan kepada masyarakat pada umumnya tentang apa sebenarnya tindakan-tindakan yang dapat dikelompokkan sebagai suatu tindakan koruptif, sehingga dapat menghindarkan diri dari sikap fitnah ketika mengamati tindakan pejabat pemerintah dalam melaksanakan tugas kepemerintahannya.
Dari pengamatan saya selama beberapa tahun, terutama dalam kapasitas saya sebagai ahli Hukum Keuangan Negara, berbagai pihak begitu mudahnya menyatakan bahwa suatu tindakan (pejabat pemerintah) sebagai tindakan korupsi. Terkadang hanya dengan ‘merasa-rasakan’ dan mencoba menafsirkan sendiri berbagai pasal dalam suatu ketentuan, misalnya tentang pelaksanaan anggaran atau tentang pengadaan barang dan jasa, seseorang sudah dapat menuduh seorang pegawai pemerintah melakukan tindak pidana korupsi.
Bahkan, terkadang hanya dengan mengutip pasal-pasal tertentu dari suatu ketentuan perundang-undangan yang kebetulan dijadikan acuan secara internasional atau pun praktek di negara lain, pihak-pihak tertentu dapat menyatakan bahwa telah terjadi suatu tindakan korupsi di negara ini. Penafsiran (analogis) yang kurang berdasar inilah yang seringkali membuat masyarakat menjadi bingung dan bahkan mampu menimbulkan kondisi traumatik kepada para pejabat pemerintah atau kepada para penyelenggara pemerintahan.
Padahal, menurut hemat saya, kunci pemahaman tentang tindakan korupsi dengan jelas tercermin dalam pasal 2 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. Dalam pasal tersebut dapat dilihat unsur-unsur yang kemudian membentuk suatu tindakan yang selanjutnya dapat dikategorikan sebagai tindakan korupsi. Secara pribadi, saya bahkan berpendapat, pengertian itu sendiri tidak dapat ditafsikan sebagaimana tertuang dalam berbagai pasal lainnya yang, bila dicermati, tidak lebih hanya merupakan perluasan dari pengertian korupsi itu sendiri.
Dengan mencermati pasal tersebut di atas, kita dapat melihat bahwa korupsi, pada hakekatnya, merupakan suatu proses yang melibatkan person (pihak-pihak tertentu) dan Negara. Oleh karena itu, dalam proses tersebut, harus terdapat hubungan antara pihak-pihak tertentu dengan negara. Artinya, bahwa tindakan korupsi hanya dapat terjadi bila terdapat interaksi antara pihak-pihak tertentu dengan Negara. Unsur yang kedua adalah bahwa dalam interaksi tersebut pihak-pihak tertentu telah melakukan suatu tindakan secara melawan hukum. Dan selanjutnya, bahwa tindakan melawan hukum tersebut telah mengakibatkan kerugian kepada Negara.
ANTARA TUGAS, TANGGUNGJAWAB, DAN IMBALAN
Kalau kita mengamati sistim penggajian di Negara kita, khususnya untuk pegawai pemerintah, kita tidak akan pernah tahu secara pasti bagaimana sebenarnya keterkaitan antara tugas-tugas yang harus dilakukan oleh para pegawai pemerintah dengan imbalan yang diberikan kepada para pegawai tersebut.
Selama ini persepsi masyarakat pada umumnya menyatakan bahwa tugas-tugas layanan publik (yang dilakukan oleh para pegawai pemerintah) merupakan suatu rangkaian tugas dalam bentuk ban berjalan. Tugas seorang pegawai di setiap titik tugas hanyalah melanjutkan tugas dari pegawai sebelumnya. Oleh karena itulah penyelesaian tugas tersebut merupakan tanggungjawab bersama. Hal ini berakibat terhadap pola pemberian imbalan/ system penggajian yang kemudian tampak hanya didasarkan pada pemerataan.
Dengan mengacu pada ilustrasi di atas, selanjutnya dapat dikatakan bahwa tugas seorang pegawai pemerintah pada tingkatan tertentu merupakan tugas yang sangat spesifik. Secara pribadi, saya tidak ingin mengatakan bahwa tugas tersebut bersifat spesialistis, tetapi lebih cenderung mengatakan tugas yang diemban para pegawai pemerintah tersebut berdimensi sangat sempit. Misalnya, hanya berupa penyelesaian mengenai hal-hal yang bersifat operasional dan administratif. Tanpa memiliki pretensi melebih-lebihkan, tampaknya di negara-negara lain yang pernah saya kunjungi tugas-tugas yang dilaksanakan oleh pegawai pemerintah pada umumnya tidak jauh berbeda bila dilihat dari segi substansi.
Dalam hal ini, tugas maupun tanggungjawab para pegawai pemerintah tentunya tidak dapat disebandingkan dengan tugas para manajer ataupun professional independent employe yang bersifat analitis, konsepsional, dan komprehensif. Mereka punya tugas dan tanggungjawab yang jauh lebih luas dimensinya. Kita tentunya tidak dapat mengatakan bahwa para pegawai pemerintah bukan merupakan profesional. Mereka adalah professional by definition. Namun, seperti yang telah dikemukakan, mereka mempunyai lingkup tugas dan tanggungjawab profesional yang lebih sempit, dan jenis tugas yang berkategori operasional-administratif.
Ujung dari semua perbedaan tugas dan tanggungjawab keduanya adalah terletak pada imbalan, atau istilah yang lebih ngetrend sekarang adalah remunerasi. Kalau diperhatikan, terlepas dari ketersediaan dana anggaran (budget availability) maupun aspek lainnya yang tampaknya perlu dijadikan pertimbangan, keluasan lingkup tugas dan tanggungjawab itulah yang kemudian membedakan remunerasi antara kedua kelompok dimaksud.
Namun, dalam kenyataan yang lain, di Indonesia batas dan lingkup tugas maupun tanggungjawab pegawai pemerintah pada tingkat tertentu (baca : tingkat menengah ke atas) justru kadang terlalu luas. Seringkali tidak dapat lagi dibedakan apakah dia seorang pegawai pemerintah sebagai pelayan publik dengan tugas semata-mata menyediakan layanan publik, ataukah seorang professional dengan tugas dan tanggung jawab yang sangat luas, yang melakukan desain, analisis, ataupun menyusun konsep-konsep layanan publik.
Dalam mencermati situasi seperti ini, semua pihak hendaknya mampu memberikan analisis dengan bijak, rasional, dan adil. Jangan menggunakan peralatan analisis yang kurang tepat, karena akan memberikan kesimpulan yang tidak benar.
PERBAIKAN SISTEM
Terkait dengan hal-hal tersebut di atas, pertanyaan yang seharusnya dijawab oleh semua pihak, terutama oleh Pemerintah, adalah siapakah sebenarnya yang bertugas dan bertanggungjawab untuk menyelesaikan tugas yang bersifat non - administratif operasional di setiap kementrian/ lembaga ? Sebut saja misalnya dalam hal penyusunan ketentuan yang akan digunakan oleh kementrian/ lembaga tersebut dalam melaksanakan kewajibannya menyediakan layanan publik, atau misalnya penyusunan ketentuan tentang pengelolaan keuangan Negara yang akan digunakan oleh semua kementrian/ lembaga secara nasional.
Rasanya kita hampir yakin bahwa pertanyaan yang sederhana tersebut tidak akan mudah dijawab oleh siapa pun.
Berbagai pihak dapat saja menyatakan bahwa institusi semacam itu telah ada di berbagai kementrian/ lembaga. Tetapi, bila diamati secara lebih seksama, institusi yang ada ternyata tidak lebih hanya merupakan leading institution yang memiliki kapasitas membentuk suatu gugus tugas ataupun kelompok/ tim kerja dengan elemen dari institusi pemerintah lainnya. Sementara itu, para anggotanya merupakan pegawai-pegawai pemerintah dari kementrian lain.
Nah, kembali dalam konteks permasalahan yang menjadi pokok bahasan dalam tulisan ini, layakkah para pegawai pemerintah yang menjadi anggota Tim kerja memperoleh imbalan atau honor ?
Dengan mengacu pada uraian di atas, secara pribadi, saya mengatakan LAYAK. Mengapa ? Karena para pegawai pemerintah tersebut bertindak sebagai nara sumber (resource person). Mereka telah melakukan tugas di luar kewajiban dan tanggungjawab pokoknya. Oleh karena itu, sebagai profesional mereka harus diberikan penghargaan (professional fee).
Hal yang demikian tentunya berbeda dengan para konsultan atau para profesional lainnya yang cakupan tugasnya sangat luas. Oleh karena itu, mereka tidak pernah bekerja di luar tugas yang menjadi tanggungjawabnya.
Terhadap pernyataan di atas, saya yakin banyak pihak yang kemudian kurang sependapat, karena toh para pegawai pemerintah tersebut melaksanakan tugas ‘profesionalnya’ di dalam jam dinas, sehingga menurut mereka telah terjadi korupsi waktu yang secara tidak langsung dapat merugikan Negara.
Nah, kalau itu argumennya, mengapa dosen-dosen di berbagai universitas negeri tidak dinyatakan saja sebagai koruptor, karena kebanyakan mereka hidupnya mendua, ya jadi dosen, ya jadi konsultan teknis di berbagai perusahaan atau bahkan di instansi-instansi pemerintah. Padahal, mereka seharusnya berkonsentrasi mengajar dengan menggunakan seluruh waktunya untuk melakukan persiapan, melakukan penelitian untuk meningkatkan kualitas dirinya dan mahasiswanya. Lho, gimana dong ini ? Sementara itu, kalau pegawai pemerintah, untuk menjadi anggota tim kerja memerlukan ijin dari pimpinannya. Artinya, mereka mendapatkan ijin untuk menggunakan sebagian kecil waktu dinasnya untuk membantu menyelesaikan tugas terkait dengan tugas-tugas pemerintahan di luar tugas pokoknya.
P E N U T U P
Uraian di atas diharapkan dapat memberikan ilustrasi yang jelas tentang sebagian tindakan yang tidak seharusnya dinyatakan sebagai tindakan koruptif.
Semua pihak diharapkan mampu menahan diri untuk tidak membuat penafsiran menurut versi masing-masing dan menghakimi pihak-pihak tertentu dengan menyusun dalil-dalil hukum yang sebenarnya tidak cukup dasar konsepsinya.
Adapun pemborosan anggaran Negara yang terjadi karena banyaknya tim kerja, sehingga ditinjau dari sudut penggunaan anggaran menunjukkan efektifitas yang rendah, seharusnya dilihat sebagai budget mismanagement. Bukan sebagai suatu tindakan koruptif dari pejabat pengelolanya. Oleh karena itu, harus ditelusuri dengan cermat, sehingga dapat diperoleh kepastian apakah telah terjadi kesalahan manajemen, kesalahan administrasi yang mengakibatkan menurunnya efektifitas penggunaan dana anggaran Negara, ataukah telah terjadi tindakan yang sengaja yang kemudian mengakibatkan terjadinya kerugian Negara.
Pada kesempatan ini, perlu kiranya ditekankan bahwa mengacu pada konsepsi Hukum Keuangan Negara, dalam memastikan terjadi-tidaknya kerugian Negara, harus dapat dibuktikan adanya hubungan sebab-akibat (causaliteit verband) yang jelas antara tindakan itu sendiri dengan kerugian yang diderita oleh Negara. Jadi, tidak sekedar menafsirkan ataupun mengkait-kaitkan bahwa suatu tindakan itu secara tidak langsung akan dapat mengakibatkan kerugian Negara.
Akhirnya, agar tidak sembarangan suatu tuduhan dilontarkan kepada berbagai pihak, mungkin ada baiknya bila kita ingat kembali ucapan para professor ketika kita mengikuti kuliah di fakultas hukum yang kurang lebih mengatakan bahwa : “ bila seorang hakim tidak memiliki keyakinan sepenuhnya terhadap apa yang dituduhkan kepada terdakwa, maka lebih baik dia melepaskan orang yang bersalah daripada menghukum orang yang tidak bersalah.”
Nah, kalau saja ucapan itu dapat dijadikan suatu adagium atau prinsip kehati-hatian, ada baiknya kita semua mengikutinya sebagai suatu acuan. Kalau tidak, apa lagi yang dapat dijadikan acuan ?