PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA
Bila pembagian kewenangan antara dua lembaga tinggi negara tersebut dengan mudah dapat dilihat dalam undang-undang dasar, karena sisi politis Ilmu Keuangan Negara merupakan sisi yang menyentuh ranah hukum dasar (Hukum Tata Negara), pertanyaan yang timbul adalah dari mana asal berbagai kewenangan yang timbul dan dimiliki oleh para pejabat pengelola anggaran maupun pejabat pengelola perbendaharaan dalam melaksanakan undang-undang APBN tersebut.
Dari uraian di atas, dapat ditarik suatu simpulan bahwa lingkup pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara pada prinsipnya adalah berada dalam ranah kajian bidang hukum administratif. Tepatnya, dalam ranah Hukum Administrasi Negara.
Hal ini dengan jelas dapat dilihat dalam konteks pemikiran yang dituang -kan dalam pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan bahwa “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan Pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”. Sedangkan, kekuasaan pemerintahan dimaksud adalah kekuasaan ekseku- tif yang antara lain berupa kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan yang bersifat umum, yaitu berupa kekuasaan menyelenggarakan administrasi negara.
Atas dasar alur pikir tersebut kemudian dapat dirumuskan bahwa Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Pemikiran inilah yang kemudian dituangkan dalam rumusan pasal 6 ayat (1) Undang-undang No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, yang kemudian menyatakan bahwa ‘kekuasaan pengelolaan keuangan negara berada di tangan Presiden’.
Selanjutnya, dalam operasionalisasi kewenangan dimaksud, Presiden men-delegasikan sebagian kewenangan pengelolaan keuangan negara tersebut kepada para Menteri sebagai pembantunya sesuai dengan peran masing-masing dalam pengelolaan keuangan negara. Peran tersebut adalah sebagai Chief Financial Officer (CFO), di satu sisi, dan sebagai Chief Operation Officer (COO), di sisi lainnya.
Peran sebagai CFO secara eksklusif hanya didelegasikan kepada Menteri Keuangan. Hal ini sesuai dengan tugasnya sebagai pembantu Presiden di bidang keuangan, yaitu sebagai pengelola keuangan negara atau lebih tepatnya sebagai Bendahara Umum Negara dan sebagai wakil pemerintah sebagai pemegang saham berbagai perusahaan milik negara. Sementara itu, peran sebagai COO didelegasikan kepada semua menteri sebagai kepala kementrian, termasuk kepada menteri keuangan. Sebagai COO, pada hakekatnya, setiap menteri adalah penanggungjawab terhadap keberhasilan program yang telah disusun dan ditetapkan dalam kementrian masing-masing.
Dengan mengacu pada pemikiran di atas, Undang-undang No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara pasal 6 ayat (2.a dan b) menyatakan bahwa kewenangan tersebut pada ayat (1) dikuasakan kepada Menteri Keuangan selaku BUN, di satu pihak, dan kepada Menteri Teknis selaku Pengguna Anggaran (PA), di lain pihak.
Bila diamati, pembagian kewenangan sebagaimana tersebut di atas ternyata didasarkan pada kaidah umum yang dapat diketemukan dalam teori kebijakan publik. Adapun tujuan pembagian kewenangan dimaksud terutama adalah menghindarkan terpusatnya kewenangan di satu tangan agar dapat menjamin terciptanya mekanisme check and balance (saling uji) di antara para pihak, yaitu para pejabat pengelola keuangan negara.
Lebih lanjut, bila diperhatikan, pembagian kewenangan ini merupakan sistem yang mampu mendorong agar berbagai keputusan yang diambil oleh para pejabat pengelola keuangan, yaitu para Menteri selaku Pengguna Anggaran, selalu didasarkan pada kaidah-kaidah pengelolaan keuangan negara yang telah ditetapkan sebagai acuan, karena keputusan yang telah diambil akan diuji oleh pihak lain, yaitu Menteri Keuangan , selaku Bendahara Umum Negara.
Dari gagasan pemisahan kewenangan sebagaimana diuraikan di atas, dapat kiranya diperhatikan bahwa agar tetap terjamin terselenggaranya mekanisme saling uji antara para pihak, pembagian kewenangan dalam pengelolaan keuangan negara harus didasarkan pada prinsip kesetaraan di antara para pengelolanya. Artinya, baik pemegang peran Bendahara Umum Negara (BUN) maupun peran Pengguna Anggaran (PA) harus memiliki kedudukan yang setara, yang dalam hal ini adalah para menteri.
IMPLEMENTASI
Konstruksi bangunan pembagian kewenangan sebagaimana dinyatakan dalam Undang-undang No.17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara pasal 6 ayat (1) dan ayat (2a dan b) sebagaimana dikemukakan di atas selanjutnya diacu dalam Undang-undang No.1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara.
Prinsip pembagian kewenangan dalam pengelolaan keuangan negara dengan titik puncak pemegang kewenangan adalah Presiden dengan melibatkan dua kelompok menteri, yaitu menteri keuangan, di satu pihak, dan menteri teknis, di pihak lain, selanjutnya diterapkan dalam lingkup kementrian lembaga dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Dengan tetap mengacu pada Undang-undang No.17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara pasal 6 ayat (1) dan ayat (2a dan b), dalam lingkup yang lebih kecil, para menteri kemudian mendelegasikan sebagian kewenangan pengelolaan keuangan negara di masing-masing kementrian/ lembaga kepada para pembantunya sebagai pimpinan satuan kerja (Satker).
Perlu diingat bahwa dalam pelaksanaan APBN, dalam kementrian masing-masing, para menteri memiliki kewenangan layaknya Presiden dalam pengelolaan keuangan negara. Dengan demikian, dalam kementriannya seorang menteri selaku Pengguna Anggaran, memiliki peran BUN dan juga peran Menteri Teknis. Dua peran inilah yang selanjutnya dikuasakan kepada setiap Kepala Satker sebagai pembantunya. Oleh karena itu, setiap Kepala Satker, sebagai penerima kuasa dari menteri selaku Penggunan Anggaran, --yang untuk selanjutnya disebut sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) --harus mendelegasikan kewenangan di bidang pengelolaan keuangan negara yang diperolehnya dari menteri kepada masing-masing pejabat di bawahnya sesuai kaidah yang dianut dalam undang-undang bidang keuangan negara.
Oleh sebab itu, sejalan dengan pola di atas, di dalam setiap satker akan terdapat pemegang peran layaknya BUN yang diperankan oleh Pejabat Penanda tangan SPM (PPSPM) yang akan melakukan tugas-tugas pengujian (verifikasi), dan juga peran Menteri Teknis, --yang melakukan pengambilan keputusan--, yang diperankan oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).
Dengan pola pembagian kewenangan sebagaimana tersebut di atas, KPA sebagai Kepala Satker, pada hakekatnya hanya memiliki tanggungjawab dan kewenangan yang bersifat manajerial, yaitu agar berbagai program ataupun kegiatan yang berada dalam tanggungjawabnya dan harus dilaksanakan oleh Satkernya dapat dilaksanakan sesuai rencana yang telah ditetapkan. Hal ini terkait dengan peran strukturalnya (formalnya) sebagai kepala satuan kerja yang secara hierarchies membawahi pejabat struktural lainnya yang tingkatannya lebih rendah.
Sementara itu, PPK adalah pejabat yang bertanggungjawab terhadap terjadinya pengeluaran negara, karena berbagai keputusan yang diambilnya akan dapat mengakibatkan terjadinya pengeluaran negara. Dalam konsep pengelolaan keuangan negara versi lama (sebelum diberlakukannya undang-undang bidang keuangan negara), kewenangan PPK dapat disetarakan dengan kewenangan otorisasi, kendati lingkupnya lebih sempit yaitu pada umumnya terkait dengan tindakan dalam rangka pengadaan barang dan jasa.
Untuk menjaga obyektifitas yang memadai dalam pengambilan keputusan, PPK dibantu oleh pejabat pengadaan, panitia pengadaan barang dan jasa yang dibentuk sesuai kebutuhan, dan juga oleh pejabat penerima barang/ jasa. Untuk menjaga terselenggaranya tata kelola yang baik (good governance) dalam pengelolaan keuangan negara, keputusan PPK tersebut kemudian diuji secara substantif oleh PPSPM.
Pengujian yang dilakukan oleh PPSPM pada prinsipnya lebih bersifat administratif yang meliputi pengujian wetmatigheid, rechtmatigheid, dan doelmatigheid. Memang pengujian dimaksud akan meliputi hal-hal terkait dengan substansi yang menyebabkan terjadinya pengeluaran negara, akan tetapi pejabat PPSPM tidak pernah memiliki kewajiban untuk melakukan pengecekan apakah kontrak yang asli tersebut tidak dipalsukan, atau apakah berita acara penyerahan barang yang dijadikan dasar penagihan kepada negara tersebut memang didasarkan pada bukti penyerahan barang sesuai dengan perikatan yang telah dilakukan oleh PPK. Ujung dari seluruh pengujian yang dilakukan oleh PPSPM tersebut adalah terbitnya Surat Perintah Membayar (SPM). Hal ini dilakukan bilamana PPSPM meyakini bahwa pembayaran tersebut memang dapat dilakukan. Keyakinan ini perlu dimiliki oleh PPSPM, karena benteng terakhir terjadinya pengeluaran negara di tingkat kementrian/ lembaga adalah PPSPM. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan dalam kepustakaan lama tentang pengelolaan keuangan negara, peran ini, yang dulu dikenal sebagai pemegang kewenangan ordonnansering, merupakan peran yang sangat strategis.
Keywords
No comments:
Post a Comment