INTRODUKSI
Perkembangan keuangan negara, khususnya anggaran negara, pada akhir-akhir ini tampaknya telah sampai pada titik balik. Hukum Wagner yang selama ini dijadikan dasar pembenaran bagi semakin meningkatnya pengeluaran negara, sejak pertengahan tahun 1970-an harus dikaji ulang.
Pernyataan bahwa pengeluaran negara setiap saat akan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya perkembangan masyarakat adalah sesuatu yang tidak dapat disangkal. Hal tersebut merupakan suatu sebab dan akibat.
Adalah suatu kenyataan bahwa semakin berkembang masyarakat, akan semakin meningkat kebutuhannya. Ini terlihat dengan jelas misalnya, bahwa lahirnya kota-kota metropolitan telah menyebabkan berkembangnya wilayah-wilayah penyangga (pinggiran) yang membutuhkan berbagai fasilitas yang diperlukan penduduk baru. Kebutuhan tersebut bukan saja terbatas pada masalah-masalah administratif, melainkan juga pada kebutuhan-kebutuhan yang lebih nyata seperti fasilitas kesehatan, perumahan dan fasilitas umum lainnya. Inilah yang mau tidak mau mendorong terjadinya kegiatan pemerintah yang pada akhirnya mendorong peningkatan anggaran.
Kenyataan ini telah mengakibatkan semakin bervariasinya pengeluaran negara. Pengeluaran negara menjadi semakin tidak terkendali, dan Pemerintah harus selalu mencari sumber-sumber dana baru untuk menutup kebutuhan pendanaan pada setiap tahun.
Statistik tentang perkembangan anggaran negara di berbagai negara di era setelah Perang Dunia ke II hingga awal tahun 70-an menunjukkan anggaran negara yang setiap tahun semakin meningkat secara signifikan. Di lain pihak, perkembangan penerimaan negara untuk menutup kebutuhan pengeluaran negara tersebut telah memaksa pemerintah di berbagai negara untuk menutup melalui program pinjaman negara baik dalam negeri maupun pinjaman luar negeri.
Berbagai analisis telah menunjukkan bahwa biaya penyelenggaran pemerintahan menjadi semakin berat. Dan hal itu mengakibatkan beban masyarakat juga menjadi semakin berat. Masyarakat harus membayar pajak yang setiap tahun semakin meningkat, dan juga bunga hutang yang semakin membengkak. Sementara itu, kualitas layanan masyarakat tidak semakin meningat kualitasnya karena sistem administrasi yang tidak terbenahi dengan baik di satu pihak, dan kualitas personnel yang dipandang kurang memadai, di pihak lain.
DEBUDGETISASI DAN USAHA PERBAIKAN LAYANAN PUBLIK.
Situasi tersebut di atas telah memaksa pemerintah di berbagai negara berpikir ekstra keras. Pemikiran untuk melakukan koreksi terhadap tugas-tugas klasik pemerintah dari hari ke hari terus dikembangkan. Berbagai pertanyaan dimunculkan apakah layanan dasar (public goods) yang selama ini dijadikan acuan berbagai tindakan pemerintah memang tetap harus dipertahankan ? Apakah pemerintah tidak dapat menyerahkan kewajiban pemerintah tersebut kepada pihak-pihak tertentu agar pemerintah dapat mengurangi beban pengeluaran anggarannya ? Dengan kata lain, apakah pemerintah dapat melakukan program debugetisasi dengan tanpa mengabaikan kepentingan masyarakat, terutama terhadap hak-hak azasinya ?
Bila kita mencermati kepustakaan klasik tentang keuangan negara, kegiatan layanan pemerintah yang berupa pertahanan dan keamanan, pendidikan, kesehatan, peradilan, dan pelaksanaan pekerjaan umum merupakan layanan dasar (public goods) yang mutlak harus disediakan oleh pemerintah. Hal ini tidak perlu didiskusikan lebih lanjut, karena kebutuhan masyarakat terhadap layanan dimaksud diamanahkan dalam konstitusi di hampir setiap negara dan dipandang sebagai kebutuhan azasi.
Terkait dengan itu, program debugetiasi haruslah dipandang sebagai akibat. Tidak boleh dilihat sebagai tujuan. Artinya, program debugetisasi seharusnya tidak boleh dilakukan, semata-mata karena pemerintah menghadapi kesulitan pendanaan anggaran. Program tersebut harus dilaksanakan ketika pemerintah benar-benar meyakini bahwa berbagai layanan yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat tersebut, tidak lagi dipandang sebagai kebutuhan dasar seluruh masyarakat. Kebutuhan layanan dasar tersebut sudah berubah menjadi kebutuhan sekelompok masyarakat dan sudah merupakan kebutuhan alternatif.
Kini, dengan semakin berkembangnya situasi sosial-ekonomi masyarakat yang membawa perubahan pula terhadap sistem tata nilai dalam kemasyarakatan, kebutuhan terhadap layanan dasar jenis-jenis tertentu, seperti kesehatan, pendidikan, dan sebagian layanan pekerjaan umum semakin menurun. Layanan tersebut untuk sebagian masyarakat sudah merupakan layanan pilihan (semi publik), atau bahkan sudah merupakan kebutuhan yang bersifat pribadi yang tidak lagi membutuhkan campur tangan pemerintah.
Pergeseran ini, disamping disebabkan oleh hal-hal tersebut di atas, juga antara lain disebabkan karena kualitas layanan pemerintah, termasuk di dalamnya kepastian waktu, yang tidak mampu merespons kebutuhan sebagian masyarakat. Di berbagai negara, karena keterbatasan dana anggaran, pemerintah hanya mampu menjamin layanan minimal terhadap kebutuhan masyarakat (minimum degree of service). Sementara masyarakat dalam kelompok tertentu telah membutuhkan kualitas layanan pada tingkatan yang lebih tinggi (expected degree of service).
Kenyataan inilah yang kemudian mendorong berbagai ahli keuangan negara berpikir bagaimana pemerintah dapat menerapkan efisiensi dalam pelaksanaan penyediaan layanan kepada masyarakat. Bagaimana pemerintah dengan jumlah anggaran yang kini tidak lagi longgar mampu menyelenggarakan layanan yang menjadi kewajibannya kepada masyarakat. Gagasan inilah yang kemudian melahirkan reformasi administrasi pemerintahan yang kemudian dikenal dengan istilah ’first wave reform’.
Reformasi ini bukan saja ditujukan untuk negara-negara yang sedang berkembang, tetapi juga untuk negara-negara maju. Oleh karena tidak dapat dipungkiri bahwa di berbagai negara di dunia sejak berakhirnya Perang Dunia kedua secara kreatif pemerintah telah menciptakan berbagai jenis pengeluaran baru dengan dalih bahwa semua itu untuk membiayai kegiatan yang memang dibutuhkan masyarakat. Ini adalah ekspresi dari hukum Wagner.
Akibatnya, organisasi pemerintahan menjadi sangat gemuk. Dan selanjutnya, semua akan berakibat pada inefisiensi penyelenggaraan pemerintahan dengan pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi sangat mahal.
Di sisi lain, keterbatasan kemampuan perpajakan akan mendorong pemerintah menciptakan jenis-jenis penerimaan baru yang memberatkan masyarakat. Dan yang paling mungkin dilakukan adalah melakukan pinjaman pemerintah, terutama pinjaman luar negeri, yang semakin hari menjadi semakin tidak terkendali.
PUBLIK vs PRIVAT
Diskusi klasik dalam bidang keuangan negara tentang sektor pemerintah dan sektor swasta saat ini memang seharusnya diungkap kembali dan diperluas aspek kajiannya.
Kini, pembahasan seharusnya tidak lagi hanya difokuskan pada bentuk-bentuk barang dan jasa yang menjadi obyek masing-masing sektor ataupun pada motivasi mengapa dua sektor tersebut berbeda dalam memproduksi barang dan jasa. Pembahasan harus mulai difokuskan pada pengamatan terhadap keharusan pemerintah untuk menyediakan barang dan jasa kepada masyarakat. Artinya, perlu dilakukan pengklasifikasian ulang apakah sejumlah barang dan jasa yang dahulunya termasuk dalam kategori barang dan jasa publik dapat diklasifikasikan ke dalam barang dan jasa semi-publik. Dan juga, bagaimana efisiensi dapat dicapai dalam proses produksi barang dan jasa dimaksud dengan mengacu pada sektor swasta. Kita tidak lagi harus memberikan toleransi terhadap persepsi yang melekat selama ini bahwa pemerintah harus memproduksi barang dan jasa sedemikian rupa tanpa harus memperhitungkan segi-segi efisiensi.
Konsep efisiensi yang selama ini ditrapkan di sektor pemerintah yang berbeda dengan sektor swasta harus segera dikoreksi. Perlu ditekankan bahwa dalam memproduksi jenis-jenis barang dan jasa tertentu, konsep efisiensi yang digunakan di sektor swasta harus pula ditrapkan di sektor pemerintah. Pemikiran keliru tentang berapapun biaya untuk memproduksi barang dan jasa pemerintah harus dilakukan demi kesejahteraan masyarakat, harus mulai dikaji ulang penerapannya.
Untuk barang maupun jasa publik yang memiliki kategori strategis yang merupakan barang kebutuhan dasar masyarakat dalam arti sebenarnya (the real public goods), dasar pemikiran Pareto untuk menilai efisiensi dalam memproduksi barang dan jasa publik mungkin masih perlu dipertahankan. Namun, untuk barang dan jasa dengan kategori non-strategis penilaian efisiensi dalam proses produksinya harus menggunakan standar yang digunakan oleh sektor swasta.
JAWABAN TERHADAP TUNTUTAN ZAMAN : lahirnya BLU
Dengan mengacu pada praktek yang dilaksanakan di Eropa, pemerintahan kolonial Belanda menerapkan konsep pembagian peran pemerintah dan swasta dengan jelas. Begitu pula, sesuai dengan pemikiran pada masa itu, dengan pembedaan barang dan jasa publik, semi publik, dan barang jasa swasta.
Dari kacamata Ilmu Hukum Keuangan Negara, keberadaan IBW (Indische Bedrijven Wet) yang menaungi perusahaan-perusahaan pemerintah pada era Hindia Belanda dari segi hukum, pada hakekatnya, merupakan pengakuan bahwa pemerintah bukan hanya memiliki peran sebatas sebagai otoritas, tetapi juga sebagai individu. Di lain pihak, adanya perusahaan-perusahaan yang tunduk pada ketentuan ICW (Indische Comptabiliteits Wet) memberikan gambaran tentang barang-barang dan jasa semi publik yang harus dikelola pemerintah dengan memperhatikan berbagai aspek, khususnya aspek kelembagaan dan anggaran negara.
Dengan berbekal pada kenyataan tersebut di atas, gelombang perubahan yang terjadi di berbagai belahan dunia setelah berakhirnya Perang Dunia ke II di bidang pengelolaan keuangan negara tidak menimbulkan gejolak yang signifikan di Indonesia.
Lahirnya Undang-undang Bidang Keuangan Negara, khususnya Undang-undang Keuangan Negara dan Undang-undang Perbendaharaan Negara merupakan bukti adaptasi berbagai pemikiran yang selama ini ada beserta perkembangannya. Dan lahirnya Undang-undang Perbendaharaan Negara, secara formal, menandai lahirnya suatu lembaga khusus yang kemudian dikenal dengan nama Badan Layanan Umum (BLU).
* *