Konon, dengan dituangkannya klausula tersebut dalam salah satu pasal (R)UU APBN 2010, ke depan bank-bank BUMN tidak lagi harus menunggu proses birokrasi di Kementrian Keuangan yang sangat lama dan tidak memberikan kepastian bila harus menghapuskan piutang bermasalah. Selanjutnya, dengan diberlakukannya ketentuan dalam (R)UU APBN 2010 dimaksud penyelesaian kredit macet di bank-bank BUMN akan tunduk pada UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN.
UU APBN sebagai acte condition
Sudah pasti, langkah tersebut kemudian mendapat response positif dari berbagai pihak. Yang jelas, bukan saja dari para bankir plat merah itu sendiri, melainkan juga dari kalangan pengamat ekonomi maupun pengamat hukum yang memandang keputusan tersebut sangat cerdas, dan merupakan terobosan yang mampu memecahkan kebekuan dan ketidakpastian hukum, khususnya di bidang pengelolaan keuangan negara.
Lebih jauh lagi, kita semua seharusnya memang patut bergembira bahwa pada akhirnya, di ujung masa baktinya, para anggota DPR dapat memahami konsep dasar yang terkandung dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, khususnya pemikiran dichotomis tentang negara sebagai otoritas dan negara sebagai individu dengan konsekuensi pembedaan kekayaan negara dalam kekayaan negara yang tidak dipisahkan (yang dikelola melalui sistem APBN) dan kekayaan negara yang dipisahkan. Suatu identifikasi yang selama ini ternyata tidak mudah dipahami oleh berbagai pihak, terutama dengan adanya kepentingan masing-masing.
Namun demikian, tanpa bermaksud mengurangi apresiasi terhadap langkah cerdas yang telah diambil para anggota Dewan tersebut di atas, tampaknya ada hal mendasar yang perlu diperhatikan. Konkritnya, penempatan keputusan Panitia Anggaran DPR tentang piutang bermasalah bank BUMN ke dalam ranah korporasi dalam Undang-undang APBN Tahun 2010, ditinjau dari aspek hukum, bukanlah tindakan yang tepat.
Ketentuan alternatif
Terkait dengan itu, langkah-langkah yang akan diambil oleh Menteri Keuangan sebagai operasionalisasi ketentuan yang ditetapkan oleh DPR dalam UU APBN 2010 mendatang juga merupakan tindakan ilegal, karena bertentangan dengan undang-undang yang masih berlaku, yaitu Undang-undang No. 49 Tahun 1960.
Kali ini Pemerintah, khususnya Menteri Keuangan sebagai pelaksana (executing agency), harus benar-benar memikirkan akibat yang mungkin terjadi. Bukan hanya terbuai oleh kewenangan, akan tetapi legalitas dari tindakan itu sendiri harus menjadi pertimbangan utama. Jangan sampai kasus-kasus yang terjadi dalam penanganan masalah BPPN ataupun Bank Century yang hingga kini masih menyisakan masalah akan terulang kembali.
Namun, apapun yang terjadi, pemikiran yang dikembangkan para anggota Dewan tersebut perlu disambut gembira dengan antusiaisme yang memadai. Hanya saja, mungkin dari segi format perlu difikirkan kembali. Bila memang demikian halnya, apakah penerbitan Perppu oleh pemerintah bukan mungkin lebih dapat dipertimbangkan ?
No comments:
Post a Comment