(Rubrik)
Bila diamati perkembangan usaha pemerintah Indonesia untuk menyusun undang-undang tentang pengelolaan keuangan negara di republik ini, perdebatan tentang cakupan/ lingkup keuangan negara telah berlangsung sangat lama. Perdebatan tersebut tampaknya dimulai beberapa saat setelah Indonesia merdeka dengan dibentuknya Panitia Achmad Natanegara pada tahun 1945 yang bertugas menyusun RUU Keuangan Republik Indonesia (UKRI).
Dalam perjalanan sejarah yang demikian panjang tentang keuangan negara, bahkan ada suatu masa, para pakar hukum dan administrasi keuangan negara, yang pada saat itu merasa terpanggil untuk mendefinisikan secara detil tentang keuangan negara, justru saling bersepakat untuk tidak sepakat tentang lingkup keuangan negara yang telah bertahun-tahun dijadikan issue sentral dalam penyusunan rancangan undang-undang tentang keuangan negara di republik ini.
Saling ketidaksepakatan diantara para pakar dalam masalah lingkup keuangan negara dimaksud, disamping menunjukkan bukti betapa luasnya dimensi keuangan negara, juga menunjukkan beragamnya aspek pendekatan keuangan negara sebagai suatu cabang keilmuan. Sayangnya di Indonesia, bila diamati, masalah keuangan negara pada saat itu lebih didekati dari aspek hukum administrasi sebagai pelengkap dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, dan aspek ekonomi makro dalam melakukan analisis terhadap akibat penerimaan dan pengeluaran negara.
Sebaliknya, di negara Eropa tempat lahirnya keuangan negara sebagai suatu ilmu, kompleksitas dan keluasan dimensi keuangan negara sudah sangat lama disadari oleh para ahli. Bahkan, para ahli keuangan negara Prancis mengatakan bahwa Finance Publique est une science de carrefour, artinya suatu ilmu yang berada di persimpangan jalan. Persimpangan antara ilmu-ilmu politik, hukum, administrasi, ekonomi, aritmatik, statistik, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, tidak mengherankan bila ketidakluasan wawasan dalam memandang keuangan negara sebagai suatu ilmu akan menyebabkan debat berkepanjangan yang tidak menghasilkan suatu kesepahaman.
KONSEPSI DASAR KEUANGAN NEGARA DAN IMPLEMENTASINYA
Lahirnya Undang-undang Keuangan Negara pada tahun 2003, yang diikuti dengan Undang-undang Perbendaharaan Negara dan Undang-undang Pemeriksaan Tanggungjawab Pengelolaan Keuangan Negara pada tahun 2004, memberikan cakrawala pandang yang lebih jelas terhadap keuangan negara di Indonesia. Dan sejak itulah diperkenalkan konsep baru tentang keuangan negara yang kemudian melahirkan era baru dalam pengelolaan keuangan negara di Indonesia.
Keuangan Negara di Indonesia, sebagaimana perkembangan trend yang terjadi di seluruh dunia, mulai cenderung disoroti dari aspek hubungan antara lembaga eksekutif dan legislatif, yang merupakan aspek utama keuangan negara pada saat kelahirannya di benua Eropa pada awal tahun 1200-an. Pemikiran inilah yang antara lain kemudian melahirkan keputusan bahwa undang-undang bidang keuangan negara harus merupakan suatu paket yang terdiri dari 3 (tiga) undang-undang yang pada hakekatnya mengatur hubungan hukum antar lembaga politik dan hubungan hukum antar instansi dalam lembaga eksekutif.
Sementara itu, tentang lingkup keuangan negara, para penyusun Undang-undang Keuangan Negara, tampaknya cenderung untuk berpendapat bahwa diskusi tentang keuangan negara seharusnya dimulai dari negara sebagai suatu subyek dengan perkembangannya sebagaimana dikaji oleh berbagai pakar di Eropa maupun Amerika.
Terkait dengan itu, dengan mengadopsi pemikiran para ahli keuangan negara klasik, para penyusun undang-undang keuangan negara meletakkan negara sebagai penyedia layanan dasar kepada masyarakat dalam bentuk pertahanan, kesehatan, keadilan, pendidikan, dan pekerjaan umum lainnya. Oleh karena itu, negara dipersepsikan sebagai pemegang kekuasaan (otoritas- authority) yang mendapat mandat dari rakyat untuk menyediakan dan membela kepentingan masyarakat (public interest).
Selanjutnya, dengan memperhatikan pula pemikiran yang lebih modern yang lahir pada era 1900-an yang melakukan pendekatan dari aspek sosio-ekonomis yang melihat negara dalam perannya yang cukup signifikan di bidang perekonomian, telah menempatkan negara tidak lagi hanya sebagai otoritas melainkan juga sebagai individu. Hal ini terkait dengan tindakan ataupun langkah-langkah pemerintah di bidang perekonomian melalui sistem pengeluarannya yang tidak lagi dapat dibedakan dengan individu pada umumnya. Melalui serangkaian tindakan pengeluarannya, mulailah dibedakan peran negara sebagai otoritas, dan peran negara sebagai individu pada umumnya.
Secara ringkas, kemudian dapat dilihat bahwa peran pemerintah sebagai otoritas selalu berorientasi kepada pemenuhan layanan publik yang dibiayai melalui sector perpajakan atau penerimaan lainnya. Oleh karena dibiayai melalui sektor perpajakan, layanan tersebut diberikan secara cuma-cuma kepada masyarakat dalam bentuk barang kebutuhan umum (public goods). Sebaliknya, peran negara sebagai homo-economis selalu berorientasi kepada pemupukan keuntungan (profit motive).
Dalam kesehariannya, pelaksanaan kedua peran dimaksud dengan mudah dapat dibedakan. Implementasi teori dimaksud diwujudkan, bahwa sebagai otoritas, kewenangan pemerintah dilakukan secara unilateral, karena didasarkan pada kepentingan publik. Sementara, sebagai individu, setiap tindakan terkait dengan pihak lain selalu dilakukan melalui perundingan yang bersifat bilateral.
Perbedaan peran tersebut kemudian berakibat pada penataan pola pengelolaan keuangan negara itu sendiri. Dengan mendasarkan pada kewajiban dan motif tindakan pemerintah, keuangan negara kemudian dibedakan antara keuangan yang ditujukan untuk kegiatan-kegiatan pemerintah dalam perannya sebagai otoritas dan pemerintah dalam perannya sebagai individu.
Terkait dengan pemikiran di atas, dalam Undang-undang Keuangan Negara dikenallah istilah kekayaan negara yang tidak dipisahkan, yaitu kekayaan negara yang digunakan untuk mendukung kegiatan pemerintah sebagai otoritas, dan kekayaan negara yang dipisahkan, yaitu kekayaan negara yang digunakan dalam rangka pelaksanaan peran selaku individu pada umumnya.
Sesuai dengan tujuannya, kekayaan negara yang tidak dipisahkan harus dikelola sedemikian rupa, antara lain melalui suatu pembahasan untuk memperoleh persetujuan rakyat yang direpresentasikan oleh lembaga legislatif. Oleh karena itulah, kekayaan negara yang tidak dipisahkan harus dikelola dalam suatu sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Artinya, pengelolaan dimaksud harus dimulai dengan perencanaan oleh pemerintah, dibahas, dan kemudian disetujui oleh lembaga legislatif. Untuk selanjutnya, dituangkan dalam undang-undang.
Oleh karena itu, dengan mengacu pada uraian diatas, pemahaman terhadap pasal 1 (1) Undang-undang Keuangan Negara yang memberikan definisi tentang Keuangan negara harus dilakukan secara utuh sesuai konteksnya dan landasan pemikiran yang melatarbelakangi kelahiran pasal dimaksud, dan dengan mengkaitkannya dengan pasal 2 dan pasal 7 maupun pasal-pasal terkait lainnya.
IMPLIKASI PERAN MELALUI PENDEKATAN SOSIO-EKONOMIS
Dengan adanya perbedaan tersebut, suatu tindakan pemerintah benar-benar harus dilihat secara cermat apakah dilakukan dalam kapasitasnya sebagai otoritas ataukah sebagai individu. Sayangnya, masyarakat pada umumnya tidak dapat dengan mudah membedakan kapan pemerintah bertindak sebagai otoritas, dan kapan bertindak sebagai individu.
Dengan mengacu pada uraian di atas, pembedaan tersebut dapat dengan mudah dilakukan sebagai berikut :
Semua tindakan/ keputusan yang dilakukan oleh pemerintah melalui kementrian lembaga yang ditujukan untuk menyediakan layanan kepada masyarakat merupakan tindakan pemerintah dalam kapasitasnya selaku otoritas. Dalam hal ini, semua tindakan tersebut dituangkan dalam suatu rencana kerja pemerintah dan dibiayai melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Sedangkan tindakan pemerintah untuk tujuan ekonomis dengan motif keuntungan yang dilakukan oleh organ-organ pemerintah lainnya di luar kementrian/ lembaga merupakan tindakan pemerintah selaku individu. Dalam hal ini, semua tindakan tersebut tidak dituangkan dalam APBN melainkan dituangkan dalam dokumen tersendiri sesuai rezim yang berlaku pada umumnya, dalam hal ini misalnya UU Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) atau lainnya.
Perbedaan peran negara tersebut di atas memiliki berbagai implikasi baik secara organisasi, administrasi, yuridis, maupun personnel.
Dalam melakukan tindakan dalam kapasitasnya sebagai otoritas, pemerintah diwakili oleh para pejabatnya yang lebih dikenal dengan nama birokrat yang terikat dengan aturan yang berlaku dalam birokrasi. Segala tindakan didasarkan pada rule and regulation yang berlaku dalam birokrasi. Demikian pula pengertian efisiensi, efektifitas penggunaan dana memiliki ukuran tersendiri. Dalam hal ini, pengertian keuntungan, yang dihitung dengan menggunakan analisis manfaat dan biaya (benefit and cost analysis) lebih didasarkan pada arti manfaat yang dapat dirasakan oleh masyarakat sebagai akibat layanan yang diberikan oleh pemerintah, bukan pada nilai uang sebagai imbalan kepada pemerintah yang diterima dan dicatat dalam neraca pemerintah.
Atas dasar pemikiran tersebut di atas, kerugian negara tidak pernah terjadi bila tindakan pemerintah dilakukan sesuai rule and regulation yang telah ditetapkan. Demikian pula halnya, seorang pejabat pemerintah tidak dapat dipersalahkan dan dianggap telah merugikan keuangan negara ketika melakukan suatu tindakan, sepanjang tindakan tersebut telah sesuai dengan rule and regulation yang ada. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa pemerintah tidak perlu memperhitungkan keuntungan maupun kerugian dalam arti uang dalam melaksanakan tindakannya yang ditujukan untuk mencapai kesejahteraan rakyat.
Hal yang sebaliknya terjadi pada organ-organ pemerintah yang memerankan pemerintah sebagai individu yang memiliki motif mencari keuntungan. Contoh konkrit dalam hal ini adalah BUMN. BUMN dikelola oleh para professional yang bekerja dengan rule and regulation sesuai good corporate governance . Langkah usaha dalam bentuk mencari keuntungan in money term, tidak selalu terbebas dari adanya risiko dalam bentuk kemungkinan menanggung kerugian. Oleh karena itu, dalam melaksanakan tindakannya para professional selalu dihadapkan pada kemungkinan memperoleh keuntungan atau menderita kerugian. Namun demikian, kerugian yang terjadi dalam pengambilan keputusan professional tidak boleh dianggap sebagai suatu tindakan sengaja yang setara dengan melakukan financial fraud. Kecuali, kemudian dapat dibuktikan sebaliknya. Dalam hal ini yang perlu dicatat adalah bahwa kerugian yang diderita negara dimaksud terjadi dalam kapasitas negara selaku individu, bukan sebagai otoritas.
KEY WORDS :
* *
19 comments:
Yth. Pak Siswo, saya ada dua pertanyaan yang menyangkut keuangan negara, yaitu :
1. Setelah membaca artikel Bapak, bila dikaitkan dengan UU Keuangan Negara, maka yang dimaksud Keuangan Negara dalam UU Keuangan Negara termasuk juga kekayaan negara yang dipisahkan, antara lain dalam bentuk BUMN atau badan usaha lain, dengan demikian apabila BUMN/badan usaha tersebut mengalami kerugian, apakah negara wajib turut menanggung kerugian tersebut?
2. Menurut Penjelasan UU Perbendaharaan Negara, pengelolaan keuangan negara (sebelum dilaksanakan UU Perbendaharaan Negara) lebih menitikberatkan pada pendekatan 'superioritas negara', sehingga pengelola keuangan negara tidak dianggap dalam kelompok profesi manajemen keuangan. Dengan demikian sebelum UU Perbendaharaan Negara dilaksanakan, pengelolaan/ manajemen keuangan pemerintah tidak dilaksanakan secara profesional dan bukan merupakan suatu ilmu?
Mohon tanggapan Bapak.
Terima kasih
Midden Sihombing
Menarik sekali blog-nya, mudah2an akan selalu bisa baca tulisan dan ulasan bapak berikutnya.
Salam,
erdiand
Yth. Pak Siswo
Sungguh saya sangat senang dengan adanya blog ini. Blog yang boleh dikatakan masih langka ini tentu dapat dijadikan sarana berdiskusi dalam rangka memperoleh pemahaman tentang keuangan negara. Saya yakin masih banyak yang awam dengan keuangan negara apalagi dalam praktek. Namun demikian praktek tidak akan bermakna tanpa pemahaman yg mendalam akan konsep-konsep keuangan negara itu sendiri.
Banyak para praktisi kita yg telah berkecimpung dalam masalah keuangan negara tapi dengan pemikiran2 yg mungkin kurang bisa di pertanggungjawabkan secara akademis. Disisi lain, banyak ide tentang hal ini, tetapi tidak terdokumentasikan dengan baik dan bahkan sangat minim. Sampai akhirnya pemikiran-pemikiran tersebut terkubur bersama sang pemikirnya tanpa pernah sempat terpublikasikan. Tracking yang di lakukan oleh para praktisi penerusnya yang mencoba mengkompilasi ide2 para pendahulunya menemui kesulitan, krn ternyata bahan-bahan terpenggal-penggal, tersebar dan memang kebanyakan tidak terdokumentasikan dg baik.
Adanya blog yang mendiskusikan masalah ini tentu akan sangat membawa banyak manfaat bagi para peminat. Apalagi kita tahu bagaimana peran bapak dalam melahirkan 3 paket UU Keuangan Negara yg kita kenal sekarang ini. Ada upaya sebelumnya tentu saja dan banyak tim telah terbentuk dari masa kemasa, ttp ternyata baru Tim yang terakhir, termasuk Bapak didalamnya, berhasil melahirkan paket UU yg juga di puji oleh para pakar internasional sbg world class. Walaupun akhir-akhir ini mulai muncul pula suara-suara untuk menyempurnakan paket UU tadi. Selamat dan salam
Pakertihutomo
Sdr. Erdian,
Terima kasih atas sambutannya.
Saya akan sangat gembira, bila di sela-sela kesibukan anda juga dapat menyampaikan pendapat ataupun berdiskusi tentang berbagai hal yang mungkin bermanfaat bagi perkembangan ilmu keuangan negara di Indonesia, maupun praktek pengelolaan keuangan negara di masa depan.
Pengalaman anda studi di negara maju, mungkin akan dapat memberikan kontribusi yang sangat diharapkan berbagai pihak.
Pls join !
Terima kasih.
Sdr Midden yth,
Terima kasih atas pertanyaan anda.
Untuk pertanyaan pertama, perlu kita ingat kembali bahwa bila kita berbicara tentang negara, pada hakekatnya kan hanya satu. Hanya cara pengelolaan kekayaannya yang dibedakan, yaitu untuk kekayaan negara yang tidak dipisahkan melalui sistem APBN dan untuk yang dipisahkan tidak melalui sistem APBN.
Kerugian negara yang terjadi pada kedua system tersebut sudah tentu menjadi tanggungjawab negara. Kembali pada uraian dalam artikel, kerugian BUMN adalah kerugian negara dalam perannya selaku individu, bukan dalam perannya selaku otoritas. Oleh sebab itu, treatment terhadap kerugian ataupun akibatnya terhadap pejabat yang menyebabkan terjadinya kerugian tersebut harus dibedakan, sesuai dengan nature tindakan yang dilakukan dalam peran masing-masing.
Kalau boleh saya mencoba memahami pertanyaan anda, mungkin yang anda maksudkan adalah apakah bila BUMN menderita kerugian, pemerintah sebagai otoritas juga harus menanggung kerugian dimaksud ? Kalau memang betul ini pertanyaan yang anda maksudkan, jawaban yang dapat diberikan adalah analog dengan situasi seseorang yang memiliki perusahaan terbatas (PT) yang menderita kerugian. Dalam hal ini pertanyaannya adalah apakah kerugian tersebut akan menjadi tanggungjawab individu yang bersangkutan ?
Sudah tentu, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, jawabannya adalah TIDAK, karena PT merupakan suatu badan hukum yang memiliki kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan pemiliknya.
Jadi demikian pula halnya dengan kerugian yang terjadi pada BUMN.
Sedangkan untuk pertanyaan anda yang kedua bahwa pengelolaan keuangan negara pada saat belum diberlakukannya UU Perbendaharaan Negara lebih menitikberatkan pada pendekatan 'suprioritas negara', dst, dst perlu disampaikan penjelasan seperti di bawah ini.
Terkait dengan pengelolaan keuangan negara di masa lalu, yang perlu kita pahami adalah bahwa semua ketentuan yang ada, pada prinsipnya, didasarkan pada produk hukum zaman Hindia Belanda, seperti ICW 1925, RAB 1933, dlsb. Pada saat itu, pemikiran tentang peran negara lebih ditekankan pada peran sebagai otoritas yang memiliki kewajiban untuk menyediakan layanan dasar kepada masyarakat, dan selalu bertindak dengan mengatasnamakan kepentingan publik. Dengan demikian, negara adalah di atas segalanya. Sebagai contoh dapat dilihat misalnya, utang negara berdaluarsa 5 tahun, sementara piutang negara berdaluarsa lebih lama; pemerintah boleh mendenda pihak ketiga (rekanan) bilamana terlambat menyelesaikan kontrak, sedangkan pemerintah tidak punya kewajiban apapun kepada pihak ketiga kalau terlambat membayar tagihan. Namun, semua itu memiliki dasar pemikiran yang kuat, yaitu bahwa pemerintah adalah bertindak untuk kepentingan masyarakat. Kalau pemerintah diperlakukan sama dengan masyarakat pada umumnya (individu), sudah pasti pemerintah akan menghadapi banyak hambatan dalam menyedikan kebutuhan masyarakat.
Inilah yang kemudian oleh berbagai pihak dipersepsikan bahwa ketentuan perundang-undangan masa lalu menempatkan negara pada kedudukan superioritas.
Untuk sekedar menambah keyakinan tentang hal itu, kalau anda mencoba membuka-buka kepustakaan tentang ilmu hukum, khususnya tentang politik hukum, anda akan menemukan kenyataan bahwa produk hukum akan mencerminkan rezim yang membuatnya. Artinya, produk hukum pada masa kolonial akan memiliki ciri yang menempatkan negara pada kedudukan superioritas.
Namun demikian, pendekatan tersebut tidak dapat dikaitkan dengan pendapat yang anda kemukakan bahwa pengelolaan keuangan negara pada masa itu tidak dilakukan secara profesional dan pengelolaan keuangan pemerintah bukan merupakan suatu ilmu.
Dengan pendekatan seperti di atas, pengelolaan keuangan negara lebih ditekankan pada aspek teknis administratif. Bila diteliti, pengelolaan keuangan negara ( yang pada saat itu lebih ditekankan pelaksanaan anggaran negara) terbagi dalam administratief beheer dan comptabel beheer yang merupakan inti substansi Ilmu Administrasi Keuangan Negara. Dan ilmu tersebut merupakan ranting Ilmu Hukum Administrasi Negara yang tumbuh dari pohon Ilmu Hukum Tata Negara.
Sdr. Midden, secara singkat dan skematis, disitulah kira-kira kedudukan pengelolaaan keuangan negara dari sudut epistomologi (?).
Sedangkan, kesimpulan anda yang menyatakan bahwa pengelolaan keuangan negara pada saat itu tidak dilaksanakan secara profesional, tampaknya kita perlu mendefinisikan terlebih dahulu pengertian profesional dan ukuran yang dipergunakan.
Demikianlah yang dapat saya sampaikan, semoga dapat menjawab pertanyaan anda.
Terima kasih.
Pak Pakerti yth,
Terima kasih atas sambutannya yang hangat atas lahirnya blog ini.
Seperti dapat dibaca dalam makna kelahirannya (raison d'etre), bahwa salah satu tujuan blog ini adalah memasyarakatkan konsep-konsep baru pengelolaan keuangan negara sebagaimana dikandung dalam Paket Undang-undang Bidang Keuangan Negara kepada seluruh lapisan masyarakat.
Disamping itu, yang juga tak kalah pentingnya, adalah bahwa blog ini dimaksudkan untuk menjaring berbagai ide melalui diskusi, yang nantinya layak diusulkan untuk penyempurnaan konsep-konsep yang telah dituangkan dalam undang-undang, maupun dalam berbagai ketentuan pelaksanaan.
Hal itu tampaknya perlu dilakukan, karena disamping kita semua meyakini bahwa semua buatan manusia tidak ada yang sempurna, juga karena dikonstatir telah terjadi perkembangan yang demikian cepat dalam kehidupan kemasyarakatan kita, yang pada saat penyusunan paket undang-undang tersebut gagasan itu belum dapat digambarkan secara konkrit.
Terima kasih atas sambutan anda yang demikian hangat. Semoga usaha kecil ini mendapat dukungan dari berbagai pihak, sehingga dapat memberi manfaat sesuai yang diharapkan secara maksimal kepada masyarakat kita.
Wassalam.
Yth, Pak siswo
Menarik sekali ide bapak membuat forum diskusi dalam blog ini karena masalah 'keuangan negara' sering kali menjadi diskusi yg diisi dengan perdebatan2 krn adanya perbedaan persepsi.
Menyambung pertanyaan Sdr. Midden mengenai status keuangan negara yang dipisahkan, saya ingin menanyakan sbb:
1. Bagaimana status keuangan negara yg dipisahkan pada Bank Indonesia mengingat Pasal 4 ayat (3) UU BI, bahwa BI sbg badan hukum yg berwenang mengelola kekayaan sendiri yg terpisah dari APBN ?
2. Jika BI mendirikan suatu badan hukum dengan modal (kalau bntknya PT)/kekayaan yg dipisahkan (kalau bntknya yayasan) yg bersumber dari keuangan BI, apakah status keuangan badan hukum tsb juga termsk lingkup keuangan negara?
3. Jika terjadi suatu kerugian dalam pengelolaan keuangan BI maupun keuangan badan hukum yg didirikan BI tsb, apakah kerugian tsb mrpk kerugian negara ?
Tanggapan bapak akan sangat bermanfaat. Terima kasih.
Aldiemas
yth Pak Siswo,
Blog seperti ini baru pertama kali saya temui (mungkin karena saya awam dalam hal ini). Bagaimanapun tulisan tulisan yang Bapak muat dalam Blog ini sangat kaya akan pengetahuan, dan mempunyai arti penting bagi teman teman yang membaca nya.
Khusus dari tulisan Bapak yang berjudul "Keuangan Negara di Indonesia : suatu perkembangan konsepsi kontemporain" saya dapat mengetahui sejarah terbentuknya peran negara sebagai otoritas dan sebagai individu. Yang menurut penjelasan Bapak akhirnya mengakibatkan pada penataan pola pengelolaan keuangan negara itu sendiri. Dimana kemudian dengan mendasarkan pada kewajiban dan motif tindakan pemerintah, maka keuangan negara kemudian dibedakan antara keuangan yang ditujukan untuk kegiatan pemerintah dalam perannya sebagai otoritas, dan peran pemerintah dalam perannya sebagai individu.
sehingga akhirnya muncul istilah Kekayaan negara yang tidak dipisahkan (yaitu kekayaan negara yang digunakan untuk mendukung kegiatan pemerintah sebagai otoritas), dan kekayaan negara yang dipisahkan, (yaitu kekayaan negara yang digunakan dalam rangka pelaksanaan peran selaku individu).
dalam penjelasan Bapak selanjutnya disebutkan bahwa kekayaan negara yang tidak dipisahkan harus dikelola sedemikian rupa antara lain melalui pembahasan untuk memperoleh persetujuan rakyat yang dipresentasikan oleh Lembaga Legislatif yang kemudian akan tertuang dalam suatus sistem APBN dalam bentuk Undang-undang. Sedangkan tindakan pemerintah untuk tujuan ekonomis dengan motif keuntungan yang dilakukan oleh organ organ pemerintah lainnya di luar kementrian/lembaga merupakan tindakan pemerintah selaku individu yang tidak dituangkan dalam APBN melainkan dituangkan dalam dokumen tersendiri misalnya UU BUMN.
Bila dikaitkan dengan tulisan Bapak yang berjudul Cash Mismatch, rasa rasanya peran negara sebagai otoritas menurut hemat saya sudan tidak sepenuhnya murni. Tapi bisa saja pendapat saya yang tidak benar. Mengapa saya bisa berpendapat demikian? Karena akhir akhir ini saya melihat ada tendensi pemerintah menempatkan dana APBN di berbagai kegiatan yang dapat memberikan imbalan bunga. Bunga tersebut digunakan untuk menutupi cash mismatch yang mau tidak mau bila dilakukan dengan penerbitan SURAT UTANG NEGARA harus dikenakan bunga. jadi bunga yang didapat negara digunakan untuk menutupi bunga yang muncul dari SUN.
Apakah benar tindakan ini memerankan pemerintah sebagai individu (mencari bunga). Kalau ya, tentunya tidak terbebas dari resiko menanggung kerugian. Apakah kerugian ini masih dianggap sesuai dengan rule and regulation yang ada.
Mohon penjelasan nya Pak.
Sdr Aldiemas, terima kasih atas apresiasi anda terhadap Blog Keuangan Negara.
Seperti yang termaktub dalam ‘alasan keberadaannya’ (raison d’etre), Blog ini diharapkan dapat merupakan wahana berdiskusi dan edukasi bagi masyarakat luas. Melalui diskusi dan analisis terhadap berbagai permasalahan dengan menggunakan dasar pikir konsepsi-teoritik, diharapkan dapat memberikan kejelasan terhadap berbagai permasalahan keuangan negara yang timbul pada saat ini, sehingga mampu mengeliminir perdebatan yang tidak perlu yang disebabkan karena kesalahan persepsi.
Terkait dengan pertanyaan Saudara, telah saya susun artikel khusus yang berjudul BANK SENTRAL DALAM KONSTELASI PEMIKIRAN KEUANGAN NEGARA, yang dapat Saudara akses melalui link di bawah ini :
http://www.keuangan-negara.com/2008/01/bank-sentral-dalam-konstelasi-pemikiran.html
Sebagaimana diketahui bahwa mulai TA. 2008 Menteri Keuangan melakukan perubahan mekanisme penyaluran DAK. Pada mekanisme sebelumnya, Kepala Daerah (Gubernur, Bupati, Walikota) selaku KPA, mengajukan SPM DAK ke KPPN dan selanjutnya KPPN melakukan pemindahbukuan DAK ke rekening Kepala Daerah. Mekanisme tersebut diubah, yaitu bahwa yang menjadi KPA adalah Dirjen Perimbangan Keuangan, atas nama Menteri Keuangan, mengajukan SPM DAK kepada Dirjen Perbendaharaan untuk selanjutnya Dirjen Perbendaharaan melakukan pemindahbukukan DAK dari Rekening Kas Umum Negara ke rekening Kepala Daerah. Dalam mekanisme yang baru, Kepala Daerah bertindak selaku end user atau beneficiary atas dana DAK tersebut.
Penunjukan Dirjen Perimbangan Keuangan selaku KPA atas dana DAK tersebut membawa konsekuensi logis untuk menyelenggarakan akuntansi dan pertanggungjawaban sehingga mengakibatkan terjadinya penumpukan fungsi budget formulation, pelaksanaan penyaluran DAK, dan pertanggungjawabannya pada satu tangan, yaitu Dirjen Perimbangan Keuangan.
Sebagaimana dikemukakan oleh Alfitra ( Penasehat Badan Kerja Sama Kabupaten Seluruh Indonesia ) dalam pemberitaan harian Kompas hari Minggu tanggal 20 Januari 2008, bahwa mekanisme baru penyaluran DAK tersebut memiliki 4 keuntungan, yaitu :
1. menghindari percaloan yang selama ini dilakukan oleh KPPN;
2. mengeluarkan biaya tinggi yang selama ini dikeluarkan pemda;
3. menjamin efektifitas dan efisiensi penggunaan anggaran; dan
4. pemda tidak perlu berbondong-bondong datang ke Jakarta untuk melakukan lobi.
Bagaimana tanggapan Bapak terhadap perubahan mekanisme penyaluran Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk TA. 2008 jika dikaitkan dengan mekanisme Check and balance sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 17 tahun 2003 dan UU No.1 tahun 2004?
Pak Hari yth.
Terima kasih atas apresiasi Bapak terhadap blog Keuangan-negara yang menurut Bapak agak tidak biasa, karena mungkin substansinya agak serius sebagai blog. Namun, walaupun isinya agak serius (ilmiah), saya sangat mengharapkan penyajian dan diskusinya dapat dilakukan dalam format yang santai seperti layaknya bincang-bincang pada umumnya dalam suatu blog.
Terkait dengan beberapa artikel saya, Bapak mengamati bahwa langkah-langkah Pemerintah dalam menangani cash-mismatch yang tidak berbeda dengan langkah-langkah yang dilakukan oleh para individu (private sector) pada umumnya, sehingga sebenarnya pemerintah sebagai otoritas sudah tidak murni lagi tindakannya. Artinya, bahwa pemerintah dalam beberapa hal sudah cenderung mengambil langkah seperti halnya individu/ swasta.
Pendapat Bapak memang benar. Bila kita amati sejarah, perkembangan peran negara bergerak dari kutub yang paling ekstrim sebagai penyedia layanan publik dan tidak memiliki peran apapun dalam bidang perekonomian nasional mengarah pada kutub ekstrim lainnya yang didominasi oleh pemikiran-pemikiran yang didasarkan pada orientasi memperoleh keuntungan (profit oriented) yang merupakan wilayah individu/ swasta.
Pergerakan tersebut membawa pengaruh yang demikian signifikan terhadap satuan ukuran dalam pengambilan keputusan. Sebut saja misalnya, terminologi efisiensi, efektivitas, dan (mungkin) ekonomis yang seringkali ditemukan dalam diskusi anggaran pada saat ini memiliki konotasi yang jauh berbeda dibandingkan pada masa lalu. Penggunaan terminologi tersebut sudah hampir mendekati definisi yang digunakan oleh sektor swasta.
Penggunaan ukuran yang cenderung mengarah pada ukuran yang pada umumnya digunakan oleh sektor swasta tersebut, pada gilirannya berpengaruh pula pada keputusan ataupun pada sistem yang digunakan pemerintah. Secara konkrit, hal ini dapat dilihat misalnya pada teknik penyusunan anggaran negara yang kini sudah banyak menggunakan pertimbangan sebagaimana layaknya sektor swasta. Mengenai hal ini dapat disebutkan contohnya antara lain penggunaan analisa benefit & cost ratio dalam pengambilan keputusan penetapan program pemerintah. Demikian juga halnya dengan pendekatan (approach) dalam sistem penganggaran negara yang diintrodusir pada sekitar akhir tahun 40-an yang dikenal dengan PPBS yang konon diilhami oleh berbagai pertimbangan efisiensi dan efektifitas penggunaan dana pada sektor swasta. Demikian pula, perkembangan penganggaran pada saat ini yang menggunakan pendekatan performance (performance based budgeting).
Jadi, pertimbangan bahwa pemerintah harus menyediakan layanan publik untuk menjamin kesejahteraan masyarakat at whatever the cost, dalam beberapa hal memang tidak dapat dihapuskan begitu saja. Hal ini, terutama bila dikaitkan dengan tugas-tugas pemerintah dalam penyediaan public goods. Namun, dalam hal lain di luar tugas tersebut, pertimbangan ekonomis sebagaimana layaknya individu/ swasta harus dijadikan acuan oleh pemerintah dalam pengambilan keputusan. Dalam masalah pengelolaan kas (cash management), bila diperhatikan, pertimbangan-pertimbangan ekonomis tampaknya merupakan dasar paling dominan dalam pengambilan keputusan. Tapi hal ini, bukan berarti bahwa pemerintah memerankan diri sebagai individu. Pemerintah tetap memerankan dirinya selaku otoritas, tetapi tindakannya harus didasarkan pada pertimbangan ekonomi (economic rationality).
Dalam hal ini, yang perlu diperhatikan adalah bahwa penempatan uang dalam rangka cash management tidaklah dapat diartikan sebagai bagian usaha pemerintah untuk memperoleh keuntungan semata, melainkan dalam rangka melakukan kompensasi terhadap beban bunga yang harus ditanggung oleh pemerintah pada saat melakukan pinjaman negara. Walaupun tentunya kelebihan bunga yang diperoleh merupakan return yang dapat dibukukan sebagai penerimaan negara ataupun sebaliknya, kerugian yang terjadi akan merupakan beban negara. Tetapi semua itu masih sesuai dengan rule and regulation yang ada, karena sebagai cash manager, menteri keuangan tentunya tidak boleh membiarkan terjadinya idle cash dalam kas yang dikelolanya. Dan ini harus selalu dilakukan dengan tetap berpegang teguh pada sound and prudent practice.
Demikian pak Hari yang dapat saya sampaikan, mudah-mudahan dapat memberikan gambaran yang lebih jelas. Terima kasih.
Salam.
Yth Pak Siswo
"What a Great theory"
Komentar saya sebagai orang awam, setelah membaca artikel bapak tentang KEUANGAN NEGARA DI INDONESIA: SUATU PERKEMBANGAN KONSEPSI KONTEMPRAIN, tapi ada suatu yang mengganjal di dalam otak saya, yang mungkin bisa lebih dijelaskan oleh bapak, apakah negara di sini, maksudnya NKRI sudah melaksanakan fungsinya sebagai pemegang kekuasaan sebagai pembela rakyat, dikarenakan yang saya (individu) sebagai rakyat merasa negara dalam hal ini, saat ini, malah berperan sebagai individu juga, sebagai pengingat pak, semakin banyak pejabat negara di tangkap KPK, di sisi lain harga minyak tanah, kedelai semakin naik , apakah teory yang bapak sajikan tersebut masih berlaku di negeri ini pak ?
mohon maaf atas segala kesalahan dan mohon petunjuk atas segala kebodohan
sebelum dan sesudahnya kami ucapkan terima kasih
wassalamualaikum
Yth. Pak Siswo, secara tidak sengaja saya menemukan blog ini, yang isinya memenuhi harapan saya, yang ingin tahu banyak tentang Keuangan Negara. Melalui forum ini saya ingin mengajukan pertanyaan :
1. Apakah pengertian keuangan negara yang tercantum dalam UU Nomor 15/2003 sudah tepat ditinjau dari aspek terminologi, hukum dan substansinya, mengingat terdapat sebagian anggapan bahwa pengertian keuangan negara dalam UU tersebut terlalu luas sehingga dapat memiliki implikasi yang dapat membangkrutkan negara.
2. Mencermati kasus century yang saat ini sedang berkembang, beberapa pakar memiliki pendapat yang berbeda mengenai Dana pemerintah di LPS, apakah termasuk keuangan negara atau bukan, bagaimana menurut pendapat Bapak?
3. Selanjutnya, apakah dana kontribusi Bank2 di LPS termasuk bagian dari keuangan negara, bagaimana dengan dana yayasan Bank Indonesia?
Demikian pertanyaan saya, terima kasih atas perhatiannya.
Yth. Pak Mahmudi,
Terima kasih atas kunjungan anda ke blog saya. Saya tidak mengira bahwa anda menelusuri tulisan saya yang pertama yang saya tulis pada tahun 2007. Hal tersebut merupakan surprise buat saya, dan tentunya surprise pula buat anda, karena ‘akibatnya’ saya jadi sangat terlambat membalas ‘sapaan’ anda. Untuk itu, saya mohon maaf.
Tulisan tersebut memang saya maksudkan sebagai landasan dalam memahami pemikiran tentang keuangan negara di Indonesia. Saya sengaja melakukan penelusuran konsepsi dari sudut historis sebagaimana saya tuangkan dalam tulisan-tulisan saya berikutnya pada saat itu. Hal tersebut perlu saya lakukan, mengingat disiplin ilmu Hukum Keuangan Negara di negara kita memang belum berkembang. Dan sebagaimana saya tulis dalam pengantar blog saya, saya memang mengajak berbagai pihak untuk mulai memahami keuangan Negara dari sisi yang selama ini terabaikan yang kini tampak mulai nge-trend di berbagai Negara sebagai akibat meningkatnya kesadaran masyarakat melalui peran lembaga legislative.
Anda mungkin dapat mencermati bahwa baru-baru ini saja universitas-universitas tertentu di Indonesia mulai mengajarkan disiplin ilmu Hukum Keuangan Negara tersebut. Dan, bila anda amati, substansi/ kurikulumnya pun mungkin belum cukup memadai. Hal yang demikian tentunya sangat berbeda dengan di Negara-negara Eropa , khususnya Perancis- yang merupakan source de droit, yang menempatkan science de finances publique sebagai branch de droit et de science politique. Oleh sebab itu, bila kita ingin belajar ilmu keuangan Negara belajarnya di faculte de droit (fakultas hukum). Bukan di fakultas ekonomi yang mengajarkan politique economie (kebijakan ekonomi-makro, moneter, etc-).
(..........)
(.........)
Yth. Pak Mahmudi,
1)Tentang pertanyaan anda nomor satu tentang pengertian Keuangan Negara dalam UU No. 15/2003 (?)-UU No.17/ 2003- ditinjau dari aspek terminology, hukum, maupun substansinya, mengingat pengertian keuangan Negara terlalu luas. Bila anda menelusuri penjelasan yang saya sampaikan dalam seri tulisan dalam blog tersebut, saya yakin anda akan merasakan bahwa anda dapat memperoleh kejelasan. (Lihat juga tentang paper yang saya sampaikan dalam workshop di KPK).
2)Tentang dana LPS, saya juga telah menulis suatu artikel khusus tentang hal tersebut. Lha kalau berbagai pihak menafsirkan sesuai dengan logika mereka (termasuk para Pejabat pemerintahan dan Lembaga tinggi Negara) ya monggo saja. Kata para ahli hukum, setelah suatu undang-undang dimuat dalam lembaran Negara undang-undang tersebut merupakan milik masyarakat, dan masyarakat dapat (bebas) menafsirkan sesuai logika yang baku (8 landasan tafsir) untuk memperoleh kejelasan yang sebenarnya.
Namun, karena saat penyusunan undang-undang tersebut saya kebetulan sebagai ketua Tim Kecil, yang bersama para anggota Tim lainnya, menyusun naskah akademis yang berisi philosophies grondslag, jangan-jangan yang saya sampaikan merupakan hal yang seharusnya layak dipercaya dan dijadikan acuan.
Coba saja, diskusikan dengan beliau-beliau itu. Apakah beliau-beliau itu juga pernah membaca penjelasan UU No.17 yang menjelaskan tentang pengertian dan ruang lingkup Keuangan Negara, sehingga dapat menjelaskan dengan rinci apa yang dimaksud dengan Keuangan Negara ?
3)Uang kontribusi Bank-bank di LPS milik siapa ? Dalam Kompasiana yang mengomentari tulisan saya tentang LPS tersebut, anda akan menemukan penjelasan dengan logika yang sangat lucu, tapi sangat pas dan mudah dimengerti. (Untuk itu, anda dapat membuka dengan nama saya melalui Google, saya bahkan baru membaca).
Sedangkan uang Yayasan Bank Indonesia milik siapa ? Nah, untuk ini anda harus berhati-hati melihatnya. Anda dapat membaca pendapat saya dalam persidangan di Pengadilan Tipikor pada saat saya sebagai ahli Hukum Keuangan Negara. Sebenarnya, uang tersebut merupakan uang Negara yang ‘tiba-tiba’ dipisahkan sebagai uang yayasan. Padahal cara memisahkan uang Negara ada aturan mainnya, yaitu ijin Menkeu, Presiden atau DPR-tergantung besarnya). Tentang diskusi apakah BI merupakan lembaga Negara atau bukan, anda dapat juga membaca dalam tulisan saya. Itulah kesimpulan saya bahwa kerugian uang yayasan BI merupakan kerugian negara, karena status uang tersebut adalah uang BI.
Demikian yang dapat saya sampaikan, semoga bermanfaat.
Salam,
(SS)
Yth. Pak Siswo, terima kasih atas posting-posting bapak terkait dengan keuangan negara, saya rasakan bahwa setelah membaca ini sedikit banyak menambah pengetahuan saya mengenai keuangan negara. jika diijinkan tentunya saya ingin sekali untuk dapat quote beberapa hal dari tulisan bapak ini untuk saya masukan dalam tulisan saya yang bertemakan keuangan dan kerugian negara. Mohon tanggapan bapak.
Terima Kasih
Dimas M. F.
Bung Dimas, terima kasih atas apresiasi anda tentang Blog saya. Saya merasa gembira bila anda menulis pula berbagai hal/ segi tentang Keuangan Negara. Blog ini dirancang memang sebagai media sosialisasi dan sekaligus komunikasi. Oleh karena itu, nggak usah ragu-ragu. Anda bebas meng'quote' untuk mengembangkan pendapat anda. Berkembangnya komunitas yang menaruh perhatian terhadap masalah-masalah keuangan negara, khususnya terkait dengan negara kita, adalah harapan yang terkandung dalam introduksi (raison d'etre)Blog ini.Selamat datang, dan selamat bergabung ! Please, feel free !
Salam,
SS
Assalamu'alaikum Pak Siswo,
perkenalkan, saya Ramdhani Pak. Senang sekali menemukan tulisan Bapak di tahun 2019 ini, membaca tulisan pertama Bapak, berhasil memaksa saya membaca lebih banyak tentang Keuangan Negara.
terdapat beberapa pertanyaan yang (saya harap) Bapak dapat menyempatkan waktu buat menanggapinya:
1. Apa yang menjadi dasar Negara menjalankan peran sebagai Induvidu? apakah ini sesuai dengan Teori Ekopnomi Keyness-ian, dimana negara dituntut hadir untuk memengaruhi pasar, atau ada teori lainnya yang dapat kami jadikan pegangan untuk memperkuat keyakinan kami bahwa landasan teori Peran Negara Sebagai induvisu itu dapat diterima?
2. Bagaimana dengan Pertamina, PGN dan perusahaan lain sejenis, yang menurut saya di-lahir-kan sebagai amanat ps 33 UUD 1945 bahwa negara menguasai hal-hal yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. apakah teori Peran negara sebagai induvidu relevan disana? jika iya ataupun tidak. bagaimana seharusnya kita mendudukkan kedua hal tersebut sebagai landasan pendirian perusahaan sejenis pertamina tadi?
3. Pertanyaan terkahir ini mungkin sudah banyak dibahas, hanya saja mengingat raison d'etre blog ini salah satunya untuk berdiskusi, izinkan saya menanyakan langsung ke Bapak, "Apa batasan proffesional judgement rule BUMN, dan kapankah negara sebagai induvidu dapat dipersalahkan atas tindakannya yang menyebabkan kerugian terhadap Keuangan Negara?
Demikian Pak, semoga Bapak senantiasa diberi rahmat kesehatan, sehingga lebih banyak lagi pemuda dari generasi saya yang dapat bercengkrama dengan Bapak tentang perkara Keuangan Negara ini. Karena kami yakin suatu saat nanti generasi kami akan menerima amanah kepemimpinan, dan sudah saatnya kami (dan Bapak) untuk mempersiapkannya, salah satunya yang paling konkret, adalah dengan mengharap tanggapan Bapak terdapat pertanyaan saya di atas.
merci beaucoup...
Post a Comment