HAK BUDGET DAN KETERBATASAN LEMBAGA LEGISLATIF
(RUBRIK)
Haruskah lembaga legislatif (DPR) melakukan pembahasan rancangan undang-undang anggaran yang diajukan oleh pemerintah hingga pada substansi yang demikian rinci ? Perlukah ada pembatasan terhadap kewenangan lembaga legislatif dalam pembahasan rancangan undang-undang anggaran ?
Pertanyaan semacam ini sering berkecamuk di benak masyarakat luas, ketika masyarakat melihat bahwa DPR mengajukan berbagai pertanyaan kepada kementrian/ lembaga yang sangat detil, atau bahkan ketika DPR tidak dapat menepati batas waktu pembahasan yang telah tersedia, sehingga penetapan Undang-undang APBN melampaui batas tanggal yang telah ditetapkan. Akibatnya, sudah dapat diperkirakan, yaitu bahwa pemerintah tidak lagi memiliki waktu yang cukup untuk dapat melaksanakan berbagai kegiatan yang telah tertuang dalam Undang-undang APBN .
OTORISASI PARLEMENTER
Hak lembaga legislatif di bidang keuangan negara, , pada prinsipnya, meliputi 2 (dua) aspek, yaitu pertama, berupa pemberian persetujuan kepada pemerintah untuk melaksanakan pengeluaran negara dan untuk memungut penerimaan (pajak maupun penerimaan lainnya) yang akan digunakan untuk membiayai pengeluaran yang telah disetujui dalam pembahasan bersama pemerintah; kedua, berupa pemberian kewenangan kepada pemerintah untuk melaksanakan keputusan yang telah ditetapkan.
Aspek pertama, yang kemudian dikenal dengan nama otorisasi parlementer (l’autorisation parlementaire) menampilkan karakteristik yang berbeda di sisi penerimaan dan di sisi pengeluaran negara. Di bidang penerimaan negara, persetujuan yang diberikan oleh undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara merupakan pemberian kewenangan kepada pemerintah dalam arti sebenarnya, yaitu kewenangan untuk melaksanakan pemungutan penerimaan negara.
Dalam hal ini, sesuai sifatnya, dibedakan antara kewenangan pemungutan penerimaan yang berasal dari pajak dan pemungutan penerimaan yang berasal dari penerimaan bukan pajak. Pemungutan pajak merupakan kewenangan yang bersifat imperatif, karena sebagaimana dipahami bahwa pajak merupakan pungutan yang sifatnya memaksa dan tidak disertai dengan imbalan (tegen prestage). Sementara itu, pemungutan penerimaan bukan pajak dapat dikatakan tidak sepenuhnya merupakan kewenangan yang bersifat imperatif, mengingat pungutan tersebut, dalam beberapa hal, sangat tergantung pada kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah dalam penyediaan layanan kepada masyarakat.
Di sisi pengeluaran, kewenangan yang diberikan oleh undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara kepada pemerintah (dalam hal ini para menteri) pada hakekatnya bukan bersifat imperatif, kecuali untuk beberapa jenis pengeluaran wajib seperti, misalnya: gaji. Artinya, kendati alokasi anggaran untuk suatu kementrian telah ditetapkan oleh lembaga legislatif, menteri keuangan, karena alasan ekonomi (penghematan), dapat saja menetapkan agar sebagian dana kementrian tersebut tidak digunakan.
Terkait dengan makna yang tersirat dalam hak budget tersebut di atas, otorisasi parlementer kepada pemerintah selalu bersifat prealable (mendahulu). Artinya, pemerintah tidak dapat melakukan pengeluaran maupun penerimaan negara tanpa terlebih dahulu memperoleh ijin dari lembaga legislatif yang dituangkan dalam undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara. Pemikiran inilah yang kemudian melahirkan prinsip anterioritas dalam pengeluaran negara. Dalam kehidupan sehari-hari, prinsip dimaksud selanjutnya mendasari lahirnya berbagai ketentuan dalam pengelolaan keuangan negara, seperti misalnya, larangan bagi semua pihak untuk melakukan pengeluaran bila tidak tersedia alokasi anggaran dalam undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara.
Hak parlemen di bidang keuangan negara, dalam perjalanan sejarahnya telah mengalami perubahan yang sangat signifikan. Pada awal kelahiran hak tersebut, lembaga legislatif memiliki kebebasan yang sangat luas dalam pembahasan dan penetapan anggaran yang diusulkan oleh pemerintah. Kebebasan tersebut tercermin dalam bentuk kewenangan lembaga legislatif untuk menetapkan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara kapan saja mereka pandang telah siap. Tanpa terikat pada batas waktu. Para anggota lembaga legislatif berwenang untuk meminta penjelasan dalam bentuk apa pun kepada pemerintah, bila penjelasan dimaksud dipandang akan diperlukan dalam rangka pengambilan keputusan untuk menetapkan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara yang sedang dalam pembahasan. Bahkan, para anggota legislatif dapat saja tidak menyetujui alokasi anggaran yang diusulkan oleh pemerintah, walaupun hal ini akan berakibat terhadap batalnya kegiatan yang telah direncanakan oleh pemerintah.
KETERBATASAN LEMBAGA LEGISLATIF
Dewasa ini, kebebasan lembaga legislatif dalam pembahasan dan penetapan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara secara signifikan telah semakin berkurang. Karena berbagai keterbatasan, kebebasan lembaga legislatif cenderung mengalami kemerosotan.
Menurut teori, bila diamati, keterbatasan dimaksud dapat dilihat dari tiga hal. Pertama, keterbatasan waktu (time constraint), kedua, keterbatasan kompetensi (competency constraint), dan ketiga, keterbatasan pendidikan (educational constraint).
Dengan mendasarkan pada prinsip periodisitas anggaran yang membatasi pelaksanaan anggaran pada umumnya hanya dalam kurun waktu satu tahun, dan prinsip anterioritas yang menegaskan bahwa pemerintah tidak dapat melakukan tindakan apapun dalam hal pengeluaran negara, kecuali telah ditetapkan dalam undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara, kini lembaga legislatif berkewajiban memutuskan dan menetapkan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara sesegera mungkin, sebelum tahun angaran dimulai.
Kewajiban tersebut telah menempatkan lembaga legislatif pada posisi yang sangat sulit. Bila rata-rata pemerintah memiliki waktu yang cukup longgar dalam penyusunan kegiatan dan kemudian menuangkannya dalam rancangan anggaran, yaitu kurang lebih sekitar satu tahun sebelum dokumen rancangan anggaran tersebut disampaikan kepada lembaga legislatif untuk dibahas, lembaga legislatif hanya memiliki waktu yang relatif lebih pendek, yaitu kurang lebih sekitar tiga bulan.
Kendati para anggota legislatif pada umumnya merasakan bahwa waktu yang disediakan untuk pembahasan terlalu pendek dan menginginkan keleluasaan seperti pada masa-masa lalu, ketertataan dalam jadual penyelenggaraan pemerintahan dan juga pemikiran-pemikiran yang berkembang tentang tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), termasuk dalam hal ini tata kelola keuangan negara, memaksa lembaga legislatif untuk mematuhi jadwal yang telah ditetapkan.
Dari hasil pengamatan, jadual pembahasan dan penetapan anggaran di berbagai negara, diatur dalam ketentuan yang berbeda. Di suatu negara ketentuan tentang jadual pembahasan dan penetapan anggaran negara dapat ditetapkan dalam undang-undang dasar, karena pengaturan tersebut merupakan pengaturan hubungan antar lembaga politik, yaitu legislatif dan eksekutif. Namun, di negara lain, termasuk Indonesia, karena dianggap lebih bersifat teknis pembagian waktu, hal tersebut cukup diatur dalam undang-undang. Setiap negara memiliki pertimbangan yang berbeda, tergantung pada situasi dan kondisi politik negara masing-masing.
Keterbatasan lain dalam pembahasan dan penetapan anggaran negara bagi lembaga legislatif adalah keterbatasan kompetensi (competency constraints). Bila time constraints merupakan keterbatasan institusional, keterbatasan kompetensi ini lebih merupakan keterbatasan yang dimiliki oleh para anggota lembaga legislatif. Hal ini tentunya bukan ingin mengatakan bahwa para anggota lembaga yang merupakan representasi rakyat tersebut tidak memiliki kompetensi untuk melakukan pembahasan terhadap program maupun kegiatan yang diusulkan pemerintah, akan tetapi kompetensi yang dimiliki tidaklah dapat disebandingkan dengan kompetensi para pejabat publik di lingkup pemerintahan.
Keterbatasan kompetensi tersebut antara lain disebabkan terutama karena para anggota legislatif adalah politisi yang tidak (secara intens) berkecimpung dalam bidang-bidang yang menjadi obyek pembahasan di lembaga tersebut. Sangat mungkin terjadi, karena penugasan partainya dalam komisi tertentu, seorang anggota legislatif baru mempelajari substansi yang kebetulan menjadi materi pokok yang harus dibahas dan diputuskan oleh komisi.
Hal itu, tentunya sangat berbeda dengan para pejabat di lembaga eksekutif yang pada hakekatnya ditugaskan dan berkecimpung langsung dalam bidang-bidang yang memang merupakan spesialisasinya. Para pejabat di lembaga eksekutif memang dipilih dengan latar belakang pendidikan dan keahlian tertentu untuk menangani bidang tugas dalam pemerintahan sesuai dengan keahliannya. Sebut saja misalnya, keahlian di bidang tenaga nuklir, di bidang kedirgantaraan, di bidang kedokteran, di bidang transportasi darat, laut, maupun udara, di bidang konstruksi, di bidang ekonomi, keuangan, perbankan, dlsb. Dan ini harus diakui bahwa para politisi dapat dikatakan sangat awam tentang masalah-masalah yang menjadi tanggungjawab pemerintah.
Selanjutnya, keterbatasan yang juga sering dipermasalahkan pada lembaga legislatif adalah keterbatasan di bidang pendidikan (educational constraint). Seperti halnya keterbatasan kompetensi, keterbatasan pendidikan ini juga terkait dengan kemampuan individu para anggota lembaga legislatif. Tentunya, sebagaimana telah dikemukakan di atas, sudah disadari bahwa para anggota legislatif merupakan politisi yang lebih memfokuskan perhatiannya pada masalah-masalah politik, hukum, maupun ketatanegaraan. Oleh sebab itu, pendidikan formal para anggota lembaga legislatif seringkali tidak sejalan dengan peran yang diemban para anggota lembaga legislatif yang bersangkutan, sehingga tidak menunjang tugas-tugasnya dalam pengambilan keputusan, terutama bila terkait dengan permasalahan teknis operasional yang terjadi di tingkat eksekutif.
Untuk itu, seringkali para anggota legislatif memerlukan sejumlah tenaga ahli (pendamping) yang dapat memberikan pertimbangan pada saat harus melakukan analisis terhadap usul yang disampaikan oleh lembaga eksekutif.
PRAKTEK DI INDONESIA.
HAK BUDGET DALAM UUD 45
Sebagai konsekuensi sifat UUD 45 yang singkat, khususnya dalam pengaturan masalah keuangan negara, mengharuskan adanya ketentuan lain yang tingkatannya lebih rendah yang mengatur secara lebih rinci berbagai prinsip maupun berbagai aspek dalam masalah tersebut. Disamping itu, tampaknya perlu pula dipahami bahwa secara prinsip undang-undang dasar hanya mengatur ketentuan dasar, dan tidak bersifat operasional. Oleh sebab itulah kemudian perlu disusun undang-undang yang khusus mengatur tentang pengelolaan keuangan negara, yaitu Undang-undang No.17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.
Mengenai hak lembaga legislatif dalam penetapan Undang-undang APBN (Hak Budget lembaga Legislatif), secara khusus Undang-undang Keuangan Negara menempatkannya dalam Bab III, yaitu tentang Penyusunan dan Penetapan APBN, yang selanjutnya dirinci dalam pasal 11 sampai dengan pasal 15. Namun demikian, bila diperhatikan secara seksama, hak budget lembaga legislatif tersebut hanya terkonsentrasi dalam pasal 15 ayat 1 sampai dengan 6, yang secara materi meliputi : penyerahan dokumen rancangan UU APBN oleh pemerintah kepada DPR, pembahasan di DPR, hak DPR untuk mengajukan usul yang mengakibatkan perubahan jumlah penerimaan dan pengeluaran, pengambilan keputusan oleh DPR, lingkup keputusan DPR, dan alternatif yang harus dilakukan oleh Pemerintah bilamana usul Rancangan APBN yang diajukan tidak disetujui oleh DPR. Sementara itu, pasal-pasal lainnya berisi hal-hal terkait dengan persiapan dalam pelaksanaan hak budget DPR, misalnya: tujuan disusunnya APBN, materi yang harus dimuat dalam APBN, jadwal penyampaian dan pembahasan, pembicaraan pendahuluan antara pemerintah dengan DPR, dlsb.
HAL-HAL YANG SEHARUSNYA TIDAK DILAKUKAN OLEH
Keinginan semacam itu, disamping mengingkari fakta historis tentang lahirnya hak budget lembaga legislatif, fakta adanya kendala substantif yang dihadapi oleh para anggota lembaga legislatif dalam masalah penyusunan atau penetapan anggaran, juga bertentangan dengan teori/ konsep kebijakan publik. Disamping itu, keinginan tersebut tampaknya juga diperkuat oleh adanya kekurangpahaman para anggota DPR bahwa, kendati APBN merupakan produk legislatif dalam bentuk undang-undang ternyata memiliki karakter yang berbeda dibandingkan undang-undang pada umumnya. Undang- undang APBN bukanlah acte regle, melainkan acte condition.
Hal lain terkait hak budget DPR yang justru selalu memicu perdebatan internal antara Panitia Anggaran dan Komisi Sektoral adalah kewenangan lembaga legislatif untuk dapat mengajukan usul yang dapat mengakibatkan perubahan jumlah penerimaan maupun pengeluaran dalam RUU APBN terkait dengan pembahasan program/ kegiatan bersama kementrian/ lembaga. Dua hal perlu diperhatikan oleh para anggota DPR dalam masalah ini, yaitu: pertama, perlu dipertimbangkan secara hati-hati bahwa setiap usul perubahan yang berakibat menambah pengeluaran negara, harus diimbangi dengan usul peningkatan penerimaan di sisi lain agar tidak mengganggu kegiatan lainnya yang telah disusun berdasarkan urutan prioritas; kedua, bahwa usul pendanaan dimaksud harus tidak dilakukan melalui peningkatan penerimaan dari sektor perpajakan yang nantinya justru meningkatkan beban masyarakat. Demikian pula sebaliknya, dengan usul penurunan pendapatan yang nantinya justru akan berakibat terhadap tidak terlaksananya kegiatan yang telah direncanakan.
Oleh karena itu, di beberapa negara, kewenangan lembaga legislatif untuk melakukan perubahan terhadap rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara yang diajukan oleh pemerintah dibatasi dengan menetapkan syarat-syarat tertentu.
Dalam hal ini, bila diamati,
* *
2 comments:
Salam hormat kepada Bpk Siswo
Benar sekali dengan apa yang ditulis oleh Bapak mengenai eforia yang dilakukan oleh yang terhormat anggota dewan yang bersumber dari ketidakpahaman yang dikombinasikan dengan kepentingan baik secara individu maupun fraksi.
Terkait dengan permasalahan tersebut, berdasarkan pasal 13 UU no 17 tahun 2003 ttg Keuangan Negara, DPR mempunyai kewenangan membahas Kerangka ekonomi makro (KEM dan pokok-pokok kebijakan fiskal (PPKF),dalam prakteknya (berdasarkan pengamatan pribadi dan mohon koreksi bila salah) DPR bisa serta merta mengubah KEM dan PPKF tersebut yg "bisa" mengakibatkan peningkatan alokasi belanja, hal ini menjadikan DPR superpower karena "bisa" mengalokasikan dan merealokasi sejumlah alokasi anggaran untuk prioritas tertentu yang sangat mungkin "bisa dititipi" oleh kepentingan individu maupun fraksi.
Praktek di negara lain (seperti di korea selatan) lembaga legislatif hanya bisa merealokasi pada sektor dan program tertentu / yang sama tanpa bisa menambah alokasi anggaran, karena Asumsi Makro dan Pokok-pokok kebijakan fiskal sepenuhnya merupakan kewenangan Pemerintah Korea Selatan dalam hal ini Ministry of Strategi and Finance.
Sehubungan dengan hal tersebut mohon perkenaan Bapak untuk dapat mengungkapkan konsep dasar dari pasal 13 UU no 17 thn 2003 dimaksud.
demikian
itjok henandarto
Good readiing
Post a Comment