(INTERMEZZO)
CASH MISMATCH DAN PELAKSANAAN ANGGARAN NEGARA
Dalam pengelolaan kas (cash management) terminologi cash mismatch diartikan sebagai suatu bentuk kesenjangan antara penerimaan dengan pengeluaran pada suatu saat tertentu. Artinya, pada suatu saat tertentu kebutuhan terhadap uang kas demikian tinggi, di satu sisi, sementara ketersediaan uang (cash availability) lebih kecil, di sisi lainnya. Situasi yang demikian mengakibatkan terjadinya defisit kas (cash short).
Dalam pelaksanaan anggaran negara terjadinya cash mismatch, secara teori, hampir tidak pernah dapat dihindarkan. Artinya, situasi kas defisit akan selalu dihadapi oleh Pemerintah, terutama di awal tahun anggaran. Dan hal ini merupakan suatu hal yang lumrah.
Kembali lagi pada masalah teori, situasi tersebut terjadi karena pengeluaran negara, bila dilihat dari grafik sepanjang tahun, memiliki kemiringan (slope) yang lebih landai dibandingkan penerimaan negara. Hal ini disebabkan karena adanya pengeluaran-pengeluaran pemerintah yang bersifat imperatif sejak awal tahun yang harus dilaksanakan tanpa harus memperhatikan ketersediaan uang dalam kas pemerintah. Pengeluaran dimaksud antara lain digunakan untuk menggerakkan mesin birokrasi yaitu dalam bentuk operation and maintenance expenditures, misalnya untuk belanja pegawai, belanja barang maupun jenis belanja terkait lainnya.
Pengeluaran tersebut akan menjadi lebih besar lagi, manakala kementrian lembaga telah benar-benar mampu menyusun rencana pengeluarannya yang dirinci dengan cermat dari bulan ke bulan sepanjang tahun dan diikuti dengan rencana pencairan dana (disbursment plan) yang tertata dengan baik. Artinya, kebutuhan pemerintah terhadap dana kas yang tersedia bukan semata-mata karena adanya pengeluaran pemerintah yang bersifat imperatif, tetapi juga karena pengeluaran yang bersifat non imperatif yang ditujukan untuk kegiatan-kegiatan lain yang telah direncanakan.
Sementara itu, di sisi penerimaan, awal tahun selalu merupakan saat yang kritis bagi pemerintah. Bila pemerintah dipaksa untuk membuat pengeluaran dengan jumlah yang relatif tinggi, pada awal tahun, pemerintah tidak dapat memaksa masyarakat untuk membayar pajak ataupun menyetorkan pendapatan negara lainnya terkait dengan layanan yang nantinya akan diberikan oleh pemerintah. Secara empiris, grafik penerimaan negara memiliki tingkat kemiringan (slope) yang lebih tajam dalam satu tahun dibandingkan grafik pengeluaran negara. Hal ini terjadi karena berbagai kegiatan masyarakat maupun kegiatan pemerintah yang nantinya akan menghasilkan penerimaan negara, baru berjalan atau menjadi semakin cepat berjalannya setelah mesin birokrasi bergerak.
Itulah sebabnya penerimaan negara, bukan saja dari sektor perpajakan tetapi juga dari penerimaan lainnya, dalam triwulan pertama atau kuartal pertama selalu lebih rendah dibandingkan dengan pengeluaran negara. Namun demikian, situasi tersebut akan berbalik pada suatu titik. Penerimaan negara justru akan lebih besar dibandingkan kebutuhan dana untuk melaksanakan kegiatan pemerintahan di berbagai kementrian yang mengakibatkan terjadinya kelebihan kas (cash excess). Titik balik ini bisa terjadi setelah triwulan pertama atau setelahnya, tergantung pada berbagai faktor.
APA YANG HARUS DILAKUKAN PEMERINTAH ?
Melihat fenomena tersebut, Ilmu Keuangan Negara memikirkan berbagai instrumen untuk mengatasinya. Salah satu cabang dari pohon Ilmu Keuangan Negara yang mengkhususkan diri dalam pengelolaan perbendaharaan (treasury management) mengusulkan alternatif solusi untuk menutup cash mismatch tersebut, yaitu melalui pinjaman uang muka dari bank sentral atau melalui pinjaman jangka pendek dari masyarakat. Alternatif solusi ini semata-mata didasarkan pada pemikiran bahwa cash mismatch, pada hakekatnya, hanya merupakan temporary deficit yang jangka waktunya hanya beberapa bulan saja, misalnya 3 bulan, dan bukan merupakan real deficit.
Alternatif solusi yang pertama, pinjaman uang muka dari bank sentral, dipandang memiliki kelemahan, terutama dari segi konsepsional, karena secara tidak langsung akan mempengaruhi kebijakan moneter yang dilaksanakan oleh bank sentral. Oleh sebab itu, berbagai negara cenderung menutup mismatch tersebut melalui penerbitan surat utang jangka pendek yang dilakukan oleh divisi perbendaharaan. Surat utang inilah yang kemudian dikenal dengan Treasury Bill yang berjangka waktu sekitar 3 bulan.
Penutupan cash mismatch melalui penerbitan surat utang kepada masyarakat menimbulkan konsekwensi dalam bentuk biaya bunga yang harus dibayar oleh pemerintah. Terkait dengan itulah fungsi treasury harus mampu mengelola pendapatan sedemikian rupa, agar pajak-pajak yang dipungut dari masyarakat tidak digunakan untuk membayar kewajiban bunga utang pemerintah. Berdasarkan pemikiran di atas, pemerintah kemudian mengambil langkah untuk menempatkan uangnya dalam berbagai kegiatan yang dapat memberikan imbalan (bunga) bilamana terdapat kelebihan kas (cash excess). Langkah tersebut dimaksudkan agar kewajiban bunga tidak ditutup melalui pendapatan perpajakan, melainkan ditutup dari penghasilan bunga.
Kebijakan pemerintah dalam hal ini harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian, jangan sampai menimbulkan akibat terhadap terganggunya penyediaan layanan kepada masyarakat yang menjadi tugas utamanya. Namun bagaimanapun, pemerintah melalui divisi perbendaharaannya harus mampu melakukan kebijakan tersebut. Ini tentunya terkait dengan tugas divisi perbendaharaan, yang secara teori, pada prinsipnya harus mampu menyediakan dana yang cukup, tepat waktu, dan aman untuk pembiayaan pelaksanaan anggaran negara.
BAGAIMANA IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA ?
Di masa lalu, jauh sebelum lahirnya undang-undang Bank Indonesia maupun Paket Undang-undang bidang Keuangan Negara, pemegang fungsi kebijakan fiskal dan pemegang fungsi kebijakan moneter di Indonesia tidak dipisahkan. Pemerintah yang merupakan pemegang fungsi kebijakan fiskal, pada saat itu, merupakan ketua dewan moneter. Sementara Bank Indonesia, yang diwakili oleh Gubernur Bank Sentral, menduduki jabatan wakil ketua dewan.
Berbagai pemikiran pada saat itu tampaknya lebih didasarkan pada pertimbangan praktis bahwa kebijakan moneter dan kebijakan fiskal adalah bagaikan dua sisi sekeping mata uang. Berbagai kebijakan yang diambil pemerintah di bidang fiskal akan sangat berpengaruh pada situasi moneter negara ini. Misalnya, kebijakan anggaran defisit akan berpengaruh terhadap nilai mata uang. Demikian pula sebaliknya. Oleh sebab itu, diharapkan agar kedua kebijakan tersebut dapat dilakukan secara harmonis, Pemerintah dikukuhkan sebagai ketua dewan moneter yang tugasnya antara lain menjaga keseimbangan nilai mata uang. Dengan demikian setiap tindakan pemerintah di bidang fiskal harus sekaligus mempertimbangkan impak moneternya.
Praktek tersebut di atas, memiliki implikasi yang sangat signifikan terhadap pengelolaan treasury (perbendaharaan) di tingkat pemerintah. Pada saat itu, pengelolaan perbendaharaan lebih ditekankan pada kegiatan-kegiatan administratif, yaitu mencatat penerimaan dan pengeluaran kas, kemudian menyusun laporan realisasinya.
Dalam kedudukannya sebagai otoritas moneter, pemerintah harus menjaga agar nilai mata uang tetap stabil. Oleh sebab itu, pemerintah tidak dapat menempatkan uangnya dengan bebas di sembarang bank, karena akan mengakibatkan terjadinya penciptaan uang yang pada gilirannya akan berpengaruh pada nilai mata uang. Kendati dalam praktek, sebagian uang negara ditempatkan di berbagai bank umum (milik negara), uang tersebut harus dalam status tidak dapat digunakan sebagai dasar pemberian kredit alias idle.
Konsekwensi logis dari kebijaksanaan tersebut adalah bahwa cash mismatch merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah dan bank sentral. Oleh sebab itu, dengan berbagai pertimbangan, situasi defisit tersebut kemudian ditutup melalui uang muka dari bank sentral.
Dengan lahirnya Undang-undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang menegaskan peran Bank Indonesia sebagai bank sentral yang mandiri, pemerintah tidak dapat lagi (dengan mudah) meminta Bank Indonesia untuk membantu menutup cash mismatch melalui pemberian uang muka Bank Indonesia seperti di masa lalu.
Selanjutnya, lahirnya Undang-undang No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara membawa era baru dalam pengelolaan perbendaharaan negara. Berbagai ketentuan dalam Bab IV yang mengatur tentang Pengelolaan Uang telah memungkinkan pemerintah melakukan pengelolaan kas (cash management) dengan baik. Penanganan terhadap temporary cash deficit melalui penerbitan surat utang negara jangka pendek (Treasury Bill), maupun terhadap terjadinya kas berlebih (over liquid cash) dengan mudah dapat dilakukan oleh Pemerintah. Dan hal ini lebih ditegaskan lagi dengan lahirnya Undang-undang No. 24 Tahun 2002 Tentang Surat Utang Negara, yang memberikan kemudahan kepada Pemerintah untuk mengatur kasnya melalui penerbitan surat utang negara.
Dalam pada itu, terkait dengan kritik terhadap kebijakan penutupan cash short melalui surat utang jangka panjang yang dilakukan oleh pemerintah (Menteri Keuangan) sebagaimana disampaikan oleh pakar tersebut, tampaknya perlu dipelajari duduk permasalahannya.
Lahirnya keputusan pemerintah untuk menerbitkan Surat Utang Negara (SUN) bukanlah semata-mata dikaitkan dengan adanya posisi cash short dalam pengelolaan perbendaharaan, melainkan karena berbagai alasan lain, seperti misalnya: sebagai alternatif pembiayaan APBN, menggantikan pinjaman luar negeri, dlsb. Oleh sebab itu, penerbitan SUN (jangka panjang) dilakukan sesuai agenda yang telah ditetapkan dengan memperhatikan berbagai faktor, di antaranya situasi pasar. Hal ini bisa dilihat dengan jelas penerbitan SUN pertama yang dilakukan pemerintah pada tahun 2006, dan seterusnya.
Keputusan pemerintah untuk menerbitkan SUN tersebut, jelas tidak dapat dipungkiri telah meningkatkan likuiditas kas negara, bahkan ada kemungkinan terjadi over liquidity. Namun demikian, judgement bahwa Menteri Keuangan sebagai Tresurer telah gegabah menutup temporary cash deficit melalui kebijakan pinjaman jangka panjang yang dilontarkan oleh pihak-pihak tertentu tampaknya terlalu sembrono dan tidak memiliki dasar pijak.
PENYEBAB RENDAHNYA PENYERAPAN APBN DI KEMENTRIAN/ LEMBAGA
Walaupun Menteri Keuangan dalam pernyataan persnya di akhir tahun 2007 menyampaikan bahwa penyerapan dana APBN menunjukkan trend yang semakin meningkat sejak tahun anggaran 2005 hingga sekarang, dalam kenyataannya penyerapan tersebut sangat lamban dilakukan, terutama di awal hingga pertengahan tahun.
Yang jelas, berdasarkan teori maupun fakta di lapangan, hal tersebut bukan disebabkan karena pemerintah tidak memiliki cukup dana sebagaimana diungkapkan oleh pihak-pihak tertentu melalui media massa.
Lambannya penyerapan dana oleh kementrian/ lembaga bila dicermati, terutama didasarkan pada beberapa faktor, antara lain faktor ketentuan perundang-undangan dan faktor psikologis para pejabat pengelola keuangan di berbagai kementrian/ lembaga.
Lahirnya reformasi pengelolaan keuangan negara yang mengusung prinsip/ slogan ’lets the manager manage’ yang dimulai sejak lahirnya Paket Undang-undang Bidang Keuangan Negara, membawa perubahan pola pengelolaan keuangan negara, dan pola pikir maupun sikap para pejabat pengelola keuangan di republik ini.
Di masa lalu, dalam pelaksanaan anggaran, berbagai keputusan pengeluaran negara diambil oleh pejabat di departemen/ lembaga, kemudian diperiksa dan di-approve oleh pejabat departemen keuangan selaku ordonnator. Dengan pola seperti itu, tanggungjawab dalam pengelolaan keuangan negara seolah terbagi antara departemen/ lembaga dan departemen keuangan. Oleh karena keputusan cair-tidaknya suatu pengeluaran negara berada di departemen keuangan, berbagai kesalahan yang terjadi dapat saja kemudian menjadi tanggungjawab departemen keuangan. Sementara itu, pejabat di departemen/ lembaga dengan adanya approval dari pejabat departemen keuangan terbebas dari segala kesalahan dan bahkan tanggungjawab.
Kini semua menjadi berubah. Prinsip lets the manager manage menegaskan bahwa setiap manager, mulai dari menteri/ pimpinan lembaga hingga ke jajarannya setingkat satuan kerja, memiliki tanggungjawab sepenuhnya dalam pengelolaan uang kementrian/ lembaga ataupun bagiannya. Artinya, prinsip tersebut menekankan bahwa pengelolaan anggaran kementrian/ lembaga, mulai dari penyusunan, pelaksanaan, maupun pertanggungjawabannya sepenuhnya menjadi tanggungjawab setiap menteri/ pimpinan lembaga.
Terkait dengan itu, dalam pelaksanaan anggaran, keputusan pengeluaran dana, pencairan dana, maupun pertanggungjawabannya menjadi tanggungjawab para pejabat pengelola keuangan di setiap kementrian/ lembaga. Peran kementrian keuangan sebagai pemegang fungsi Bendahara Umum Negara hanya sebatas melakukan double check terhadap keputusan pejabat di kementrian/ lembaga. Atas dasar peran tersebut, tanggungjawab para pejabat kementrian keuangan hanya terbatas pada pengujian dari aspek administratif keputusan yang telah diambil. Sedangkan tanggungjawab substantif berada pada para pejabat di kementrian/ lembaga.
Perubahan paradigma tersebut di atas, yang mengacu pada Undang-undang Perbendaharaan Negara, baru dimulai pada awal tahun anggaran 2005. Perubahan ini ’memaksa’ para pejabat di kementrian/ lembaga yang dahulunya mengandalkan kementrian keuangan sebagai filter, harus mampu berdiri sendiri, mampu memahami segala ketentuan di bidang pengelolaan keuangan negara, dan, yang paling penting, harus mampu menjadi penanggungjawab tunggal terhadap keputusan yang diambilnya sendiri.
Bila dicermati, perubahan paradigma inilah yang merupakan penyebab utama melambannya permintaan pencairan dana dari berbagai kementrian/ lembaga ke kementrian keuangan hingga saat ini. Kondisi ini tentunya dapat difahami, karena berbagai ketentuan dalam pengelolaan keuangan yang diterbitkan sejalan dengan berlakunya Paket Undang-undang Bidang Keuangan Negara, harus mulai dipahami dan diimplementasikan oleh para pejabat di semua kementrian/ lembaga. Semua pihak sedang in motion. Sedang berusaha menemukan bentuk yang pas sesuai yang diharapkan oleh ketentuan perundang-undangan. Dan hal ini tentunya memerlukan waktu yang relatif cukup lama. Bukan seperti ’mijet wohing ranti’ kata orang Jawa, yang artinya ’sangat mudah’.
Kesulitan yang dihadapi para pejabat di kementrian/ lembaga tersebut di atas masih ditambah dengan masalah pengadaan yang prosedurnya dirasakan berbagai pihak sangat rumit. Hambatan di tingkat ini yang sering dikeluhkan berbagai pihak adalah adanya kewajiban para pejabat untuk mengikuti sertifikasi melalui uji kompetensi yang tampaknya perlu dipertimbangkan kembali tingkat kepentingannya.
Dan yang tak kalah pentingnya, yang tampaknya memiliki kontribusi yang relatif besar terhadap kelambanan penyerapan dana APBN oleh kementrian/ lembaga, adalah langkah-langkah para penegak hukum (termasuk aparat pengawas/ pemeriksa di lembaga audit, maupun aparat pengawasan di masing-masing kementrian/ lembaga) yang bersikap over-reaktif dalam melihat kasus yang terjadi dalam pengelolaan keuangan negara. Dari banyak kasus yang terungkap, yang paling banyak dikeluhkan, dalam hal ini, adalah penerjemahan makna berbagai ketentuan keuangan negara yang baru dengan penafsiran lama atau terkesan sesuai dengan pemaknaan menurut penafsiran para aparat pemeriksa. Sikap para aparat pengawasan inilah yang dalam banyak hal memunculkan keengganan para pejabat untuk diserahi tanggungjawab sebagai pengelola keuangan negara.
AKHIR KATA....
Dalam era keterbukaan seperti saat ini, masyarakat sangat membutuhkan informasi dalam berbagai hal, misalnya : politik, ekonomi, hukum ataupun lainnya, karena masyarakat sedang mulai belajar untuk memahami apa yang terjadi di sekitarnya. Sementara itu, tidak semua level dalam masyarakat mampu mengkaji berbagai kejadian di sekitarnya dengan menggunakan pisau analisis konsepsional/ teoritik.
Oleh karena itulah, diharapkan agar para pakar atau para pengamat dapat memberikan analisisnya dengan cermat yang dapat membawa masyarakat ke arah pencerahan atau pemahaman yang benar. Dan tidak menggiring masyarakat ke arah yang sebaliknya, karena adanya pemahaman yang keliru.
Key words :
• Cash-mismatch dalam pengelolaan perbendaharaan negara merupakan hal yang lumrah.
• Cash mismatch dapat ditutup melalui berbagai cara pembiayaan, diantaranya melalui pinjaman dari masyarakat dengan cara penerbitan surat utang negara.
• Tugas utama fungsi treasury adalah menyediakan dana yang cukup, tepat waktu, dan aman bagi pelaksanaan APBN.
• Terkait dengan itu, lambannya penyerapan alokasi APBN tentu bukan disebabkan karena pemerintah tidak memiliki cukup dana untuk membiayai anggaran, melainkan karena faktor-faktor non teknis di kementrian lembaga.
* *
6 comments:
Yth. Pak Siswo,
Sebenarnya saya ingin menanggapi pernyataan pak Iman Sugema ketika tulisan itu di muat dalam harian kompas tg 19 Desember 2007, tapi saya agak ragu dengan pernyataan yg termuat di Kompas. Saya khawatir wartawan salah kutip, krn saya tidak punya transkrip secara utuh. Antara lain dikatakan "Pajak baru terkumpul dalam jumlah besar pada Desember dan Maret" ( saya kira pernyataan ini benar). Tetapi berikutnya "Hal itu tidak sesuai dengan kebutuhan anggaran di departemen tehnis yang biasanya mulai meningkat pada awal tahun dst...." Sepengetahuan saya dan berdasarkan pengalaman empiris kebutuhan akan dana kementrian/ lembaga tidak pernah besar di awal tahun. Karena belum ada kegiatan/ progres yang berarti pada dep/ lembaga di awal tahun. Saya hanya menduga kemungkinan ada kerancuan antara permintaan alokasi dana dan masalah disbursement. Sepengetahuan saya, dan bukankah pemerintah sangat membatasi pemberian uang panjar atau uang muka untuk Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran. "disbursement can be executed only based on work progress" Is it right?
Pernyataan berikutnya Iman Sugema menyarankan agar pemerintah mengalihkan ketergantungan terhadap pajak ke penerimaan dari hasil obligasi jangka pendek dengan SPN dg jatuh tempo 3 bulan. SPN 3 bulan akan lebih rendah biayanya dibandingkan dg SUN reguler yg diterbitkan oleh Pemerintah dg bunga berkisar antara 9,45 -10,69 % dibandingkan dg SBI yg 7,95 %. Menurut saya untuk menarik investor berarti return yg ditawarkan SPN harus diatas SBI (>7,95% - < 9,45 %). Saya lebih memilih mengapa tidak memanfaatkan SAL saja yg berasal dari setoran pajak pada akhir bulan Desember, tanpa biaya lagi, kl ternyata mismatch itu memang bersifat temporer. Terimakasih. pakertihutomo
Pak Pakerti yth,
Mengoreksi komentar yang kurang tepat yang disajikan kepada masyarakat luas oleh seseorang baik pakar maupun individu lainnya adalah 'kewajiban' bagi kita semua. Kalau kita merasakan bahwa informasi yang salah tersebut dapat berakibat kurang baik kepada pihak-pihak tertentu, misalnya pemerintah, ada baiknya kita mencoba memberikan pandangan-pandangan yang lebih jelas, rasional, dan netral untuk menghindarkan agar masyarakat tidak terlanjur terprovokasi dan membentuk opini negatif. Oleh sebab itu, keinginan anda untuk menanggapi artikel Kompas tersebut seharusnya anda lakukan.
Tentang pendapat anda bahwa return SUN yang diharapkan oleh para investor harus lebih tinggi dari SBI tentunya hampir semua pihak sependapat. Lha kalau returnnya lebih kecil dari SBI, apa iya ada investor yang berminat ? Dan ini tentunya mengakibatkan usaha Menteri Keuangan untuk menarik dana masyarakat tidak akan berhasil. Memang, kalau dilihat dari segi cost of borrowing lebih murah bagi pemerintah, tapi risikonya surat utang yang diterbitkan mungkin kurang/ tidak laku.
Terkait dengan pendapat anda, mengapa tidak menggunakan saldo anggaran lebih (SAL) akhir tahun saja yang bebas biaya untuk menutup temporary cash deficit tersebut, karena penggunaan SAL memerlukan izin lembaga legislatif yang harus dibicarakan dalam forum (sidang) resmi, atau berada dalam ranah politik. Padahal, masalah cash mismatch berada dalam ranah administratif.
Namun demikian, beberapa ahli juga cenderung berpikir seperti anda, dengan membandingkan antara State Budget dengan Local Government Budget yang meluncurkan saldo anggaran lebih ke anggaran tahun berikutnya, sehingga terjadinya cash mismatch dapat dihindarkan.
Nah, di tingkat inilah diskusi tersebut makin menajam, karena berbagai ahli keuangan negara pada umumnya memandang bahwa State Budget is economic tool of the government. Dan langkah-langkah pemerintah dalam pengelolaan anggaran negara, memiliki impak ekonomi yang selalu diperhitungkan dengan seksama. Sementara itu, Local Government Budget hanya merupakan 'Balance Sheet' yang karena sifatnya 'tidak mampu' memberi akibat ekonomi kepada Local Government itu sendiri sebagaimana State Budget.
Dari perdebatan yang telah cukup lama itu, mungkin saja pendapat anda nantinya menjadi suatu kenyataan di masa mendatang. Atau, jangan-jangan hal tersebut malah kini sudah dilakukan.
Terima kasih.
Yth. Pak Siswo dan Pak Pakerti
Sebelumnya terima kasih atas tanggapan Pak Siswo untuk pertanyaan saya mengenai keuangan negara pada posting terdahulu. Setidaknya saya lebih memahami sejarah keuangan negara itu sendiri. Meskipun akhirnya dalam benak saya masih berpendapat bahwa substansi dari keuangan negara dalam konteks 'kekinian' adalah bagian dari ilmu ekonomi yang menjadi produk politik, meskipun saya juga harus setuju bahwa ekonomi hanyalah 'teknis' di eksekutif.
Saya ingin menanggapi tulisan Iman Sugema (Saya membaca secara langsung)
Kalau tidak salah Iman Sugema adalah seorang peneliti yang dalam memberikan pendapat (mestinya) selalu menggunakan data.
Saya juga tidak sependapat dengan Iman Sugema. Tapi saya justru ingin bertanya dari mana Iman mendapat data tersebut?
Bisa jadi yang bersangkutan salah mengambil data sehingga berpendapat seprti itu.
Saya sendiri pernah mencari data tentang belanja pemerintah untuk beberapa tahun, terus terang tidak mudah dan hasilnya tidak memuaskan saya dan tidak kuat untuk mendukung argumen saya.
Kalau kita ingin menanggapi pendapat seseorang apalagi dalam pendapat itu ada muatan yang menunjukkan dukungan data, sudah semestinyalah kita juga memberikan data, setidaknya kita memberi pencerahan pada khalayak ramai dengan dukungan data.
Sebagai seorang yang ingin tahu tentang anggaran negara, saya justru menjadikan pendapat Iman Sugema sebagai masukan, bahwa penting kiranya menyajikan data yang benar dan mudah diakses sehingga seorang Iman Sugema tidak keliru atau membingungkan dalam berpendapat, karena pendapat itu bisa jadi dipakai oleh banyak orang.
Berkaitan dengan penyerapan anggaran yang terbilang rendah, saya sependapat dengan pak Sis bahwa grafik penyerapan sudah semakin landai, dan adanya 'aturan main' yang baru juga memberi andil.
Saya punya pengalaman menjadi pemateri dalam workshop yang membahas tentang 'pencairan dana' (pesertanya biasanya setingkat eselon IV). Ada pertanyaan yang selalu muncul dan saya sulit mencari jawab atas pertanyaan itu.
"Mengapa yang ikut workshop ini harus kami? Sedangkan atasan kami (PA/KPA) tidak menyadari perubahan ini. Mereka tahunya bahwa kegiatan harus terlaksana sesuai keinginan mereka. Sesampai di kantor apa yang saya uraikan tidak bisa diterapkan karena atasan lebih layak diikuti(paking tidak bagi mereka yang patuh pada hukum dante)
Kuncinya adalah pemahaman pada level pimpinan, jika itu sulit kita harus menuju pada kepedulian dari seorang pengguna atau kuasa pengguna anggaran.
Saya sendiri juga sering bertanya sudahkah DIPA yang setiap tanggal 2 Januari diterima sudah sejalan dengan anggaran berbasis kinerja? Apakah format DIPA yang ada merupakan pilihan terakhir? Apakah mungkin format DIPA itu juga punya andil pada rendahnya penyerapan?
Sayang sekali saya pun hanya bisa bertanya karena data adalah sesuatu yang mahal bagi saya.
Saya belum ingin menanggapi soal SUN,SPN atau SAL karena saya punya pemahaman yang belum sempurna tentangnya.
Jika tidak sependapat pada pendapat pertama Iman mengapa kita membahas tentang penawar yang ditawarkan Iman?
Semoga saya mendapat pencerahan........Syaibani.
Yth. Sdr. Syaibani,
Saya kira yang saudara ungkapkan tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh pengamat adalah norma baku bagi para pengamat, yaitu antara lain, berbicara atas dasar fakta (dengan didukung data), melakukan analisa dengan menggunakan logika baku, transparan, dan yang paling penting adalah harus netral, sehingga tidak mendorong masyarakat mengambil kesimpulan yang salah, atau malah terprovokasi. Dalam keseharian, justru seringkali kita jumpai para pengamat yang menggunakan kemampuannya untuk melakukan hal yang tidak seharusnya mereka lakukan, demi kepentingan pribadi .
Mengenai data anggaran atau realisasi anggaran, pada era keterbukaan seperti saat ini, rasanya sangat mudah diperoleh, baik dalam bentuk hard-copy maupun melalui akses internet. Hanya saja perlu diingat, bahwa ada data yang, karena sifatnya, digunakan secara terbatas (belum dipublikasikan untuk umum), dan ada data yang bersifat umum yang dengan mudah/ bebas dapat diakses oleh masyarakat.
Mengenai pengalaman anda memberikan presentasi dalam workshop, perlu saya sampaikan bahwa sosialisasi/ training tentang pengelolaan keuangan negara yang selama ini telah diselenggarakan, by design, terbagi dalam dua level, yaitu pertama, yang ditujukan untuk top management, dan kedua, untuk low level management. Kalau yang pertama, yang secara substantif berisi konsep-konsep (paradigma) diarahkan pada decision maker, yaitu PA dan KPA; yang kedua, yang lebih bersifat tehnicalities, lebih diarahkan pada technical/ implementing staff. Dan dua jenis training tersebut telah dilaksanakan sejak tahun 2003 ke semua kementrian/ lembaga dan pemerintah daerah.
Dari pengalaman, pada umumnya semua peserta memberikan response yang sangat positif, mengingat hal tersebut ke depan harus mereka kuasai dan implementasikan. Seperti yang saya sampaikan dalam artikel, merekalah kini yang harus menguasai dan menerapkan konsep-konsep yang pernah mereka pelajari di instansi masing-masing.
Mungkin yang perlu diperhatikan adalah bahwa materi tersebut harus disajikan sedemikian rupa agar menarik, tidak terkesan rumit. Menurut hemat saya, tidak ada satu instansi pun yang tidak ingin menerapkan konsep-konsep tersebut, karena semua ketentuan pengelolaan anggaran negara di republik ini didasarkan pada UU Bidang Keuangan Negara dan semua ketentuan derivatifnya. Tidak ada pilihan lain !
Sedangkan pertanyaan anda apakah DIPA sudah mencerminkan anggaran berbasis kinerja, jawabannya adalah bahwa konsep DIPA merupakan perwujudan untuk merubah dari line item budgeting approach ke arah performance based budgeting approach. Perlu saya sampaikan bahwa merubah pendekatan (approach) membutuhkan proses yang relatif panjang. Pengalaman menunjukkan bahwa Indonesia pernah gagal pada saat akan menerapkan penganggaran dengan pendekatan PPBS, meski di negara asalnya (Amerika Serikat) justru beberapa tahun setelah ditrapkan dinyatakan kurang cukup bagus, dan tidak lagi digunakan kecuali untuk beberapa negara bagian. Ironisnya di Perancis, kalau tidak salah, konsep PPBS yang disesuaikan dan kemudian diberi nama Rationalisation des Choix Budgetaires (RCB) justru berhasil diimplementasikan dengan baik.
Jelasnya, konsep tentang DIPA yang disusun atas dasar PP 21/ 2003 perlu dari waktu ke waktu disempurnakan agar sesuai dengan gagasan merubah pendekatan dalam sistem penganggaran. Sejarahnya, PP 21/ 2003 itu sendiri disusun atas dasar pikiran yang berkembang pada saat itu untuk mendukung proses perubahan dengan lahirnya Undang-undang No. 17/2003 tentang Keuangan Negara. Menurut hemat saya, yang pada saat itu ikut membidani lahirnya PP tersebut, konsep yang diciptakan saat itu masih jauh dari sempurna, karena merupakan gagasan yang sangat awal.
Pertanyaan terakhir anda yang menyatakan kalau kita tidak sependapat mengapa membahas obat penawarnya, rasanya saya tidak membahas penawar yang diformulasikan. Apa yang saya sampaikan dalam artikel adalah konsep yang telah umum dilaksanakan. Bukan hal baru, tapi hanya merupakan problem of choises.
Kiranya penjelasan di atas dapat memberi ‘pencerahan’ (sesuai terminologi anda) dan dapat memberi manfaat bagi semua pihak.
Wassalam,
Yth. Pak Siswo,
Terima kasih atas pencerahannya.
Maaf saya lupa menulis, peserta workshop itu adalah pemerintah daerah. Selain itu aturan main yang dipakai memang masih baru (bagi pemerintah daerah)dan masih 'bongkar pasang', Bapak tentunya lebih tahu yang saya maksud.
wassalam
To Whom It May Concern,
Saya sangat sependapat dengan tanggapan atau 'pencerahan' pak Siswo terhadap beberapa pertanyaan Brother Syaibani yang menyatakan: "Jelasnya, konsep tentang DIPA yang disusun atas dasar PP 21/ 2003 perlu dari waktu ke waktu disempurnakan agar sesuai dengan gagasan merubah pendekatan dalam sistem penganggaran. Sejarahnya, PP 21/ 2003 itu sendiri disusun atas dasar pikiran yang berkembang pada saat itu untuk mendukung proses perubahan dengan lahirnya Undang-undang No. 17/2003 tentang Keuangan Negara. Menurut hemat saya, yang pada saat itu ikut membidani lahirnya PP tersebut, konsep yang diciptakan saat itu masih jauh dari sempurna, karena merupakan gagasan yang sangat awal."
Hal yang sama sejak lama saya sampaikan dalam berbagai kesempatan diskusi dengan teman2 dari Ditjen Perbendaharaan. Oleh karena itu, rasanya memang harus mulai digagas upaya penyempurnaannya. Saya pikir kita perlu membuka wacana tersebut sedemikian rupa sehingga pihak-pihak yang berkompeten segera dapat merespon dan menyadarinya sebelum segala sesuatunya terlambat.
Perlu juga kiranya saya sampaikan bahwa PP yang dimaksud pak Siswo itu tentunya PP tentang RKA K/L yaitu PP No. 21 Tahun 2004, bukan Tahun 2003. Demikian urun rembug saya, semoga bermanfaat.
Terima kasih,
Wassalam,
Taukhid
Post a Comment